Himawan Sutanto, Pemerhati Budaya Politik

Ini Dia Parodi di Ruang Dungu

Kamis, 23/04/2020 18:44 WIB
Presiden Jokowi dan Menkes Terawan Agus Putranto (Inews)

Presiden Jokowi dan Menkes Terawan Agus Putranto (Inews)

Jakarta, law-justice.co - Melihat wawancara Najwa Shihab dengan Presiden Jokowi di acara Narasi, saya sungguh tertarik, dimana sosok Presiden memberikan arti mudik dan pulang kampung secara baik menurut pemahamannya ketika menjawab pertanyaan Najwa Shihab.

Pernyataan tersebut menjadi lebih menarik, karena menjadi viral dan banyak interprestasi liar muncul dan berdampak positif bahkan sampai yang negatif.

Pertanyaan kita adalah bagaimana manajemen di Istana kepresidenan itu memberikan masukan yang jelas dan terukur?

Sebab setiap pernyataan yang keluar dari mulut Presiden sangat bermakna dan memiliki implikasi yang positif dan mencerahkan. Bukan justru menjadi candaan rakyat lewat media sosial. Hal itu adalah menjadi sebuah parodi besar di sebuah negara besar.

Sepertinya kita berada di "negeri dagelan" dimana seluruh pejabatnya banyak memberikan pernyataan yang diluar akal sehat dan pejabatnya tidak memiliki kapasitas narasi yang cukup terhadap bidangnya. Lihat saja dari setiap kata atau kalimat yang keluar dari pejabat istana tidak berdampak pada hal yang positif.

Melainkan sebuah dagelan atau hujatan, hinaan bahkan pembullyan terhadap pejabat tersebut. Hal itu terjadi, karena pejabatnya yang banyak asal berkomentar yang tidak masuk diakal sehat rakyat kebanyakan.

Sedih, memang, tapi apa mau dikata sepertinya tidak adanya koordinasi yang jelas antara pejabat satu dengan yang lainnya. Bahkan pidato saja bisa diralat oleh jubir Presiden, Mensesneg dan Menko dan itu sangat memalukan sebagai sebuah negara.

Parodi pejabat

Parodi (sering disebut juga plesetan) dalam penggunaan yang umum, artinya adalah suatu hasil karya yang digunakan untuk memelesetkan, memberikan komentar atas karya asli, judulnya ataupun tentang pengarangnya dengan cara yang lucu atau dengan bahasa satire.

Dari istilah diatas seharusnya kita bisa belajar dengan itu semua, sepertinya pejabat di Istana lebih memberikan pesan yang jauh dari persoalan dan tidak sampai, bahkan lebih membingungkan rakyat.

Sebagaimana yang dikatakan oleh Linda Hutcheon seorang teoris literatur (2000: 7) puts it, "parody, is, not always at the expense of the parodied text." karena selalu berada diluar logika kita, hal itulah yang membuat kelucuan tersendiri.

Satu contoh yang paling dekat dalam ingatan kita, dalam wabah virus covid 19 yang ada orang sakit karena kena virus covid 19 atau sehat. Tetapi yang ada di Indonesia adalah ODP, PDP dan lain sebagainya. Seolah-olah yang menyandang gelar diatas adalah orang berbahaya.

Jadi wajar kalau rakyat merasa malu kalau terkena dan tidak mau memberitahukan kepada instasi kesehatan dan tertutup. Hal itu juga mengikuti contoh para pejabat istana yang terkena virus covid 19, (kecuali Budi Karya, menteri perhubungan)?

Karena sudah terlanjur beredar videonya ketika rapat terbatas menteri, yang disampaingnya panglima TNI, yang sampai sekarang juga tidak pernah muncul, semoga sehat dan baik-baik saja.

Sejak awal virus covid 19 merebak diseluruh dunia hanya pejabat Indonesia yang celometan terhadap wabah itu. Dari menyepeleikan masalah sampai memiliki obat penangkalnya.

Ternyata celometan para pejabat tidak memberikan dampak positif bagi rakyat. Yang ada rakyat pada was-was, takut dan tidak memiliki kepercayaan diri. Itulah sebabnya ketika Gubernur DKI membuat Instruksi Gubernur dibantah habis oleh menkes, Menkopolhukam dan para buzzer.

Sepertinya Instruksi Gubernur telah merusak popularitas Istana. Padahal dua hari berikutnya ada 2 warga yang tersjangkit virus covid 19 di daerah Depok dan diumumkan Presiden, didampingi Menkes.

Hal lain yang lebih tegas adalah ketika Walikota Tegal mengumumkan Karantina wilayah, lalu dihujat, dibully oleh pejabat istana dan para buzzer.

Sepertinya kalau ada yang melangkah lebih maju, karena punya inisiatif selalu dianggap melawan atau berbahaya bagi pemerintah pusat. Padahal kepala daerah wajib memberikan perlindungan kepada rakyatnya.

Bukan hanya pada negara saja. Yang menarik adalah ketika Gubernur DKI sedang menyiapkan PSBB yang dikeluarkan oleh Presiden, disisi lain Presiden membagi-bagikan sembako di Jakarta dan Bogor, padahal dalam kondisi distancing social.

Yang lebih lucu lagi ketika ojol tidak boleh menaikan penumpang, tapi digugurkan oleh keputusan Menhub dan boleh menaikan penumpang. Begitu juga dengan KRL yang tetap beroperasi dan bus antar provinsi bisa bebas leluasa di jalan keluar masuk terminal.

Bahkan TKA asal Cuna berdatangan dari berbagai bandara. Sampai 500 ribu TKI akan pulang dilaranb tapi ada pejabat justru membela TKA asal Cina masuk ke Indonesia.

Hal lain yang menggelar adalah mundurnya staf khusus milenial, yang notaris bene adalah tambahan tersendiri dari dalam Istana, sebab didalam pidatonya Presiden mengatakan bahwa memilih staf khususnya adalah anak-anak milenial yang akan membantu pekerjaannya dengan cepat dan tepat.

Akan tetapi ditengah perjalanan waktu dia melakukan kesalahan administrasi dengan menyebar surat ke kecamatan yang kebetulan ada perusahaannya, hal itu terus terbuka bahwa dialah pemilik ruang guru yang sahamnya dikuasai oleh orang asing. Sehingga menjadi viral disosial media.

Dari hal diatas, saya jadi teringat dengan beberapa Parodi Hiburan di televisi. Sebab sepertinya pejabat negara ini sedang memainkan parodinya terhadap rakyatnya.

Judul parodi diruang dungulah --pinjam istilah Rocky Gerung, yang terjadi sekarang ini, karena seluruh kebijakan dan perilaku pejabat tak pernah sejajar dengan gaji dan jabatannya. Wajar kalau saya jadi ingat seorang kritikus lainnya, Simon Dentith (2000: 9), mengartikannya sebagai "any cultural practice which provides a relatively polemical allusive imitation of another cultural production or practice."

Semoga saja Parodi ini segera berakhir dengan bahasa "sudahlah pak, Anda lelah dan tidak sanggup lagi sepertinya". Karena negara ini masih punya masa depan yang lebih baik dan besar dengan semangat perubahan yang lebih besar dan mendasar.

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar