Kabulkan Gugatan Evi Ginting, Pakar: PTUN Bertentangan Dengan DKPP

Kamis, 23/07/2020 19:33 WIB
Mantan Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik (kompas)

Mantan Komisioner KPU Evi Novida Ginting Manik (kompas)

Jakarta, law-justice.co - Pakar Hukum Tata Negara Muhammad Rullyandi menilai putusan PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) Jakarta yang mengabulkan gugatan dari mantan anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Evi Novida Ginting sangat bertentangan dengan filosofis karakteristik putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

Menurutnya putusan yang menyatakan batal keputusan presiden tentang pemberhentian dengan tidak hormat dan mewajibkan tergugat untuk mencabut keputusan presiden tentang pemberhentian dengan tidak hormat menimbulkan kekacauan hukum terutama dalam aspek penegakan etik bagi penyelenggara pemilu (KPU dan Bawaslu).

"Amar putusan tersebut hanya menyatakan keputusan presiden batal tentang pemberhentian dengan tidak hormat Evi Novida Ginting namun bagaimana dengan Putusan DKPP yang menjadi sumber hukum pemberhentian etik yang memberikan sanksi akhir terhadap Evi Novida Ginting yang tidak dilibatkan menjadi pihak dalam persidangan dan tidak termuat dalam diktum putusan PTUN," katanya melalui keterangan persnya, Kamis (23/7/2020).

"Apakah putusan PTUN dapat ditafsirkan seolah - olah membatalkan putusan DKPP secara mutatis mutandis?," tambahnya.

Dia mengtakan bahwa yang perlu diingat bahwa filosofis karakteristik putusan DKPP telah dilegitimasi secara konstitusional, bersifat absolut final dan mengikat.

Oleh karena itu sarana undang - undang pemilu secara lex specialis tidak memberikan suatu pengaturan atas keberadaan kewenangan tambahan PTUN untuk dapat meninjau putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat sebagai kontrol checks and balances peradilan.

"Maka demikian putusan PTUN yang mengabulkan gugatan Evi Novida Ginting telah masuk pada ranah ultra vires mengkoreksi putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat," jelas Rullyandi.

Karena itu kata dia, putusan DKPP harus tetap dimaknai putusan yang final dan mengikat sebagai semangat grand design refomarsi undang - undang pemilu.

"Kedepan fase baru ini akan menjadi banjir gugatan di PTUN apalagi sangat potensial terulang pada saat menghadapi hajatan pilkada serentak 270 daerah pada desember 2020 yang akan datang," lanjutnya.

"Sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum dan meruntuhkan bangunan gagasan negara hukum yang kita agung - agungkan bilamana paradigma memandang keberadaan putusan DKPP tetap membenarkan jalan pikiran argumentasi hukum yang dibangun oleh putusan PTUN pada perkara Evi Novida Ginting," tutupnya.

Sebelumnya, Evi Novida Ginting tidak terima dipecat Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari jabatan komisioner KPU RI. Oleh sebab itu, Evi melayangkan gugatan terhadap Jokowi ke PTUN.

Kasus bermula saat DKPP memberhentikan dengan tidak hormat Evi karena sudah melanggar 3 kali kode etik penyelenggara pemilu. Pada 18 Maret 2020, DKPP resmi memecat Evi.

Menindaklanjuti hal itu, Presiden Jokowi kemudian mengeluarkan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 34/P Tahun 2020 pada 23 Maret 2020. Tidak terima dengan hal itu, Evi menggugat Jokowi ke PTUN Jakarta

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar