H. Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI

Saat Kebebasan Akademik Hanya Sebatas Utopia, Refleksi Kasus di UGM

Sabtu, 06/06/2020 11:03 WIB
H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

H.Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Salah satu tujuan didirikannya negara Indonesia adalah untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Begitulah sebagaimana tertuang dalam pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Sarana untuk mencerdaskan kehidupan bangsa diantaranya melalui dunia pendidikan sehingga anak-anak bangsa disekolahkan mulai tingkat dasar sampai jenjang yang setinggi-tingginya.

Di sekolah-sekolah atau dikampus, anak anak bangsa diberikan kesempatan untuk membahas ilmu pengetahuan melalui diskusi, seminar, lokakarya dan metode pembelajaran lainnya. Semuanya bertujuan untuk membuat anak anak bangsa cerdas pemikirannya dengan bertambahnya pengetahuan dan ketrampilan yang dimilikinya.

Itulah sebabnya sekolah dan kampus identik dengan sarangnya olah pikir anak anak bangsa dalam meningkatkan pengetahuan dan ketrampilannya. Karenanya ada mimbar akademik yang menjamin kebebasan insan pendidikan dalam menyatakan pendapat, pikiran dan aspirasinya. Kebebasan ini sebenarnya bukan hanya dimiliki kalangan pendidikan saja tetapi juga dimiliki oleh segenap warga negara Indonesia.

Tetapi kebebasan menyampaikan pendapat khususnya dilingkungan kampus akhir akhir ini  semakin di kebiri  diduga dilakukan oleh penguasa. Kasus terakhir di kampus UGM Yogya semakin mengukuhkan kenyataan bahwa ditengah pandemi corona ternyata muncul juga upaya pembungkaman sehingga kebebasan akademik terancam eksistensinya.

Apa makna peristiwa teror diskusi  di Yogya bagi kebebasan akademik di Indonesia ?,Mengapa ancaman terhadap kebebasan akademik bisa berulang kali terjadinya ?. Siapa sebenarnya pelaku teror diskusi di Yogya ?. Harus bagaimana sebaiknya negara menjamin kebebasan akademik ini bagi warga negaranya ?

Ancaman kebebasan Akademik

Kebebasan akademik adalah kebebasan yang bersifat fundamental dalam rangka mengembangkan otonomi institusi akademik kita. Kebebasan tersebut merupakan bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat sebagai sistem hukum Hak Asasi Manusia universal yang diakui dan dilindungi keberadaannya di Indonesia. 

Secara yuridis kebebasan akademik merupakan bagian dari kebebasan menyatakan pendapat sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 28E ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945, bahwa setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapatnya. Terlebih di dalam dunia akademis, kebebasan berpendapat itu semakin dilindungi dengan adanya konsep kebebasan akademik, yang secara tegas diakui oleh negara.

Dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Pasal 8 ayat (1) menyatakan bahwa: “Dalam penyelenggaraan Pendidikan dan pengembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi berlaku kebebasan akademik, kebebasan mimbar akademik, dan otonomi keilmuan.” Kebebasan Akademik juga diakui dan dihormati secara universal berdasarkan Magna Charta Universitatum (Bologna, 18 September 1988).

Dalam rangka mewujudkan kebebasan akademik di Indonesia para dosen, mahasiswa dan peneliti pernah berkumpul di Surabaya tahun 2017 dalam pertemuan yang diinisiasi oleh Serikat Pengajar HAM dan Pusat Studi Hukum HAM Fakultas Hukum Universitas Airlangga. Pertemuan tersebut menghasilkan Surabaya Principles on Academic Freedom (SPAF), 2017 atau Prinsip-Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik. 

SPAF ini telah diadopsi sebagai sumber hukum untuk meneguhkan prinsip-prinsip tentang kebebasan akademik, tidak hanya di Indonesia, namun di perguruan tinggi di kawasan Asia Tenggara. Hal tersebut dilakukan melalui perkumpulan akademisi South Asian Human Rights Studies Network (SEAHRN)  pada April 2018 lalu di Universitas Sabah Malaysia.

Meskipun sudah cukup payung hukum untuk menegakkan kebebasan akademik di Indonesia tetapi  dewasa ini, tekanan terhadap kebebasan akademik masih menyisakan persoalan dalam pelaksanannya. Kebebasan dosen dan mahasiswa untuk mengemukakan pemikirannya masih saja mendapat perlawanan dari berbagai pihak yang merasa tidak suka. 

Salah satunya adalah tindakan intimidasi yang dilakukan oleh oknum tertentu kepada panitia penyelenggara kegiatan Diskusi dan Silaturahmi Bersama Negarawan (DILAWAN) yang diselenggarakan kelompok studi mahasiswa “Constitutional Law Society”  pada 29 Mei 2020. di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada 

Dalam peristiwa ini, panitia yang keseluruhannya merupakan mahasiswa/i Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada mengalami tindakan intimidasi dan ancaman verbal untuk mengubah judul kegiatannya, yang pada awalnya bertajuk “Persoalan Pemecatan Presiden di Tengah Pandemi Ditinjau dari Sistem Ketatanegaraan,” hingga berujung pada pembatalan kegiatannya.

Soal forum diskusi di kampus yang kemudian di bubarkan atau diganggu pelaksanaannya ini sebenarnya sudah sering kita dengar beritanya. Pada 28 Oktober 2019 yang lalu  diskusi yang digelar mahasiswa Universitas Udayana Bali juga  dibubarkan pelaksanaannya oleh petugas keamanan kampus atas perintah rektornya.

Pembubaran diskusi yang mengusung tema Dinamika Pemerintahan Joko Widodo pasca Pelantikan Kabinet ini menurut panitia acara, Excel Bagaskara atas perintah  Prof A A Raka Sudewi yang merupakan rektor Universitas Udayana.

Menurut Excel, diskusi itu diikuti 40-an mahasiswa dari Fisip Unud bersama Serikat Demokratik Mahasiswa Nasional (SDMN), organisasi Front Mahasiswa Nasional (FMN), Lembaga Pers Mahasiwa (LPM) Kanaka, dan Aliansi Mahasiswa Papua. Tidak jelas apa yang menjadi alasan sehingga forum diskusi itu harus dibubarkan oleh sang rektor yang mestinya mendukung kegiatan kegiatan ilmiah di kampus yang dipimpinnya.

Pada 14 oktober 2019 juga terjadi peristiwa pembubaran diskusi tentang Papua di PENS (Politeknik Elektronika Negeri Surabaya).  Dalam peristiwa ini muncul  intimidasi terhadap penyelenggaranya.

Beka Ulung Hapsara selaku Komisioner Komnas HAM mengkritik pembubaran diskusi “karena itu merusak kebebasan akademik yang harusnya dijaga di wilayah kampus.” “Saya juga menyayangkan rektor kampus yang justru melarang kegiatan tersebut, alih-alih melindungi diskusi," kata Beka sebagaimana dikutip  Tirto, Senin (14/10/2019).

Ancaman kebebasan akademik juga terjadi bukan hanya karena pembubaran forum forum diskusi tetapi juga membungkam mahasiswa melalui pembredelan pers mahasiswa.Pada Rabu (26/3/2019), Rektor Universitas Sumatera Utara (USU), Runtung Sitepu memberikan Surat Keputusan (SK) pemecatan 18 awak media Pers Mahasiswa Suara USU” (Universitas Sumatera Utara).

Sebelumnya pada pada 2014, produk bulletin Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Ekspresi Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) ditarik karena mengkritisi pelaksanaan Ospek yang dilaksanakan institusinya. Selanjutnya pada tahun 2015, Majalah LPM Lentera dari Universitas Satya Wacana ditarik polisi dan rektorat karena memberitakan peristiwa 1965 di Salatiga.

Tahun 2016, LPM Poros Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta dan LPM Pendapa Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa dibredel oleh pihak rektorat kampusnya. Belum lagi pada tahun 2018, salah satu anggota dari LPM Suaka Universitas Islam Nusantara (UIN) Bandung, mendapat tindakan represif oleh aparat saat mengambil foto demonstrasi Aliansi Rakyat Anti Penggusuran (ARAP).

Berdasarkan rangkaian peristiwa pembungkaman kebebasan akademik di kampus seluruh Indonesia tersebut mengindikasikan bahwa kasus teror diskusi Yogya bukanlah satu satunya. Hal ini menunjukkan bahwa negara tidak mampu melindungi kebebasan berpendapat warga negaranya. 

Bisa jadi benar seperti yang diungkapkan oleh ahli hukum tata negara Denny Indrayana, bahwa pemberangusan kampus, pembungkaman jurnalis, menunjukkan karakter otoriter penguasa. Menandakan demokrasi memang tak bisa menjamin kebebasan akademik dan berpendapat seperti yang digaungkan ke seantero dunia. Justru kebebasan terpasung dan terbelenggu di tangan rezim paranoid yang sudah menular dilingkungan dunia pendidikan yang seyogyanya menjadi jantungnya orang orang yang berpikiran merdeka.

Dua dekade lebih telah berlalu sejak berhentinya kebijakan Orde Baru yang membatasi kebebasan mengeluarkan pendapat di kampus lewat program Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK/BKK), namun pengekangan  kebebasan insan kampus  di antaranya untuk menyuarakan pendapat, diskusi, berdemonstrasi, dan berorganisasi ternyata masih dipelihara.

Terkesan bahwa pemerintahan hasil reformasi tidak jauh berbeda dengan pemerintahan Orba yang telah ditumbangkan oleh mahasiswa. Namanya saja pemerintah hasil reformasi  tapi hanya berganti orangnya saja,  kelakuan tetap saja sama.

Kenapa Selalu berulang ?

Meskipun secara yuridis sudah ada ketentuan yang menjamin adanya  kebebasan akademik di kampus negeri maupun swasta namun pada kenyataannya kebebasan itu seringkali baru pada tahapan wacana.

Kebebasan akademik hanya disebut secara eksplisit dalam UU Pendidikan Tinggi dan diterjemahkan dalam Statuta Universitas akan tetapi, secara konseptual tidak jelas maknanya. Secara hukum juga tidak dapat digunakan sebagai acuan bagi perlindungan kebebasan untuk seluruh civitas akademika. Mungkin itu sebabnya kenapa tekanan terhadap kebebasan akademik justru semakin mudah terjadi dalam dunia pendidikan yang kita kira sebagai sarangnya orang orang yang berpikiran merdeka.

Menurut catatan Herlambang P. Wiratraman, Ketua Pusat Studi HAM Universitas Airlangga, ada lima penyebab mengapa ancaman terhadap kebebasan akademik bisa berulang kali terjadinya. Berdasarkan hasil risetnya, dari lebih 60 kasus kebebasan akademik yang tercatat dalam rentang tahun 2014-2018 mulai dari laporan mahasiswa, hingga kriminalisasi terhadap dosen pun dia terima. 

Menurutnya, setelah 20 tahun reformasi, setidaknya terdapat lima situasi yang bertahan, tumbuh sekaligus meneguhkan ancaman-ancaman terhadap kebebasan akademik di Indonesia. 

Pertama, adanya indoktrinasi dan warisan rezim otoritarianisme Orba. Hal tersebut bertahan dan berkembang karena Indonesia tidak berhasil menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia masa lalu meskipun pemerintahan sudah silih berganti menggantikan yang lama. 

Kedua, siklus kekerasan dan impunitas atau keadaan tidak dipidana. Tindakan pembiaran pertanggungjawaban hukum, menjadikan dunia kampus bukan benteng kebebasan yang bersih dari tekanan negara. Isu yang dimanfaatkan untuk merepresi kebebasan akademik antara lain isu ‘stigmatisasi komunisme’, intoleransi atas kebebasan beragama, tekanan korporasi terhadap kampus, retaliasi koruptor, diskriminasi dan rasialisme, hingga isu pendisiplinan akibat birokratisasi dan komersialisasi kampus baik negeri ataupun swasta.

Ketiga, birokratisasi dan feodalisme dengan memberikan kekuasaan yang besar kepada golongan bangsawan yang sudah lama menanam pengaruhnya. Hal tersebut merepresentasikan struktur sosial masyarakat yang sibuk berebut pengaruh dalam jabatan atau pangkat structural yang tersedia. Bukan lagi semangat egalitarian untuk mengembangkan budaya akademik, melainkan justru kuasa kepemimpinan yang semakin mendominasi  perguruan tinggi yang dipimpinnya.

Hal tersebut dapat kita lihat dari kasus Julio Harianya di Universitas Negeri Semarang yang diskorsing atas kritiknya. Selain itu, terdapat tekanan kriminalisasi dengan UU ITE atas tuduhan pencemaran nama baik yang dihadapi Saiful Mahdi, Dosen FMIPA Unsyiah Banda Aceh yang mengkritik salah satu kebijakan di kampusnya.

Keempat, komersialisasi kampus dengan dukungan negara. Situasi tekanan pasar yang ditopang oleh peran kuat komersialisasi pendidikan tinggi yang disponsori negara. Hal tersebut telah berdampak pada kebebasan akademik sehingga terjebak dalam korporatisme pendidikan. Karenanya, dosen dan mahasiswa dapat dengan mudah didisiplinkan dan dipecat oleh sistem korporatisme tersebut. Ini yang pula disebut Ritzer (1996) sebagai “Mcdonaldization of higher education”.

Kelima, kuasa modal dan politik mendisiplinkan dan menundukkan kampus. Universitas telah dengan mudah dikendalikan oleh kepentingan korporasi dan/atau pemilik modal, dan ini mempengaruhi bekerjanya produksi pengetahuan sosial. Contoh dari hal tersebut yaitu kasus pembubaran diskusi film “Samin vs Semen” dan “Alkinemokye” karya Watchdoc, 1 Mei 2015, di Universitas Brawijaya, atau “Prahara Tanah Bongkoran”, di Banyuwangi. Film tersebut mengangkat isu pembatalan eksaminasi, serangan balik koruptor atau korporasi terhadap peneliti atau ahli di kampus.

Berkaca Pada Kasus Yogya

Menanggapi adanya kasus pemberangusan kebebasan akademik di Yogya tempo hari, Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (APHTN-HAN), ), Asosiasi Filsafat Hukum Indonesia (AFHI), Serikat Pengajar HAM (SEPAHAM), Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), dan Asosiasi Dosen Perbandingan Hukum Indonesia (ADPHI), telah menyatakan sikapnya

Mereka mengutuk keras segala bentuk tindakan intimidasi dan ancaman yang dilakukan kepada penyelenggara kegiatan diskusi akademik yang di selenggarakan oleh kalangan civitas akademika. Mereka juga menuntut  adanya kebebasan akademik penuh sebagai bagian dari kebebasan berekspresi dan berpendapat yang dilindungi oleh konstitusi negara. 

Selain itu meminta pemerintah, dalam hal ini aparat penegak hukum, untuk melindungi segala bentuk kegiatan akademik yang diselenggarakan civitas akademika sebagai bagian dari kebebasan akademik yang seharusnya dijamin oleh negara.

Terkait dengan peristiwa teror kebebasan akademik di Yogya menarik apa yang disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan Mahfud MD yang menilai isu makar yang berkembang di media sosial terkait diskusi tersebut tidak benar menurut hukum.“Kemarin yang muncul di Jogjakarta, UGM, itu kan sayangkan juga tuh. UGM mau ada seminar, kemudian tiba-tiba tidak jadi karena lalu ada isu makar. Padahal enggak juga sih kalau saya baca,” ujarnya dalam video webinar, Sabtu (30/5).

Mahfud juga membantah adanya sinyalemen yang menyatkan bahwa seolah olah pembubaran diskusi itu dillakukan oleh pemerintah yang sedang berkuasa. “Ini penting nih informasi, seakan-akan tidak jadi itu merupakan tindakan dari pemerintah. “Saya cek ke polisi, enggak ada polisi melarang. Saya cek ke rektor, saya telepon rektor UGM, pembantu rektor, apa itu dilarang saya bilang. Enggak usah dilarang dong,” ujarnya.“Enggak, pak, mereka di antara mereka sendiri, di antara masyarakat sipil sendiri saling teror, gitu,” kata Mahfud menirukan.

Merespons peristiwa di Yogya, Kepolisian RI atau Polri menyatakan siap mengusut peristiwa teror terhadap mahasiswa dan panitia diskusi yang tergabung dalam CLS FH UGM. Pernyataan ini disampaikan Kepala Divisi Humas Polri Irjen Argo Yuwono melalui siaran pers di Jakarta, Sabtu (30/5/2020). “Polri siap mengusut teror yang dialami oleh Mahasiswa UGM yang menjadi panitia diskusi apabila ada yang dirugikan,” katanya.

Argo menegaskan, Polri telah memulai langkah penyelidikan untuk mengungkap tindakan pembungkaman terhadap kebebasan berpendapat oleh masyarakat yang dijamin undang-undang negara.

Masyarakat kini menunggu hasil penyelidikan Polri terkait dengan kasus tersebut, siapa pelakunya dan apa pula motivasinya. Namun menurut Pengamat Politik Muslim Arbi sebagaimana dikutip oleh  law-justice.co, Selasa (2/6/2020, kasus teror tersebut tidak akan diproses karena diduga ada keterlibatan pendukung Presiden Joko Widodo atau Jokowi di dalamnya.

"Kasus teror di Universitas Gadjah Mada (UGM) akan dibiarkan saja karena ada keterlibatan pendukung Jokowi dalam kasus tersebut," katanya.Lebih lanjut kata dia, kasus tersebut akan lenyap begitu saja, dan tak akan pernah ada proses pemeriksaan terhadap pelakunya.“Arahnya tidak ada pemeriksaan terhadap provokator yang menyebabkan teror di UGM,” lanjutnya.“Pendukung penguasa merasa kebal hukum dan bisa menghubungi pemangku kebijakan yang lebih tinggi,” jelasnya.

Oleh karena itu, dia memastikan bahwa ini bukan menjadi kejadian terakhir yang dialami UGM, jika kasus ini tidak diproses. Dia menegaskan, kebebasan UGM untuk berpendapat akan terus dikekang oleh penguasa, jika tak segera mendorong untuk mengusut tuntasnya.

Kalau memang benar nantinya kasus teror diskusi di Yogya ini akan berakhir tanpa adanya tersangka maka publik akan menilai siapa sebenarnya pelaku teror diskusi Yogya. Tidak perlu di publikasikan tetapi masyarakat sudah bisa memahaminya. Bahwasanya tebang pilih penegakan hukum itu bukan sekadar wacana tapi sudah di laksanakan dengan sempurna. Tujuannya tentu saja agar kursi kekuasaan bisa aman sampai habis masa berlakunya.

Kasus yogya sejatinya tidak boleh terulang lagi ke depannya. Karena itu selain penuntasan pemasalahan hukumnya, perlu carikan jalan keluar secara komprehensif untuk mewujudkan kebebasan akademik yang bukan sekadar wacana tetapi benar benar dilaksanakan sebagaimana mestinya.

Bagaimana Sebaiknya ?

Terus terulangnya ancaman kebebasan akademik tentunya sangat memprihatinkan kita semua. Pada hal kebebasan akademik adalah landasan moral para ilmuwan untuk bekerja memaksimalkan kemampuan intelektualnya. Jika menghendaki bangsa yang kuat, kebebasan akademik tak boleh dibatasi oleh siapa pun juga , bahkan harus didukung sepenuhnya oleh negara. 

Namun kenyataannya di Indonesia Universitas setiap saat dapat diintervensi pemerintah dengan dalih ketergantungan dana kepada pemerintah Pusat yang dianggap sebagai pemegang kuasa. Padahal, secara konstitusional sudah menjadi kewajiban negara untuk memberikan hak pendidikan kepada setiap warga negara, termasuk menghidupi universitas di negaranya. Jadi, tidaklah tepat apabila universitas menggadaikan kebebasan akademiknya, lalu dikontrol pemerintah, dengan alasan kegiatan operasional pemerintah yang membiayainya. Karena bukankah membiayai operasional  sebuah universitas sudah menjadi kewajiban negara ?.

Sebagai perbandingan,  dinegara maju  Otonomi universitas Pemerintah di negara-negara maju bahkan ada yang didanai 100 persen, tetapi tidak mencampuri urusan pendidikan tinggi yang ada disana. Hampir di seluruh dunia—bahkan di sejumlah negara berkembang, termasuk ASEAN—universitas sudah menjadi independen, tetapi pemerintah tetap tidak melepaskan tanggung jawabnya dalam hal pendanaannya. 

Kondisi yang kini terjadi di Indonesia mempengaruhi atmosfer kebebasan akademik yang seharusnya menjadi roh sebuah perguruan tinggi negeri ataupun swasta.  Adakalanya ilmuwan tidak bisa bersuara karena terbelenggu oleh kedudukannya dalam hierarki birokrasi akademik kampusnya. Pada hal kebebasan akademik adalah hak setiap profesor, staf pengajar, mahasiswa dan segenap civitas akademika termasuk  peneliti terkait kegiatan mereka dalam pengajaran dan penelitian  yang dilakukannya. Profesor bebas menentukan isi kuliahnya dan menerbitkan hasil penelitian tanpa meminta persetujuan atasannya. 

Karena pada hakekatnya akademisi hanya mengabdi pada kebenaran, kejujuran, dan keadilan, terbebas dari kepentingan politik praktis dan agama tertentu dalam tugasnya. Jangan terulang lagi masa kelam Orde Baru saat pemerintah mencengkeram universitas dan membungkam civiras akademika. Kebebasan akademik juga ada pada institusi, yaitu kebebasan untuk mengangkat pegawai, menetapkan standar masuk bagi mahasiswa. 

Independensi universitas akan menumbuhkan budaya akademik yang mengajarkan nilai-nilai ilmu pengetahuan, argumentasi dengan dasar ilmiah dalam setiap pengambilan keputusan yang dihasilkannya. Budaya akademik yang demikian akan melahirkan hubungan kolegial yang egaliter dan sehat atas dasar saling menghormati antara satu dengan yang lainnya.

Namun ketika universitas dijadikan bagian dari birokrasi pemerintah, akan tumbuh budaya birokrasi yang lamban, tidak efisien, dan potensial menggarong duwit negara. Semakin terkait dengan birokrasi keuangan pemerintah, semakin tersedia celah bagi penyalahgunaan kewenangan dan korupsi uang negara.

Kiranya inilah yang hari ini terjadi di dunia pendidikan di Indonesia. Dengan kondisi yang demikian maka Universitas universitas di Indonesia akan semakin tidak mampu mengejar perkembangan ilmu dan akan kalah bersaing dengan universitas di dunia.

Pendanaan universitas seyogyanya tidak boleh mengandalkan dari bayaran mahasiswa, tetapi dari negara, korporasi dengan corporate social responsibility (CSR)-nya, dan hasil dari  kegiatan-kegiatan penelitiannya. Tujuan dari otonomi adalah memampukan para ilmuwan untuk sampai pada puncak prestasi akademik, seperti yang diamanatkan para pendiri bangsa.

Hal lain yang perlu lebih banyak dilakukan adalah meningkatkan kesadaran dalam institusi perguruan tinggi tentang arti kebebasan akademik dan mendorong mahasiswa dan staf universitas untuk terlibat dengan masalah utama . Hal ini dapat dilakukan dengan mengintegrasikan dan mendiskusikan kebebasan akademik dalam pengajaran, menyelenggarakan perdebatan tentang topik tersebut, dan memperdalam pengetahuan melalui mata kuliah yang ada.

Universitas juga perlu mengadopsi pedoman etika untuk keterlibatan global - mengacu pada yang diusulkan oleh Human Rights Watch - dan membuat komite etika dan mekanisme lain untuk menerapkannya. Dan mereka harus angkat suara, terutama ketika mahasiswa dan akademisi di lembaga mitra terancam masalah seperti kasus di Yogya.

Saat ini berpikir kritis sangatlah penting  karena dunia sedang menghadapi tantangan tata kelola. Untuk dapat berkontribusi pada jawaba dari tantangan ini, universitas perlu melindungi kebebasan akademiknya.

Salah satu caranya  kampus harus  hadir bukan untuk menebalkan struktur sosial yang melegitimasi penindasan yang selama ini ada. Namun, pendidikan yang diajarkan harus melawan dan membebaskan dari penindasan yang terjadi dalam masyarakatnya. Selanjutnya kampus sebagai pusat pembelajaran sekaligus penyadaran, yang mereproduksi pengetahuan untuk kemajuan peradaban manusia. Ini semua baru akan ada dan berfungsi progresif jika prasyarat kebebasan akademik dijamin perlindungannya.

Sementara itu Pemerintah dapat mendorong perwujudan  lingkungan kampus yang benar-benar merdeka tidak hanya secara fisik tapi juga dalam alam pikiran penghuninya. Dalam hal ini langkah awal yang harus dilakukan Kemendikbud dalam melindungi hak sipil mahasiswa adalah meminimalisasi intervensi pemerintah dalam setiap keputusan strategis di universitas yang ada dibawah naungannya.

Sebagai contoh dalam pemilihan seorang rektor, sejauh ini  Intervensi pemerintah pusat masih sangat besar pada hal sangat terasa implikasi politiknya.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 19 Tahun 2017 tentang Pengangkatan Pemimpin Perguruan Tinggi Negeri, calon rektor harus lolos “uji rekam jejak” yang dilakukan kementerian dan mendapatkan persetujuan 35% suara . Syarat-ini sangat  rawan berujung pada hanya terpilihnya rektor yang direstui pemerintah yang  sedang berkuasa.

Oleh karena itu pemilihan seorang rektor harus  dikembalikan ke lingkungan kampus secara transparan dan demokratis pelaksanaannya. Karena pemilihan rector yang sarat dengan intervensi pemerintah Pusat potensial menghambat kebebasan akademik di perguruan tinggi yang akan dipimpinnya. Ini salah satu cara instan untuk mewujudkan kebebasan akademik di kampus kampus yang sudah terkapar tak berdaya. Kalau melalui  cara instan ini saja tidak bisa diwujudkan implementasinya maka marilah kita bersama sama memahami kondisi yang ada. Bahwasanya  kebebasan akademik di era sekarang memang baru sebatas utopia belaka.

(Editor\Warta Wartawati)

Share:




Berita Terkait

Komentar