H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Hut 74 Polri, Terjepit Diantara Kepentingan Pengusaha dan Penguasa

Rabu, 01/07/2020 06:00 WIB
H. Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (istimewa)

H. Desmond J Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI. (istimewa)

Jakarta, law-justice.co - Memasuki usianya  yang ke 74 tahun, Polri semakin berbenah diri untuk memperbaiki kinerjanya yang menjadi sorotan masyarakat di negeri ini. Dibawah kepemimpinan Jenderal Pol Drs Idham Azis, Polri  telah menorehkan banyak prestasi diantaranya tim gabungan Polda Metro Jaya dan Bareskrim Polri telah berhasil mengungkap penganiayaan  penyidik  KPK Novel Baswedan dan  mengamankan dua pelakunya yang ternyata adalah dua oknum Brimob Polri. Kasus ini terungkap setelah dua tahun lebih disidik oleh Polri.

Selain itu, kasus pembunuhan Hakim  PN Medan Jamaludin yang banyak disorot publik juga berhasil dibongkar tim gabungan  Polresta Medan dan Polda Sumut dimana pembunuhnya ternyata adalah isterinya sendiri.

Pada bulan Pebruari 2020 lalu, Direktorat Pidana Umum  Bareskrim Polri kembali berhasil mengungkap sindikat jaringan prostitusi berkedok kawin kontrak dikawasan Puncak Bogor  yang  melibatkan pelanggan dari luar negeri. Keberhasilan Polri mengungkap kasus ini banyak mendapat apresiasi.

Sindikat narkoba internasional juga berhasil dibongkar polda metro jaya pada bulan Pebruari. Sebanyak 288 kg sabu senilai rp 1.4 Triliun berhasil disita untuk dijadikan barang bukti. Jauh sebelum ini, direktorat krimsus  polda jatim juga berhasil membongkar investasi bodong beromset triliunan rupiah dan menangkap pelakunya untuk diadili.

Sepanjang tahun 2020 ini pula polisi berhasil menetapkan 69 tersangka kasus  (Kebakaran Hutan dan Lahan (Karhutla) di tengah situasi pandemi. Secara keseluruhan, polisi menangani 64 kasus, dengan rincian 63 kasus diduga dilakukan perorangan dan satu kasus lainnya diduga dilakukan korporasi. 

Namun selain prestasi yang telah berhasil di torehkan, jajaran Polri masih juga dibayang bayangi oleh penyimpangan-penyimpangan  yang dilakukan oleh sebagian anggotanya yang menjadi centeng pengusaha dan abdi penguasa. Pengabdian kepada pengusaha biasanya berkaitan dengan masalah ekonomi untuk mempertahankan gaya hidupnya sementara pengabdian kepada penguasa biasanya berkaitan dengan upaya melancarkan jenjang kariernya.

Menjadi Abdi Pengusaha

Dalam rangka menjalankan tugasnya sebagai aparat sesuai dengan tupoksinya, kepolisian telah digaji oleh negara. Memang gaji yang didapat dari negara seringkali dikeluhkan karena dianggap tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Bagi oknum aparat yang merasa tidak cukup dengan gaji dan tunjangan yang diterima biasanya kemudian mencari obyekan untuk menambah penghasilannya.

Upaya untuk menambah penghasilan dalam rangka memenuhi gaya hidup ini sebagian dilakukan dengan cara melanggar hukum karena menyimpang dari perilaku yang seharusnya dipegang teguh oleh aparat negara. Salah satunya adalah dengan menjadi centeng alias menjadi abdi seorang pengusaha atau pemilik modal yang banyak uangnya.

Bahwa aparat kepolisian telah menampilkan dirinya sebagai “centeng” pengusaha sebenarnya sudah terlihat sejak lama. Sebagai contoh kehadiran polisi di areal perkebunan sawit yang menjadi sengketa antara perusahaan dengan warga seringkali memicu konflik karena keberpihakan aparat kepada pengusaha.

Wahana Lingkungan Hidup Indonesia pernah mendesak Kepala Kepolisian RI Jenderal (Pol) Timur Pradopo saat itu agar segera menarik seluruh pasukan Brimob dari area perkebunan sawit di beberapa daerah Indonesia. Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Berry Nahdian Forkan mengatakan, kehadiran aparat Brimob di perkebunan tersebut seringkali hanya menjadi pemicu konflik antara pihak perusahaan dan warga sekitarnya.

 "Karenanya menjadi pertanyaan besar  keterlibatan aparat polisi (Brimob) dalam semua kasus justru bukan untuk meredam konflik, melainkan melindungi pemilik usaha. Maka jangan heran jika organisasi masyarakat sipil mengategorikan mereka sebagai "centeng" perusahaan," ujar Berry, saat melakukan jumpa pers di Kantor Walhi, Jakarta, sebagaimana dikutip pers, Jumat (16/12/2011).

Perkara kekerasan yang melibatkan aparat kepolisian memang pernah  terjadi misalnya di Mesuji, Lampung, Sumatera. Dimana pernah terjadi peristiwa kekerasan antara masyarakat petani dengan perusahaan dan penjaga bayaran serta antara masyarakat dengan pihak kepolisian yang ada disana. Masyarakat yang mempertahankan tanahnya mengalami pengusiran, penganiayaan, penangkapan, kekerasan seksual bahkan korban jiwa.

Dalam catatan KontraS telah terjadi kekerasan atas konflik perebutan lahan antara masyarakat setempat dengan perusahaan, baik perusahaan tambang maupun sawit yang dimiliki oleh swasta. Kasus-kasus tersebut antara lain terjadi di Poso yang diduga melibatkan PT Poso Energ dan di Jambi oleh PT Krisna Duta Agroindo; Sumatera Selatan.

Juga diduga melibatkan PT Musi Hutan Persada; Aceh Utara yang diduga melibatkan PT Satiya Agung; Kupang yang diduga melibatkan PT Soe Makmur Resorces; PT Jogya Magaza Iron, uematera Utara yang diduga melibatkan PT Balakka; Sulawesi Selatan yang diduga melibatkan PT London Sumatera; serta di Sulawesi Tengah yang diduga melibatkan PT Medco-Pertamina.

Tindakan aparat keamanan yang menembaki dan menangkap warga yang melakukan aksi penolakan terhadap proyek pertambangan di Sape Bima beberapa tahun silam juga  menunjukkan bahwa kepentingan bisnis di atas segalanya. Aparat tak lagi memperhitungkan akibat dari tindakan tersebut, yaitu merenggut nyawa rakyatnya.

Tindakan kekerasan yang dilakukan aparat untuk membubarkan para pengunjuk rasa yang menutup alur di pintu masuk Pelabuhan Sape saat melakukan aksinya. Perilaku aparat negara dalam insiden Bima itu juga merupakan perilaku bermental centeng modal alias pengusaha. Perilaku yang hanya mungkin dipertanggungjawabkan kepada pemilik modal, bukan kepada rakyat yang semestinya harus dibela. 

Kasus pembunuhan Salim Kancil di Pasuruan beberapa waktu yang lalu juga menegaskan betapa berkuasanya kaum pemilik modal di daerah sehingga berlaku hukum rimba. Pemodal dengan kekuatan finansialnya bisa menyetir pejabat daerah dengan dukungan aparat keamanan yang bertugas disana. Dengan kekuatan seperti ini, rakyat yang melakukan perlawanan akan di lindas dengan kekuatannya. 

Daftar akan bertambah panjang manakala kita tambahkan adanya (oknum) polisi yang menjadi centeng dari pembuat atau pelaku tindakan yang melanggar hukum karena menjadi backing di club-club malam, tempat prostitusi, bahkan tempat berjudi justru mendapatkan perlindungan dari (oknum) polisi, padahal semestinya mereka harus menyikatnya. Pendeknnya, beberapa kejadian seperti di Bima (NTB), Mesuji Lampung dan tempat tempat lainnya mengindikasikan perilaku aparat yang menyimpang dari tupoksinya. 

Padahal reformasi telah memberikan peran dan kewenangan polisi yang besar, serta ditunjang dengan anggaran yang besar pula.Sangat disayangkan kalau kewenangan yang besar itu justru disalahgunakan untuk memusuhi rakyatnya seharusnya dibela. Padahal secara fisolofis, negara dibangun atas dasar kepercayaan rakyat, maka seyogyanya harus melindungi kebutuhan rakyatnya, bukan mendukung aktivitas para pemilik usaha. 

Dalam sejarahnya, centeng memang sudah biasa digunakan oleh mereka yang mempunyai duwit atau modal untuk menjaga kepentingannya. Di abad ke-19, centeng umumnya direkrut dari orang-orang pribumi melalui iklan-iklan di surat kabar. Para centeng yang direkrut harus memiliki kriteria yang  bukan saja bertampang menyeramkan, melainkan juga harus memiliki kepiawaian dalam bermain silat atau kemampuan bela diri lainnya.

Saat itu centeng dimanfaatkan tidak hanya sebagai pejaga gudang hasil bumi perkebunan milik tuan tanah Cina saja, menurut Margreeth van Till dalam bukunya Batavia Kala Malam, kepolisian Belanda pun kerap menggunakan jasa centeng ini sebagai informan atau mata-mata. AW van Hinne pernah menggunakan jasa Djeram Latip sebagai centeng untuk memburu kelompok Si Pitung yang akhirnya tewas dibunuh Pitung karena dianggap sebagai pengkhianat pada kelompoknya.

Demikianlah seiring dengan perjalanan waktu, centeng mengalami perluasan makna tidak lagi difungsikan sebagai penjaga gudang semata. Profesi ini lebih sering digunakan sebagai pengawal pribadi para tuan tanah dan meneer Belanda, bahkan kepada siapapun yang sanggup membayarnya. Sampai tahun 1940an masih banyak orang-orang Cina pengusaha kaya yang menggunakan jasa centeng ini sampai akhirnya secara umum digantikan fungsinya oleh oknum polisi sebagai aparat negara

Beruntung akhir akhir ini kita semakin jarang mendengar berita adanya centeng aparat yang menjadi beking pengusaha dalam mengamankan bisnisnya. Namun bukan berarti tidak ada sebab bisa jadi karena permainan mereka semakin canggih sehingga sulit terendus oleh media atau karena media tidak berani memberitakan karena terlalu besar resikonya.

Menjadi Abdi Penguasa

Selain menjadi “centeng” pengusaha, oknum aparat kepolisian juga sering memamerkan perannya sebagai “centeng” penguasa. Pakar hukum tata negara dari Universitas Parahyangan Bandung, Asep Warlan Yusuf mengatakan sejak dipimpin Kapolri Jendral Tito Karnavian, Polri telah kehilangan jati dirinya sebagai lembaga penegak hukum dan telah berubah menjadi `bemper` parpol pendukung pemerintah yang sedang berkuasa. Dia menyebut salah satu buktinya Polri telah menjadi partisan adalah tudingan makar di setiap unjuk rasa.

Di balik paranoid akan adanya aksi massa, Polri juga kerap menggunakan alasan demo telah ditunggangi oleh pihak-pihak tertentu untuk menggulingkan pemerintahan yang sedang berkuasa. "Orang yang dianggap menggangu presiden secara politik dihabisi, sementara di satu sisi polisi membiarkan berbagai pelanggaran yang bisa mengganggu NKRI seperti persoalan TKA China, orang-orang yang juga menyebarkan fitnah dan berita tidak benar terhadap lawan-lawan politik presiden juga dibiarkan saja. 

Orang yang menjaga NKRI dan menjaga akidah Islam ditangkap, sementara orang yang mengusung kembali PKI dibiarkan tanpa ada tindakan apa apa. Mengibarkan bendera OPM dibiarkan tanpa tindakan pada hal jelas jelas nuansa sparatisnya. Ini maunya bagaimana sebenarnya? Masyarakat sekarang gusar," pungkasnya sebagaimana dikutip wartaekonomi.co.id. Padahal tugas polisi seharusnya adalah menegakkan hukum dan mengayomi masyarakat Indonesia dan bukan melindungi presiden secara politik di mana polisi dijadikan alat politik untuk memberangus pihak yang dianggap bisa mengganggu penguasa.

Akhir-akhir ini terkesan posisi kepolisian memang telah menggantikan peran tentara pada zaman Orba. Pada zaman Orba, banyaknya penempatan jabatan di pelbagai bidang justru dilakukan oleh tentara. Misalnya mantan Panglima ABRI M.J usuf di posisi Ketua Badan Pemeriksan Keuangan (BPK), Mayor Jenderal Amirmachmud sebagai Mendagri, Ali Moertopo menguasai Departemen Penerangan, atau Alamsjah Ratu Prawiranegara yang menempati posisi di Departemen Agama. 

Saat itu Soeharto, menggunakan tentara untuk melanggengkan kekuasaannya. Dosen Fisipol UGM Budi Winarno mencatat, konsep dwifungsi telah membuka peluang penyalahgunaan TNI menjadi alat politik negara.Tentara lebih diorientasikan untuk menjaga kelanggengan kekuasaan Soeharto melalui kekerasan terhadap warga negaranya dibandingkan dengan diorientasikan untuk mengamankan wilayah Indonesia dari ancaman kekuatan mancanegara.

Gerakan reformasi telah menghapuskan itu semua. Dwifungsi ABRI dilarang dan penempatan personel di instansi non-militer hanya boleh untuk kementerian/lembaga tertentu saja. ABRI itu sendiri dibubarkan dan diganti oleh Tentara Nasional Indonesia. Polri dipisahkan dari TNI melalui Instruksi Presiden No. 2/1999. Anggota TNI juga tidak boleh lagi langsung ikut penegakan hukum selama tidak menyangkut keamanan negara. Polri menjadi garda terdepan untuk bersemuka dengan masyarakat dalam urusan hukum. Dampaknya, Polri berpeluang jadi alat gebuk penguasa menggantikan tentara. Apalagi dengan adanya faktor polisi bertanggung jawab kepada negara. 

Tindakan penegakan hukum oleh Polri sangat ditentukan oleh pihak penguasa.Dalam konteks ini, maka polisi mencerminkan sikap dan nilai-nilai yang dipraktikan pihak penguasa (negara). Jika penguasa menunjukkan rasa tidak hormat kepada prinsip-prinsip negara hukum, maka kecil kemungkinan mewujudkan pemolisian yang taat HAM dan demokratis. 

Bahwa kepolisian telah menjadi alat gebuk bagi penguasa tercermin dari kejadian sepanjang tahun 2019 yang lalu dimana terdapat sejumlah kasus kekerasan aparat terhadap warga sipil: kematian sembilan orang dalam kerusuhan 21-22 Mei, penangkapan 1.489 peserta aksi, hingga penahanan sementara 14 mahasiswa yang ikut aksi peringatan Hari HAM 10 Desember 2019. 

Pada aksi 21-22 Mei, kekerasan yang dilakukan puluhan aparat awalnya bermaksud ditutup-tutupi. Sejumlah wartawan yang meliput diminta menghapus foto dan rekaman video kekerasan polisi terhadap massa. Namun usaha ini sia-sia karena masih ada rekaman kekerasan yang beredar di sosial media. Akibatnya, 25 anggota Brimob menjalani hukuman disiplin - padahal jumlah yang melakukan kekerasan lebih banyak dari itu. Jumlah itu didapat dari empat video kekerasan polisi yang diserahkan Komnas HAM. Namun hanya dua yang berhasil teridentifikasi lokasinya: 

Oknum Polri telah dijadikan alat kekuasaan juga tercium pada waktu pilpres 2019 yang lalu. Indikasinya terendus  dengan adanya pengakuan mantan Kapolsek Pasirwangi, AKP Sulman Aziz dimutasi karena tolak perintah Kapolres Garut untuk menggalang dukungan untuk paslon 01 Jokowi-Maruf Amin.

Indikasi penggunaan institusi Polri sebagai alat kekuasaan juga terlihat saat pihak  Kepolisian menarik Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) kasus makar yang mengaitkan nama Prabowo Subianto.Wakil Ketua Partai Gerindra, Fadli Zon, mengatakan ditariknya SPDP terhadap Prabowo semakin menunjukkan ketidakprofesionalan Polri.

"Ini kan menunjukkan ketidakprofesionalan kan, sangat jelas. Apa namanya kalau tidak profesional. Kelihatan sekali menjadi alat kekuasaan menjadi alat politik," ujarnya di Jakarta, Selasa (21/5/2019) sebagaimana dikutip media.

Tudingan bahwa Polri telah dijadikan alat kekuasaan pernah juga dilontarkan mantan WAKIL Ketua Komisi III Fraksi Partai Demokrat Benny Kabur Harman. Ia menuding Kapolri Jenderal Tito Karnavian telah memfasilitasi Antasari Azhar untuk menjatuhkan Ketua Umum Partai Demokrat Susilo Bambang Yudhoyono. Menurut dia, Polri sebagai institusi nonpartisan seharusnya tidak boleh menjadi alat kekuasan.

"Kepolisian memfasilitasi Antasari Azhar, menjadikan Mabes Polri untuk Antasari merusak kewibawaan Presiden ke-6. Kejam. Yang lebih kejam institusi kepolisian yang Anda pimpin," kata Benny dalam rapat kerja Kapolri dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (22/4).

Dalam konteks kekeninian, penggunaan institusi Polri yang tersandera oleh kekuasaan barangkali bisa dicium melalui kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan. Polisi dalam hal ini memang telah berhasil menetapkan dua orang anggotanya menjadi tersangka. Namun penetapan tersangka terhadap keduanya terkesan hanya untuk memenuhi target penyelesaian perkara saja. 

Adanya persidangan perkara dimana Jaksa menuntut rendah hukuman terhadap tersangkanya serta dagelan dagelan yang mewarnai proses persidangan akhirnya memunculkan suatu anggapan bahwa penyelesaian kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan ini hanya sekadar sandiwara belaka. Bahkan Haris Azhar pegiat HAM menyebutkan kelucuan sidang Novel tidak cukup diungkapkan dengan tawa.

Semua itu tentu terjadi karena adanya tangan tangan kekuasaan yang bermain sehingga Polri tidak mampu menegakkan hukum secara benar karena pengaruh kekuasaan telah mewarnai irama penyelesaian perkara yang seharusnya transparan, adil dan memuaskan mereka yang menjadi korbannya.

Demikian juga halnya dengan kasus Harun Masiku yang sampai sampai sekarang belum ditemukan dimana sembunyinya. Ada kritik dari masyarakat dimana Polri begitu sigap mencari tersangka teroris atau pengkritik penguasa tapi tidak berdaya ketika harus mencari Masiku yang konon masih beredar di Indonesia. Perkara ini memunculkan kesan bahwa ada tangan tangan kekuasaan yang bermain karena kasus ini diduga melibatkan penguasa atau partai penguasa. Sehingga Polri gamang untuk mengusutnya karena mungkin takut konsekuensi yang akan ditanggung pimpinannya.

Selain kasus kasus diatas, Polri akhir akhir kelihatan sedang gundah gulana menghadapi kasus pembakaran bendera partai penguasa.Desakan agar kasus pembakaran bendera di usut beradu kuat dengan tuntutan pihak lain yang meminta supaya Polri menangkap pelaku makar terhadap Pancasila yang diduga melibatkan tokoh pentolan partai penguasa.

Begitulah kiranya, Polri yang tersandera oleh kekuasaan pada akhirnya tidak cukup punya keberanian untuk mengusut kasus kasus yang seharusnya segera diselesaikannya.  Tarik ulur yang terjadi mengindikasikan bahwa aparat kepolisian sedang menentukan sikapnya. Mengapa ? karena yang dipertimbangkan mungkin keselamatan jabatan atau keistimewaan lain yang diterima dari penguasa. 

Belajar Pada Sosok Hoegeng

Ketika aroma pengabdian aparat cenderung kepada pengusaha dan penguasa, orang lagi-lagi teringat pada sosok seorang polisi fenomenal bernama Hoegeng yang dikenal jujur dan sederhana. Bukan hanya itu, dalam riwayatnya Hoegeng juga dikenal menjadi “musuh” pengusaha sekaligus berani melawan penguasa yang dinilai melenceng dari garis kebenaran yang diyakininya.

Kisah perlawanan seorang Hoegeng kepada pengusaha dan penguasa pernah ditulis di liputan6.com tanggal 10 Juli setahun yang lalu dalam rangka memperingati hari bhayangkara. Diceritakan pada  awal 1956, seorang pria tinggi kurus bersama istrinya tiba di Pelabuhan Belawan, Medan, Sumatra Utara. Perintah dari atasan membuatnya harus meninggalkan Tanah Jawa dan menjejakkan kaki di kota yang dia tak kenal sebelumnya.

Ada sedikit kegamangan ketika dia harus mengemban jabatan baru sebagai Kepala Direktorat Reserse Kriminal pada Kantor Polisi Sumut (sekarang Polda Sumatera Utara). Betapa tidak, sebelum berangkat, atasan dan sejumlah koleganya sudah mewanti-wanti akan kondisi daerah yang akan di kunjunginya.

Disebutkan, Kota Medan adalah daerah rawan dan keras  karena penyelundupan dan perjudian seolah tak tersentuh disana. Banyak sudah perwira polisi yang bertekuk lutut karena berutang budi pada pengusaha kakap yang umumnya dikuasai oleh etnis Tionghoa.

Dan, pria kurus ini tak perlu menunggu lama untuk membuktikannya. Saat akan memasuki rumah dinas dengan membawa perlengkapan seadanya, perabotan mewah ternyata sudah memenuhi rumah yang akan ditempatinya.  Mulai dari kulkas, tape recorder, piano,kursi tamu dan peralatan rumah tangga lainnya.

Namun ketika sampai ke rumah dinasnya, anak buahnya  diminta untuk menyingkirkan semua barang itu dan mengganti dengan barang barang rumah tangga yang dibawanya. Diceritakan anak buahnya mengaku tak berani melakukannya. Alhasil, perwira polisi ini mengeluarkan sendiri semua perabot tersebut dan meletakkannya di pinggir jalan raya.

Kabar ini langsung menggemparkan Kota Medan dan sekitarnya. Dari kondisi sosial ketika itu, adalah sesuatu yang aneh ketika seorang perwira polisi dari Jakarta berani menolak pemberian cukong Medan warga Tionghoa. Sejak itu pula, sebuah nama ramai dibicarakan dan terpatri di benak publik: Hoegeng Iman Santoso, namanya.

Hoegeng ternyata memang tidak mempan digertak dan disuap oleh siapapun juga. Dalam menjalankan tugas, tak terbilang banyaknya dia membongkar kasus penyelundupan dan perjudian yang dilakukan pengusaha "Cina ". Tak jarang pula dia harus menangkap dan menahan perwira Polda Sumut yang ikut terlibat dalam kasus yang ditanganinya.

Ketika Hoegeng diangkat sebagai Kapolri, ia pernah merasakan godaan suap dari seorang pengusaha. Dia pernah dirayu seorang pengusaha cantik pelaku penyelundupan keturunan Makassar-warga Tionghoa. Wanita itu meminta Hoegeng agar kasus yang dihadapinya tak dilanjutkan ke pengadilan atau dihendikan saja.Seperti diketahui, Hoegeng sangat gencar memerangi penyelundupan di seluruh Indonesia.

Dia tidak peduli siapa beking penyelundup tersebut, semua pasti disikatnya.Wanita ini pun berusaha mengajak damai Hoegeng dan menghentikan kasusnya. Berbagai hadiah mewah dikirim ke alamat Hoegeng namun semua hadiah itu ditolaknya. Hadiah ini langsung dikembalikan oleh Hoegeng ke pengirimnya. Tapi si wanita itu tak putus asa. Dia terus mendekati Hoegeng agar menutup kasus yang menjeratnya.

Yang membuat Hoegeng heran, malah koleganya di kepolisian dan kejaksaan yang memintanya untuk melepaskan wanita itu. Hoegeng menjadi heran, kenapa begitu banyak pejabat yang mau menolong pengusaha wanita yang jelas jelas melakukan kejahatan pada negara. Belakangan Hoegeng mendapat kabar, wanita itu tidak segan-segan tidur dengan pejabat demi memuluskan aksi penyelundupannya. Hoegeng pun hanya bisa mengelus dada prihatin menyaksikan tingkah polah koleganya yang terbuai uang dan rayuan wanita.

Selain berani melawan pengusaha, Hoegeng juga tak gentar melawan penguasa yang menjadi atasannya. Saat itu ketika orde baru (orba) dibawah Soeharto berkuasa, Hoegeng tak segan segan melawan kebijakannya. Sepanjang apa yang diyakininya benar, Hoegeng tak gentar memprotesnya. Protes Hoegeng kepada penguasa orba.

Seperti diceritakan dalam ©2013 Merdeka.com, Hoegeng sempat berseteru dengan Soeharto sang penguasa Orba.Sepak terjang Hoegeng yang konsisten memberantas korupsi, penyelundupan dan tindak criminal lainnya telah membuat kroni keluarga Cendana mulai terusik bisnisnya. Apalagi sejumlah kasus diduga melibatkan orang-orang dekat Soeharto atau lingkaran istana. Puncak perseteruan itu, Soeharto mencopot Hoegeng sebagai Kapolri tanggal 2 Oktober 1971 atau  tiga tahun, setelah Hoegeng menduduki kursinya.

Ironinya dengan alasan penyegaran, justru pengganti Hoegeng, Jenderal M Hasan lebih tua satu tahun umurnya. Banyak pihak ketika itu menilai pergantian Hoegeng penuh intrik politik. Tapi Hoegeng tak peduli dicopot. Dia sadar itu risiko memperjuangkan tegaknya hukum dengan kejujuran, dan sikap antikorupsinya.

Jenderal  Hoegeng diduga dicopot karena mencoba menegakkan hukum yang ditanganinya. Salah satunya adalah kasus penyelundupan mobil yang dilakukan Robby Tjahjadi yang merupakan orang dekat istana. Sebagaimana diketaui Robby Tjahyatdi saat itu  sangat fenomenal pada akhir periode 1960an sampai awal 1970an. Robby adalah anak muda yang menyelundupkan ratusan mobil mewah ke Indonesia.Bayangkan tahun 1968, saat rakyat masih susah makan, di jalanan berkeliaran mobil Roll Royce, Jaguar, Alfa Romeo, BMW, Mercedes Benz dan lain-lain.

Robby menyuap sejumlah pihak di bea cukai dan kepolisian untuk melanggengkan aksinya. Diduga ada keterlibatan keluarga Cendana dalam kasus ini. Maka ketika Jenderal Hoegeng membongkar kasus ini, bukan pujian atau penghargaan yang didapat. Soeharto mencopot jenderal penuh teladan ini sebagai Kapolri.

Kasus lainnya adalah peristiwa pemerkosaan Sum Kuning. Kasus pemerkosaan seorang penjual telur bernama Sumarijem di Yogyakarta menjadi perhatian nasional. Anak seorang pejabat dan seorang anak pahlawan revolusi diduga ikut menjadi pelakunya.

Proses di pengadilan berjalan penuh rekayasa. Sumarijem yang menjadi korban malah menjadi tersangka. Hoegeng bertekad mengusut tuntas kasus ini. Dia siap menindak tegas para pelakunya walau dibekingi pejabat.

Belakangan Presiden Soeharto sampai turun tangan menghentikan kasus Sum Kuning. Dalam pertemuan di istana, Soeharto memerintahkan kasus ini ditangani oleh Team pemeriksa Pusat Kopkamtib. Hal ini dinilai luar biasa.?Kopkamtib adalah lembaga negara yang menangani masalah politik luar biasa. Masalah keamanan yang dianggap membahayakan negara.

Hoegeng dicopot sebagai Kapolri oleh Presiden Soeharto. Dari segi kinerja, tak ada yang merugikan kemampuan dan kejujuran Hoegeng. Jenderal jujur ini hanya punya satu kesalahan: Berani melawan Soeharto dan kroninya.

Soeharto memanggil Hoegeng. Secara tersirat dia berkata tak ada tempat untuk Hoegeng lagi. Dengan tegas Hoegeng menjawab. "Ya sudah. Saya keluar saja," katanya. Soeharto menawari Hoegeng dengan jabatan sebagai duta besar atau diplomat di negara lain. Sebuah kebiasaan untuk membuang mereka yang kritis terhadap Orba. "Saya tidak bisa jadi diplomat. Diplomat harus bisa minum koktail, saya tidak suka koktail," sindir Hoegeng.

Setelah pensiun, jasa-jasa Hoegeng seperti ingin dihapuskan oleh Soeharto. Atas perintah Soeharto pula Hoegeng dilarang menghadiri peringatan Hari Bhayangkara atau ulang tahun kepolisian yang jatuh setiap tanggal 1 Juli.

Mulai tahun 1987, Hoegeng tak lagi diharapkan datang ke HUT Polri. Padahal dia sudah menerima undangan resmi. Tapi menjelang hari-H, tiba-tiba ada utusan yang meminta agar Hoegeng tidak datang dalam HUT Polri. Begitu juga tahun berikutnya. Setelah itu ada saja alasan untuk tidak mengundang Hoegeng. Mulai dari surat undangan yang sengaja diberikan telat, hingga permohonan agar Hoegeng tidak mendatangi acara.

Hoegeng mengisi hari-harinya dengan menyanyi lagu Hawaii. Dia punya band The Hawaiian Seniors yang kerap tampil di TVRI. Namun setelah bergabung dengan Petisi 50, sekadar menyanyi di TV pun dia dilarang.Kala itu Menteri Penerangan Ali Murtopo yang melarangnya. Dia beralasan acara itu tidak sesuai budaya Indonesia. Ironisnya acara berbau barat yang lain tak kena semprit.

Pangkopkamtib Laksamana Sudomo meminta masyarakat agar waspada pada lagu-lagu Hoegeng. Dia menyebutkan bisa saja Hoegeng menyanyikan lagu hasutan untuk memaksa rakyat membuat kerusuhan. Alasan yang tak masuk akal tentunya.

Itulah sekadar beberapa catatan kenangan untuk Pak Hoegeng yang telah meninggalkan kita semua. Seorang yang  menjadi simbol bagi kejujuran dan kesederhanaan seorang pejabat dimasanya. Sampai sampai muncul guyonan Gus Dur, tentang kejujuran seorang Hoegeng bahwa hanya ada dua polisi yang tidak bisa disuap, yaitu Polisi Hoegeng dan polisi tidur. 

Ketika Hoegeng menjabat sebagai Kapolri, berbagai gebrakan internal ataupun ekternal telah dilakukan dalam rangka membersihkan polisi dari para mafia. Para anggota polisi yang terbukti bersalah banyak yang dikirim ke penjara. Keberhasilan dalam membersihkan internal kepolisian itu telah menjadi  poin tersendiri dalam meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja kepolisian Indonesia di masanya. Kini setiap kali ada  upaya kepolisian untuk mendongkrak citra positifnya selalu menjadikan sosok Hoegeng sebagai parameternya.  

Mencari Tuannya

Kepolisian itu  lahir dari masyarakat. Sebagai aparatur yang siap memberikan pengayoman kepada masyarakat, sejatinya polisi tidak lagi menjadi abdi negara, tetapi menjadi abdi masyarakat. Setidaknya, polisi lebih mengutamakan tanggungjawab kepada masyarakat. Demikian disampaikan mantan Gubernur Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (PTIK) Prof Farouk Muhammad saat dimintakan masukan Revisi UU No. 2 Tahun 2002 tentang Polri di ruang Badan Legislasi (Baleg) DPR, Rabu (14/5) yang lalu.

Apa yang disampaikan oleh Prof. Farouk Muhammad kiranya ada benarnya. Karena , tagline ‘polisi sebagai abdi negara’ sering dipahami oleh  polisi khususnya  ditingkat bawah untuk  mengutamakan tanggungjawab kepada atasan ketimbang kepada masyarakat. Pada hal keberadaan polisi ibarat bayi yang lahir dari masyarakat karena itu ia harus mengabdi kepada kepentingan masyarakat bukan kepada negara (baca penguasa) apalagi kepada pengusaha. 

Dengan sendirinya  pengabdian Polri, yang semula cenderung mengabdi kepada kepentingan penguasa dan pengusaha, harus  beralih ke arah institusi sipil yang mengabdi bagi kepentingan masyarakat, sehingga dalam setiap langkah operasional Polri dalam perannya selaku pemelihara kamtibmas maupun selaku penegak hukum, harus dijiwai oleh sosok penampilannya sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. 

Jika Polri mempunyai komitmen untuk menjadikan masyarakat sebagai “tuannya”, konsekuensinya ia harus senantiasa mendekatkan diri kepada masyarakat.  Mengedepankan akuntabilitas terhadap pelayanan masyarakat dengan melayani dan menolong masyarakat yang dijadikan subyeknya. 

Sebagai polisi abdi masyarakat ia harus peka dan melibatkan diri kepada berbagai urusan sipil dari warga negara, seperti membantu orang lemah, kebingungan, frustasi, pengangguran, sakit, lapar, kesepakatan, dan putus asa.

Aktualisasi nilai-nilai polisi sebagai abdi masyarakat akan  melahirkan wajah Polri yang humanis dalam rangka terwujudnya paradigma baru Polri yang menjadikan masyarakat sebagai “tuannya”. Ketika jajaran Polri telah sepakat dengan posisinya yang menjadikan masyarakat sebagai tuannya maka  pimpinan Polri perlu melakukan sosialisasi nilai-nilai polisi sipil secara rutin kepada seluruh personel Polri, sehingga personel dapat memahami hakikat paradigma baru dalam menjalankan tugasnya.

Hal tersebut bisa dilakukan misalnya dengan membuat buku saku mengenai aktualisasi dan penerapan nilai-nilai polisi sipil dalam pelaksanaan tugas pokok Polri sehari-hari, sehingga dapat dibawa dan dibaca setiap saat oleh anggota Polri dalam menjalankan tugasnya.

Tentu saja pimpinan Polri bisa memberikan suri teladan dan contoh nyata dari aktualisasi nilai-nilai polisi sebagai abdi masyarakat sehingga dapat dilihat dan dicontoh oleh anggota/bawahannya. Jangan lupa Pimpinan Polri menegakkan punishment secara tegas kepada personel Polri yang dianggap atau terbukti melakukan tindakan dan perbuatan yang tidak sesuai dengan nilai-nilai polisi sebagai abdi masyarakat. Sebaliknya, Pimpinan Polri dapat memberikan reward kepada setiap personel Polri yang dinilai telah melaksanakan dan mengaktualisasikan nilai-nilai polisi sebagai abdi masyarakat dalam pelaksanaan tugasnya.

Sebagai upaya mewujudkan Polri abdi masyarakat maka Pimpinan Polri harus mendorong personel Polri untuk menampilkan sikap dan tindakan yang sopan, ramah, santun, beretika, dan bermoral dalam melayani masyarakat, memelihara keamanan dan ketertiban, serta menegakkan hukumnya.

Pimpinan Polri perlu  mendorong anggota Polri untuk menampilkan sosok anggota Polri yang suka menolong, simpatik, patuh hukum, loyal, taat, dan memegang teguh etika profesi Polri ketika melakukan interaksi dengan masyarakat. Selain itu Pimpinan Polri harus mendorong personel Polri untuk menampilkan perilaku yang rendah hati, supel, luwes, dan adaptabel.

Ketika menjalin kemitraan dengan pihak- pihak terkait dalam melaksanakan tugas pokok Polri, dan mendorong personel Polri untuk menampilkan profesionalisme, kualitas, dan kompetensi dalam  berkomunikasi, koordinasi, diskusi, dan silaturahmi dengan instansi lintas sektoral yang menjadi mitranya.

Begitulah kiranya konsekuensi manakala terjadi perubahan paradigma dimana Polri menjadikan masyarakatr sebagai “tuannya”. Perubahan paradigma ini harus diakui memang mudah untuk di wacanakan dan di diskusikan tetapi cukup berat untuk bisa diwujudkan dalam dunia nyata. Tetapi mau tidak mau jika kita menginginkan sosok polisi ideal harapan masyarakat Indonesia, perubahan paradigma ini harus dijalankan oleh Polri agar dicintai masyarakatnya. Kita berharap Polri dengan segala kekurangan kelebihannya bisa mengarahkan segenap jajarannya untuk menuju ke arah sana.

 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar