Nadiem Takut Belajar Jarak Jauh Picu Kekerasan Anak & Kehamilan Remaja

Minggu, 09/08/2020 10:44 WIB
Nadiem Makarim. (Gatra)

Nadiem Makarim. (Gatra)

Jakarta, law-justice.co - Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Nadiem Anwar Makarim akhirnya mengizinkan sekolah di zona kuning melaksanakan pembelajaran tatap muka.

Alasannya kata dia, pembelajaran jarak jauh (PJJ) berdampak negatif untuk jangka panjang.

Kata dia, kelangsungan belajar mengajar yang tidak dilakukan di sekolah berpotensi menimbulkan dampak negatif berkepanjangan; di antaranya kekerasan pada anak, ancaman putus sekolah dan penurunan capaian belajar anak-anak.

PJJ memicu kekerasan yang tidak terdeteksi.Saat berada di rumah banyak anak terjebak kekerasan/seksual tanpa terdeteksi guru. Yang memprihatinkan risiko eksternal.

"Ketika anak tidak lagi datang ke sekolah, terdapat peningkatan risiko pernikahan dini, eksploitasi anak terutama perempuan dan kehamilan remaja," katanya seperti melansir suaramerdeka, Minggu 9 Agustus 2020.

Dampak negatif lain kata dia, orang tua tidak bisa melihat peranan sekolah dalam proses belajar mengajar apabila proses pembelajaran tidak dilakukan secara tatap muka.

Selain itu, perbedaan akses dan kualitas PJJ dapat mengakibatkan kesenjangan capaian belajar, terutama untuk anak dari sosio-ekonomi berbeda. Pembelajaran di kelas lebih baik dibandingkan PJJ.

Dia menyebut, PJJ juga mengancam anak-anak berisiko putus sekolah lantaran “terpaksa” bekerja untuk membantu keuangan keluarga di tengah krisis pandemi Covid-19.

Melihat dampak negatif PJJ, Mendikbud mengeluarkan dua kebijakan baru sebagai solusi.

Yakni perluasan pembelajaran tatap muka untuk zona kuning dan kurikulum darurat (dalam kondisi khusus).

Untuk pelaksanaan pembelajaran tatap muka diperbolehkan untuk semua jenjang yang berada zona hijau dan zona kuning.

Sedangkan untuk kurikulum darurat, sekolah diberi fleksibilitas untuk memilih kurikulum yang sesuai dengan kebutuhan pembelajaran siswa.

Begitu pun modul pembelajaran dan asesmen dibuat untuk mendukung pelaksanaan kurikulum darurat (dalam kondisi khusus).

Dalam revisi SKB untuk daerah zona oranye dan merah, tetap dilarang melakukan pembelajaran tatap muka di satuan pendidikan dan tetap melanjutkan Belajar dari Rumah (BDR).

Selain zona hijau, satuan pendidikan di zona kuning dapat diperbolehkan untuk melakukan pembelajaran tatap muka dengan pertimbangan risiko kesehatan tidak berbeda jauh dengan zona hijau.

Berdasarkan data per 3 Agustus 2020 dari http://covid19.go.id terdapat sekitar 57 persen atau 238 kota/kabupaten peserta didik masih berada di zona merah dan oranye dan sekitar 43 persen atau 276 kota/kabupaten peserta didik berada di zona kuning dan hijau.

Mendibud menegaskan untuk mengaktifkan kembali pembelajaran tatap muka di daerah zona hijau dan kuning tidak serta merta langsung dilaksanakan, namun harus menuhi 4 persetujuan.

Pertama, persetujuan dari Pemerintah Daerah (Pemda) atau Dinas Pendidikan dan Kebudayaan.

Kedua, persetujuan kepala sekolah (setelah sekolah dapat memenuhi protokol kesehatan yang ketat).

Ketiga persetujuan wakil dari orang tua dan wali siswa yang tergabung dalam komite sekolah meskipun kemudian sekolah sudah melakukan pembelajaran tatap muka. Dan keempat, persetujuan dari orang tua peserta didik.

"Jika orang tua tidak setuju maka peserta didik tetap belajar dari rumah dan tidak dapat dipaksa," kata Nadiem di Jakaarta, Sabtu (8/8).

Namun jika satuan pendidikan terindikasi tidak aman atau tingkat risiko daerah berubah, pemerintah daerah wajib menutup kembali satuan pendidikan.

"Implementasi dan evaluasi pembelajaran tatap muka adalah tanggung jawab pemerintah daerah didukung pemerintah pusat," tegasnya.

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar