dr. Noriyu

Menulis Adalah Panggilan Jiwa, Tapi Dunia Psikiater Tetap Juaranya

Selasa, 02/06/2020 09:01 WIB
dr. Nova Riyanti Yusuf (Dok.Pribadi/law-justice.co)

dr. Nova Riyanti Yusuf (Dok.Pribadi/law-justice.co)

law-justice.co - Di tengah kesibukannya sebagai psikiater dan segudang aktivitas lainnya, Dr. dr Nova Riyanti Yusuf, Sp.KJ masih menyempatkan diri untuk menulis buku. “Menulis adalah panggilan jiwa, tapi dunia psikiater tetap juaranya,” kata Noriyu, begitu ia akrab disapa.

Bakat menulis perempuan kelahiran Palu, Sulawesi Tengah ini, sudah terlihat sejak masih duduk di sekolah dasar. Ia terbiasa membaca buku-buku tebal. Bakat menulis ia peroleh dari sang kakek, D. Suradji, seorang sastrawan yang juga wartawan.

Ketika SMP, Noriyu memberanikan diri menuliskan beberapa cerita pendek berbahasa Inggris dan opini, yang dikirimkannya ke media. Masuk SMA, ia semakin serius dengan dunia tulis dengan menjadi editor sekaligus reporter majalah sekolah Starpura (Suara Tarakanita Pulo).

Tamat SMA ia berniat melanjutkan kuliah penulisan di Stanford. Namun keinginan anak bungsu dari empat bersaudara ini terhambat restu dari ayah dan ibunya. Ketiga kakak Noriyu saat itu sudah lebih dulu sekolah diluar negeri, kedua orang tuanya keberatan jika ia harus ikut meninggalkan mereka.

"Sebenarnya apa yang saya jalani dalam kehidupan banyak yang tidak terencana. Banyak yang intervensi, kasih petunjuk, yang apakah ini saya jalankan atau enggak. Misalnya gini, saya sebenarnya enggak mau jadi dokter, tapi ingin kuliah penulisan di Stanford waktu itu. Kebetulan kakak saya semua di luar negeri, jadi yang tersisa saya. Orang tua tidak mengizinkan saya untuk pergi karena yang tiga sudah pergi, akhirnya terkuburlah keinginan itu,” kisah Noriyu.

Ia melanjutkan, “Karena waktu itu masih jaman zaman Orde Baru, dikasih tahu orang tua, kamu mau makan apa kalau jadi penulis. Sedangkan ayah saya waktu itu kerja di Bank Negara Indonesia (BNI) hidupnya mapan.”

Noriyu akhirnya tetap di Jakarta dan kuliah di Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti. Ia sebenarnya sudah diterima juga di Fakultas MIPA UI, Depok. Namun tidak diambilnya karena kurang tertarik untuk menjadi ilmuwan atau peneliti.

Di tengah kesibukan perkuliahan yang padat, ia tak lantas melupakan mimpinya sebagai seorang penulis. Ia tetap menulis dan menerbitkan majalah komunikasi Medikal Trisakti atau Komet di kampusnya. Bersama beberapa teman mahasiswanya, majalah tersebut sempat terbit sebanyak delapan edisi. Sayang, penerbitan Komet terhenti karena banyaknya tugas kuliah yang menyita waktu.

Foto: Dok. Pribadi/law-justice.co

Pada 2003 ia berhasil menyelesaikan kuliahnya dan menyandang gelar dokter umum. Di tahun itu juga, impiannya sebagai penulis terwujud, novel perdananya terbit dengan judul `Mahadewi  Mahadewi`. Novel itu tadinya ia terbitkan sendiri, hingga akhirnya seorang penerbit besar tertarik untuk mengedarkannya. Buku tersebut meledak di pasaran dan berhasil meraih predikat bestseller.

‘Mahadewi Mahadewi’ bahkan menjadi bacaan referensi di Universitas Charles Darwin, Australia. Sejak itu ia terus melahirkan cerita-cerita menarik lainnya, seperti novel adaptasi dari skenario `30 Hari Mencari Cinta` tahun 2004 dan `Merah Itu Cinta` hingga berhasil meraih tujuh nominasi Piala Citra (FFI) 2008.

Noriyu mengaku, buku-bukunya lebih banyak lahir dari imajinasi, meskipun ada pula yang berdasarkan pengalaman pribadinya. Contohnya buku ‘Stranger Than Fiction’ yang merupakan kumpulan esai kedua tentang realitas sosial. Sebagian besar kisah itu ditulis di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM ketika mendapat giliran jaga malam dan pada saat sepi pasien. "Novel berikut banyak nuansa pribadi, judulnya Saudade," kata dia.

Di akhir masa perkuliahannya, Noriyu magang di RS. Jiwa Soeharto Heerjan, Grogol, Jakarta. Dari situlah ia tertarik dan merasa cocok dengan dunia kesehatan jiwa. Bagi Noriyu, masalah mendalami masalah kejiwaan seperti menyelami dunia filsafat.

Masalah jiwa merupakan hal yang begitu kompleks. Ia prihatin melihat minimnya perhatian bagi penderita gangguan jiwa, dan banyak yang dipasung. Data riset kesehatan dasar yang ia kantongi saat itu, tahun 2013 diperkirakan 56.000 orang yang diantaranya penderita skrizofremia, dipasung di rumah oleh keluarganya,  juga dipanti-panti yang seharusnya jadi fasilitas kesehatan jiwa.

Fenomena itulah yang menarik dirinya untuk lebih jauh menyelami Ilmu Kesehatan Jiwa hingga memutuskan meneruskan ke jengjang S2 Program Pendidikan Dokter Spesialis Ilmu Kedokteran Jiwa Di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI).

Beberapa waktu lalu,  ia merilis buku berjudul ‘Jelajah Jiwa Hapus Stigma - Autopsi  Psikologis Bunuh Diri Dua Pelukis’. Karya itu merupakan hasil dari penelitiannya saat ia menyelesaikan pendidikan doktor (program S3) Ilmu Kesehatan Masyarakat di Fakultas Kesehatan Masyarakat di Universitas Indonesia (UI).

Melalui buku itu, Noriyu berharap bisa mengajak seluruh elemen masyarakat untuk peduli pada kesehatan jiwa dan mampu memberikan narasi mengenai bunuh diri sebagai proses komplek dan sangat personal bagi tiap individu tanpa menyudutkan siapapun. Ia melihat keinginan untuk bunuh diri dapat dicegah. Namun, potensi untuk melakukan bunuh diri itu harus diketahui terlebih dulu.

Belum puas di bidang tulis-menulis dan karirnya sebagai psikiater, Noriyu lalu terjun sebagai politisi di tahun 2009. Masuknya dirinya ke parlemen semata-mata untuk memperjuangkan berbagai persolana terkait dengan kesehatan jiwa. Ia menduduki kursi Wakil Ketua Komisi IX DPR RI periode 2009-2014.

"Awalnya menjadi anggota DPR RI karena ingin menggolkan RUU Kesehatan Jiwa menjadi undang-undang. Alhamdulillah tercapai. Menginisiasi tahun 2009 disahkan tahun 2014," kata dia.

Bersama Susilo Bambang Yudhoyono saat menjenguk almarhum Ibu Ani Yudhoyono di Singapura (Dok. Pribadi/law-justice.co)

Noriyu mengisahkan kejadian unik ketika UU Kesehatan Jiwa disahkan. Ia menunaikan nazar menyeburkan diri di kolam air mancur gedung DPR RI. "Jadi orang kalau inget saya, oh Nova yang nyebur di kolam air mancur DPR ya, gitu. Jadi saat undang-undang tersebut digolkan, saya nyebur di kolam air mancur DPR bersama dengan orang- orang yang punya masalah kejiwaan. Mereka pakai seragam biru saya pakai kaos,”kenangnya dalam sebuah diskusi daring.

Saat ini Noriyu fokus sebagai dokter spesialis kedokteran jiwa dan menjadi Ketua Umum Perhimpunan Dokter Specialis Kedokteran Jiwa (PDSKJ) DKI Jakarta. Ia juga masih menjadi konsultan WHO untuk pencegahan bunuh diri. Selain itu, ia juga disibukkan dengan aktivitasnya sebagai pembicara di berbagai acara, terutama terkait masalah kesehatan.

Namun di masa pandemi COVID-19 yang mengharuskan semua masyarakat untuk melakukan Pembatasan Sosial Bersekala Besar (PSBB), Noriyu lebih banyak melakukan kegiatan di rumah, salah satunya adalah memasak. Ia sering membagikan hasil masakannya akun Instagram miliknya.

Agar semua sesuai jadwal, ia selalu menggunakan alarm untuk mengingatkan. "Misalnya setengah empat itu bangun, atau tahajud, itu semua mesti pakai alarm. Mau subuh, sarapan, itu harus ditulis. Jam berapa berjemur, makan siang, olahraga ringan," ujarnya.

Mengenai situasi pandemi yang masih berlangsung, Noriyu menjelaskan bahwa pandemi bisa memengaruhi kondisi kesehatan jiwa seseorang. Aspek kekhawatiran terinfeksi dan menginfeksi, khawatir pada stigma, takut pada orang bersin atau batuk. Tidak berani datang ke rumah sakit, takut terhadap manusia itu sendiri walaupun sebetulnya yang ditakuti adalah penyakitnya bukan manusianya, takut juga untuk memegang barang.

Noriyu berbagi tips bagaimana cara untuk mengurangi berbagai rasa takut tersebut. “Teknik relaksasi seperti pernafasan sederhana dapat membantu mengurangi tingkat stres. Seperti menarik nafas menahan nafas sedikit panjang dan menghembuskan secara perlahan disertai afirmasi atau penyataan pernyataan positif dan spesifik yang ditunjukan pada diri sendiri,” jelasnya.

Namun semua itu harus dibarengi dengan kalimat positif, jangan dengan kalimat negatif. “Misalnya saya tidak takut COVID-19, itu jangan. Tapi dengan kalimat positif, misalnya saya bisa melampaui ini, saya akan baik baik saja, saya kuat menghadapi ini, jadi saat latihan pernafasan, penting sekali untuk melakukan afirmasi. Bila perlu dilakukan setiap hari agar efektif," ujar dia.

Noriyu menambahkan, perempuan adalah kelompok yang sangat rentan terhadap stress di masa pandemi COVID-19. Berbarengan dengan situasi ini, terjadi  peningkatan kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) di mana mayoritas korban adalah perempuan.

 

 

(Lili Handayani\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar