Kebangkrutan Ancam Korporasi, Krisis Sudah di Depan Mata

Jum'at, 24/07/2020 15:23 WIB
Ilustrasi Krisis Ekonomi Indonesia (aktual)

Ilustrasi Krisis Ekonomi Indonesia (aktual)

Jakarta, law-justice.co - Pandemi covid-19 benar-benar menghancurkan sektor perekonomian Indonesia. Bahkan, krisis ekonomi sudah berada di depan mata menyusul munculnya prediksi sejumlah lembaga internasional yang mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun ini akan negatif.

Kondisi krisis ini membuat sejumlah korporasi mulai mengalami kesulitan dalam membayar kewajiban mereka kepada kreditur maupun kepada vendor. Walhasil banyak gugatan karena kreditur menganggap debitur melakukan wanprestasi membayar kewajiban mereka.

Ancaman kebangkrutan korporasi di tengah pandemi virus korona Covid-19 bukan sekadar isapan jempol. Memasuki bulan keempat pandemi covid-19, sejumlah korporasi mulai menghadapi gugatan di pengadilan karena urusan utang-piutang.

Melansir kontan.co, berdasarkan data yang dihimpun dari lima Pengadilan Niaga di seluruh Indonesia, hingga akhir semester I-2020 menunjukkan perkara Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) melesat.

Bila semester I-2019, jumlah perkara PKPU hanya 163 perkara, pada paruh pertama tahun ini jumlahnya sudah 249 perkara atau naik 52,76%.

Sengketa PKPU ini terjada merata pada semua sektor usaha. Seperti konstruksi dan properti, transportasi, logistik, pariwisata, ritel, juga keuangan.

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Shinta Widjaja Kamdani menduga hampir semua usaha menghadapi kesulitan cash flow karena turunnya pasokan dan permintaan selama pandemi.

"Ada efek domino dari dari suply chain, yakni terlambat bayar utang karena dampak pembatasan aktivitas selama Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB)," katanya, Rabu (22/7/2020).

Sementara, Ketua Dewan Penasehat Asosiasi Kurator dan Pengurus Indonesia (AKPI), Jamaslin James Purba memprediksi perkara PKPU di pengadilan bisa terus meningkat bila kondisi ekonomi dalam negeri belum membaik.

Banyaknya perkara PKPU menjadi pertanda bahwa pilihan penyelesaian kasus wanprestasi utang dengan restrukturisasi utang melalui pengadilan.

Kekhawatiran lain, dari tren maraknya PKPU ini, perbankan yang ikut menjadi kreditur mayoritas di korporasi yang menghadapi PKPU bisa kena getahnya.

Kepala Riset Samuel Sekuritas Suria Dharma melihat meningkatnya PKPU bukan semata utang bermasalah karena pandemi covid-19, melainkan karena sebagian korporasi tersebut sudah memiliki masalah sebelum pandemi.

Perbankan pasti sudah menghitung potensi gagal bayar korporasi ini. "Jadi bukan karena covid-19 semuanya ini. Menurut saya, tidak semua begitu ya," kata Suria.

Namun, Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee melihat, tren PKPU meningkat, tidak akan berpengaruh langsung ke perbankan yang memberikan kredit kepada korporasi yang bermasalah dengan utang di pengadilan itu.

"Dampaknya pada perbankan memang ada, tapi perbankan sudah punya opsi restrukturisasi kepada debitur dan tidak mencatatnya sebagai kredit macet," ucap dia.

Agar dampak kesulitan likuiditas di sektor usaha ini tidak meluas, Shinta berharap pemerintah segera menggenjot daya beli masyarakat lewat belanja pemerintah, serta pemberian stimulus. Dengan cara ini dunia usaha tetap dapat order dan beroperasi.

Senda dengan Shinta, Ketua Bidang Keuangan dan Perbankan Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi), Ajib Hamdani melihat saat ini, sektor-sektor yang bermasalah dengan utang, terutama pada sektor sekunder dan tersier.

Karena itu, ia berharap pemerintah membenahi sektor primer seperti industri sumber daya alam sehingga industri turunannya mengekor. Selain itu, pemerintah harus membantu UMKM.

 

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar