Di Balik Krisis Harga Pangan (Tulisan II)

Mafia Pangan Mainkan RIPH dan SIP, Ada Apa Aparat Diam Saja?

Minggu, 19/04/2020 23:56 WIB
Bawang putih impor di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur (Foto:Denny Hardimansyah/Law-Justice)

Bawang putih impor di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur (Foto:Denny Hardimansyah/Law-Justice)

Jakarta, law-justice.co - Karut marut soal impor pangan memang tak lepas dari lemahnya niat pemerintah untuk memajukan sektor pertanian khususnya tanaman pangan. Dulu, negara kita yang dikenal sebagai negara agraris harus berakhir tragis dengan pola pembangunan industri yang digalakkan sejak era Orde Baru. Perubahan kebijakan itu membuat kebutuhan pangan kita bergantung dengan negara lain. Akhirnya, karena lahan pertanian yang terus menyempit dan budaya berburu rente dari mafia pangan di saat wabah corona, yang membuat Indonesia terus melakukan impor dengan dalih memenuhi kebutuhan masyarakat dan mengatasi corona.

Beberapa bahan pokok yang hingga kini masih impor adalah beras, bawang putih, bawang merah, garam, bawang bombai, buah-buahan, kedelai, gula rafinasi dan raw sugar hingga beberapa produk pangan lainnya. Selain itu, tidak transparansnya angka kebutuhan dan jumlah produksi membuat adanya peluang untuk melakukan impor yang akhirnya hanya sekedar bagi-bagi komisi antara pejabat dan pengusaha importir pangan.

Soal cawe-cawe berbagi untung rente ini bukan isapan jempol belaka, Komisi Antirasuah atau KPK sudah pernah melakukan penindakan operasi tangkap tangan terhadap pengusaha bawang putih dan juga anggota DPR.

Dalam kasus itu, Majelis Hakim Tipikor memutuskan vonis Direktur PT Cahaya Sakti Agro (CSA) Chandry Suanda alias Afung selama 2,5 tahun penjara dan denda Rp100 juta subsider 3 bulan kurungan. Hakim juga memvonis terdakwa Direktur PT Sampico Adhi Abattoir, Dody Wahyudi dengan hukuman 2 tahun penjara dan denda Rp75 juta subsider 2 bulan kurungan. Sedangkan terdakwa ketiga, Zulfikar divonis 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp50 juta subsider 1 bulan kurungan.

Hakim mengatakan bahwa ketiganya terbukti bersalah menyuap Nyoman Dhamantra sebesar Rp3.5 miliar agar mengurus penerbitan Surat Persetujuan Impor (SPI) terkait dengan kuota impor bawang putih. Suap tersebut diberikan melalui perantara yaitu orang kepercayaan Nyoman Dhamantra bernama Mirawati Basri dan Elviyanto yang juga dijerat KPK. Bekas anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP, Nyoman Dhamantra hingga kini masih menjalani persidangan dan menunggu vonis dijatuhkan majelis hakim.

Dalam perkara itu juga terkuak, ada jatah partai untuk mengurus kuota impor bawang putih. Jatah kuota impor tersebut akan dibantu I Nyoman Dhamantra selaku anggota Komisi VI DPR dari Fraksi PDIP saat itu.

Berkaca dari kasus tersebut, tidak heran jika mafia terus mencari celah masuk untuk bermain impor pangan. Karena jika merunut data Badan Pusat Statistik (BPS) importasi holtikultura seperti bawang putih ini memang menggiurkan. Sepanjang Januari-Mei 2019, Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat volume impor bawang putih sudah mencapai 70.834 ton atau senilai US$ 77,3 juta (Rp 1,1 triliun; asumsi kurs Rp 14.000/US$).

Sementara sepanjang tahun 2018 total volume impor bawang putih mencapai 582.995 ton dengan nilai US$ 493,9 juta atau setara dengan Rp 6,9 triliun. Jumlah sebesar itu tentu saja akan mengundang sejumlah pihak pemburu rente turut mengambil untung.

Modus Memainkan RIPH dan SPI
Dari rentetan kasus yang terjadi mengenai soal importasi pangan, mafia pangan ini memainkan peran dari hulu ke hilir. Mereka juga memainkan Rekomendasi Impor Produk Holtikultura (RIPH) di Kementerian Pertanian. Proses penentuan RIPH itu dianggap pengusaha yang bergelut dalam importasi pangan menciptakan ruang gelap untuk kompromi antara importir dan pejabat yang mengatur RIPH.

Kementerian Pertanian sendiri menjelaskan kebutuhan bawang putih nasional sekitar 560.000-580.000 ton per tahun atau sekitar 47.000 ton per bulan, dimana kemampuan produksi dalam negeri hanya sekitar 85.000 ton.

Menurut sumber Law-Justice, permasalahan ada pada proses awal RIPH dan implementasi RIPH tersebut. Kata dia, ada keganjilan  dan kecurangan dalam sistem penerbitan RIPH dan SPI yang selama ini berjalan.

"Untuk mendapatkan RIPH itu harus ada kewajiban wajib tanam minimum 5 persen dari volume impor yang diajukan. Masalah prosedurnya itu berjalan semestinya atau tidak. Kedua setelah mendapatkan RIPH bisa mengajukan SPI kan surat persetujuan impor dari Kemendag," ujarnya kepada Law-Justice.

Sehingga, banyak pengusaha importir bawang putih yang menerobos dan melakukan penyelundupan karena lamanya proses birokrasi RIPH dan SPI tersebut.

"Kesulitannya karena RIPH nya terlambat, terkendala dari pengadaan lahan dari wajib tanam tersebut. Jadi permainannya seperti itu. Saya pernah dengar sendiri, bahwa stok bawang putih dari China itu, kadang ya sudah di loading ke kapal tanpa surat-surat, tanpa persetujuan, menunggu kesempatan diselundupkan," ungkapnya.

Permasalahan lainnya adalah soal SPI. Kata dia, ada modus jual beli SPI yang melibatkan orang-orang di lingkaran pejabat kekuasaan. Sehingga kata dia, muncul kasus operasi tangkap tangan pengusaha bawang putih dan anggota DPR yang terbukti berusaha memainkan SPI.


Salah satu contoh Surat Persetujuan Impor (SPI) milik salah satu importir bawang putih (Foto:Repro Kemendag/Law-Justice)

Dia juga menyoroti pemain-pemain atau perusahaan besar yang terlibat dalam impor bawang. Bahkan, dalam beberapa tahun terakhir hanya perusahaan itu saja yang mendapatkan RIPH dan SPI untuk melakukan impor bawang. Hal itu menurut dia proses RIPH dan SPI hanya berdasarkan kedekatan dengan lingkar kekuasaan di lembaga saja. Dia memberikan contoh, ada kerjasama dengan orang-orang dalam gerakan pemuda tani di era menteri pertanian sebelumnya.

"Apalagi waktu jamannya Mentan yang sebelumnya, Amran. Amran kan bikin tuh kegiatan yang namanya Gempita, Gerakan Muda Petani Indonesia. Ada orang-orang Gempita yang ikut mengurusi RIPH dan implementasi wajib tanam," ungkapnya.

Menurut dia, perusahaan-perusahaan yang mengajukan RIPH juga diduga merupakan perusahaan rekanan dari pejabat di lingkungan Kementan dan Kemendag. Sehingga, perusahaan lain yang ingin melakukan bisnis murni sulit untuk mendapatkan rekomendasi dari kedua lembaga tersebut.

Zaman dulu waktu iklim bisnis di Indonesia masih normal, masih bisa diberi pengaman. Kalau dulu perusahaannya ada track record sekarang susah ditelusuri karena kadang baru menjabat itu, dia yang bikin perusahaan perusahaan cangkang itu.

Soal memanfaatkan kedekatan ini juga pernah terjadi dalam kasus korupsi impor daging sapi yang melibatkan Presiden Partai Keadilan Sejahtera, Luthfi Hasan Ishaaq. Dalam kasus itu, Lutfi menggunakan kedekatan dengan Menteri Pertanian yang berasal dari PKS, Suswono.

Hal itu terbukti di persidangan antara terpidana direktur PT Indoguna Utama Juard Effendi dan Arya Abdi Effendy yang mengaku bahwa bekas Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq menjadi perantara yang mempertemukan Menteri Pertanian Suswono dengan Dirut Indoguna Utama, Maria Elizabeth Liman.

Dia juga menambahkan, keran impor bisa diajukan sepanjang tahun. Karena stok bawang putih di China berlimpah dan tidak mudah rusak sehingga bisa dilakukan impor sepanjang tahun.

"Kalau bawang itu kan kebanyakan mayoritas impornya dari China, China tidak ada kayak kalender, dia bisa storage bawangnya itu sampai jutaan ton. Dan dia pakai bahan kimia yang bikin produk bawangnya itu tahan lama tidak jamuran. Jadi, kesulitannya bawang atau masalah itu kebanyakan anehnya, justru pada saat petaninya mau panen justru keran impor dibuka," tambahnya.

Setali tiga uang, Ketua Asosiasi Hortikultura Nasional Anton Musli Arbi menilai, kebijakan impor ini banyak dipermainkan oleh mafia yang gemar melakukan impor pangan. Kata dia, kebijakan tersebut sekaligus menunjukkan bahwasanya persoalan harga bawang putih yang terjadi setiap tahunnya, bermuara pada regulasi importir dari dua lembaga tersebut.

“Begitu persetujuan impor dari Kemendag ini di-loss, harga jadi stabil. Berarti kan birokrasi itu bermain,” kata Anton kepada law-justice.co, Sabtu (18/4/2020).

Sudah lama Anton mencurigai bahwa sistem atau regulasi tentang impor adalah dalang dari krisis bawang putih yang terjadi setiap tahunnya. RIPH dan SPI yang dikeluarkan oleh kedua lembaga itu menjadi kunci mati bagi perusahaan yang ingin meraup untung besar dari praktik impor bawang putih.

Persoalannya, kata Anton, ada ketidakjelasan dalam proses pemilihan siapa-siapa saja perusahaan yang mendapatkana RIPH dan SPI. Dari sekian ratus perusahaan yang mengajukan diri menjadi importir, hanya segelintir yang disetujui.

“Kenapa hanya sedikit? Biar bisa diatur lebih mudah. Dapat jatah impor berapa, harus ‘setor’ berapa,” terang Anton.

Dia mengatakan, tawar-menawar ‘setoran’ adalah rahasia umum dalam bisnis impor pangan, terutama komoditas bawang putih dan gula. Rata-rata, importir kelas menengah tidak sanggup memenuhi permintaan tersebut. Itu pula yang menyebabkan terjadinya praktik penimbunan sehingga stok menipis dan harga menjadi mahal di pasaran.

“Stok dan harga yang tinggi menjadi alasan untuk kembali membuka keran impor. Ini kita sudah bicara kartel pangan, seperti yang pernah disinggung oleh Kepala Bulog (Budi Waseso),” ujar Anton.

Menurut Anton, situasi seperti ini terjadi setiap tahun dan sulit dientaskan karena ada upaya mengamankan praktik impor. Sehingga, cita-cita swasembada bawang putih kita menjadi kian suram. “Muaranya adalah ketika ada kewajiban setor ke partai. Jadi, omongan beberapa pejabat akan memberantas mafia pangan ini hanya basa-basi saja,” ucap Anton.

Soal itu, Law-Justice menerima data lembaran SPI dari Kemendag terhadap perusahaan importir bawang putih atas nama PT Agro Mekar Sejahtera pada April 2019 dengan Direktur Utama, Rahmi Pratiwi Irela. Namun anehnya, pada tahun 2020, ada perusahaan bernama PT Luthfi Samudera Rezeki yang mendapatkan impor bawang putih. Perusahaan ini juga memiliki pimpinan dengan nama Rahmi Pratiwi Irela. Modus menggunakan anak perusahaan itulah yang sering dilakukan importir untuk mengeruk kuota.

Menyikapi krisis bawang putih anggota Komisi IV DPR RI Andi Akmal Pasluddin menilai langkah impor jor-joran ini membahayakan petani lokal. Kata dia, seharusnya bawang putih tercukupi karena sedari 2019 dan awal tahun 2020, kran impor sudah dibuka.

"Ini justru mematikan semangat petani kita, saya ambil contoh hari ini di Temanggung, Jawa tengah, produk bawang putih para petani di sana tidak ada pembelinya karena ada impor dari luar negeri begitu deras tanpa seleksi yang cukup," kata dia.


Data volume impor bawang putih dari Tiongkok dan India (Foto:Repro Trade Map/Law-Justice)

Data yang diterima Akmal per akhir Maret ini, Kementan telah merilis RIPH tahun 2020 sebanyak 450 ribu ton bawang putih untuk 107 importir. Artinya sudah sekitar 80 persen kebutuhan nasional per tahun telah tercapai. Di lain pihak, RIPH bawang bombai sudah terbit 227 ribu ton atau dua kali lipat kebutuhan nasional per tahun.

Akmal menilai, saat ini Indonesia sudah benar-benar tergantung dengan praktik impor yang dimainkan oleh mafia pangan. Banyak sudah kasus-kasus penimbunan dan praktik monopoli impor yang terjadi selama ini, belum juga bisa dientaskan oleh pemerintah. Untuk itu, dia bersama komisi IV lainnya sudah mengkritisi sistem RIPH yang dinilai menjadi ajang permainan tawar menawar antara pengusaha dan birokrat.

"Selama ini kami di DPR, hampir seluruh anggota Komisi IV sudah berupaya mengkritisi RIPH di Kementerian Pertanian sebagai kementerian teknis. Bila ini tidak dihapuskan, maka upaya kita semua untuk mewujudkan swasembada produk hortikultura seperti bawang putih menjadi tidak jelas ke depannya," ujar Akmal kepada Law-Justice, Sabtu (18/4/2020)

Sedangkan anggota komisi IV lainnya, Ansy Lema menilai, persoalan impor di Indonesia terjadi karena masalah data yang tidak sinkron antara Kementerian Pertanian, Bulog, BPS dan Kemendag, terutama soal stok pangan dan produksi pangan seperti gula, produk holtikultura dan beras.

"Ini memang menjadi pertanyaan. Misalnya, kebutuhan bawang putih kita 500 ribu ton tetapi selalu RIPH yang diijinkan itu melebihi 1 juta ton. Kemendag sih enggak mau tahu, intinya stok impor ada. Problemanya di sini tidak ada sinergiritas dari Kementan, Bulog, ataupun Kemendag. Selain itu, di depan Presiden atau media Kementan selalu mengakui stok persedian pangan cukup, stok ada tapi mana buktinya, mana datanya tidak ada. Ini menunjukan kegagalan Kementan menjelaskan arti pentingnya mereka di tengah situasi seperti ini," jelas Ansy.

Sementara itu, Ekonom Senior Rizal Ramli enggan menanggapi klaim dari lembaga yang sesumbar bahwa stok pangan akan tetap aman di masa pandemi Covid-19. Rizal mengatakan, dunia saat ini tengah berada dalam ancaman krisis pangan. “Kebijakan Lockdown meningkatkan konsumsi 10 – 15 persen. Sementara produksi pangan di seluruh dunia akan berkurang 25 persen,” kata Rizal, Jumat (17/4/2020).

Rizal menegaskan, yang harus dilakukan oleh pemerintah Indonesia adalah memfokuskan kebijakan di sektor pangan. Jika serius, ada peluang besar yang bisa diambil Indonesia di tengah wabah yang menyerang seluruh negara pengekspor pangan seperti Tiongkok dan India.

“Sejak dulu saya sudah bilang, jangan dulu lanjutkan proyek-proyek istana. Hentikan untuk sementara, paling tidak dua tahun. Uangnya fokus untuk menangani Corona dan produksi pangan,” ujar Rizal Ramli.

Law-Justice berusaha melakukan konfirmasi soal adanya masalah dalam RIPH di Kementan dan SPI di Kementerian Perdagangan. Permohonan wawancara yang diajukan kepada Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo pun hanya dibaca tanpa diberikan jawaban. Sementara itu Direktur Jenderal Hortikultura, Prihasto Setyanto juga tidak menjawab permohonan wawancara yang diajukan soal masalah RIPH ini.

Sedangkan soal Surat Persetujuan Impor (SPI) yang dipegang oleh lembaga Kementerian Perdagangan melalui Dirjen Perdagangan Luar Negeri juga tidak memberikan respon. Beberapa kali komunikasi melalui pesan singkat dan mendatangi langsung juga tidak mendapatkan jawaban. Sementara Menteri Perdagangan Agus Suparmanto juga tidak merespon pertanyaan yang diajukan. Baik langsung maupun melalui orang yang dianggap dekat dengan menteri dari Partai Kebangkitan Bangsa itu.

Sementara itu, Badan Urusan Logistik (Bulog) juga mengakui kesulitan dalam mengurus izin impor gula melalui anak perusahaannya. Namun sayangnya, ketika hendak dikonfirmasi soal sulitnya mengurus izin RIPH dan SPI itu, petinggi Bulog seperti Direktur Utama Budi Waseso dan Direktur Pengadaan, Mayjen (Purn) Wibisono Poespitohadi belum memberikan jawaban. Surat permohonan wawancara yang diajukan belum mendapatkan respon cepat dari kedua petinggi Bulog tersebut.

Konglomerasi Perusahaan Pengimpor Pangan

Jika membahas soal impor pangan baik komoditas beras, gula maupun produk holtikultura tidak lepas dari perusahaan kelas kakap yang menguasai seluruh sektor industri pangan. Sebut saja ada Sungai Budi Grup, Samora Grup untuk gula dan Indofood grup untuk impor gandum serta FKS Group untuk impor komoditas kedelai dan gula rafinasi, Wilmar grup untuk komoditas minyak kelapa sawit dan minyak goreng.

Anehnya, beberapa perusahaan besar itu bermain dengan cara membuat anak-anak perusahaan baru untuk mengajukan izin impor baik di Kementan dan Kementerian Perdagangan. Contohnya adalah Sungai Budi Grup yang juga memiliki afilasi dengan perusahaan Samora Grup. Kedua perusahaan itu sama-sama mendapatkan kuota impor untuk bahan gula kristal putih menjadi gula konsumsi.

Selain perusahaan swasta ada juga perusahaan plat merah yang menjadi pemain besar impor pangan, sebut saja Bulog yang bermain untuk impor beras, ada PT RNI (Rajawali Nusantara Indonesia) yang menguasai impor di komoditas gula dan PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI) yang merupakan konsorsium perusahaan BUMN untuk melakukan impor beberapa komoditas seperti produk holtikultura dan gula.


Data perusahaan yang mendapatkan kuota impor gula mentah (Foto:Diolah dari data impor Kemendag/Law-Justice)

Selain itu, perusahaan-perusahaan itu juga menggunakan jasa broker dalam mendapatkan komoditas pangan dalam jumlah besar. Hal itu yang memicu rebutan komoditas untuk memenuhi kuota impor yang diberikan. Alih-alih ingin memenuhi kuota, ada juga perusahaan pengimpor yang melakukan jual beli kuota impor kepada importir lain, dengan tujuan untuk ambil untung.

"Origin dari stok pangan yang diimpor dari luar negeri sangat jarang dibeli dari pihak-pihak yang genuine atau pemilik asli," katanya. Hal lainnya yang juga patut dipertanyakan soal kewajiban menanam bagi perusahaan penerima RIPH. Banyak juga perusahaan yang akal-akalan dengan memanipulasi lokasi penanaman agar tetap mendapatkan RIPH dan SPI.

Keganjilan lainnya dari permainan impor seperti komoditas gula oleh konglomerasi ini adalah mereka memiliki lahan perkebunan baik tebu atau pun holtikultura dengan luas ribuan hektare. Sebut saja, Sungai Budi Grup yang menguasai beberapa pabrik gula di Pulau Jawa dan Sumatera.

Bahkan, perusahaan milik konglomerat Widarto Oey itu menguasai ribuan hektare perkebunan tebu di Sumatera dan Jawa. Ada juga milik pengusaha Hans Falita Hutama yang menguasai beberapa pabrik gula dan perkebunan tebu dalam grup Berkah Manis Makmur Group.

Lantas, jika memiliki perkebunan luas dan pabrik gula berteknologi tinggi, untuk apa grup perusahaan besar itu melakukan impor besar-besaran komoditas pangan? Jika tak lain tujuannya hanyalah ingin mengambil keuntungan sebesar-besarnya.

Terkait Berkah Manis Makmur Grup, perusahaan pernah tersandung masalah pada tahun 2019. Satuan Tugas (Satgas) Pangan Kepolisian Negara RI (Polri) mengungkap praktik perembesan gula kristal rafinasi (GKR) ke konsumen nonindustri di beberapa wilayah di Jawa Tengah (Jateng) dan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Kasus ini diduga melibatkan salah satu dari 11 produsen gula rafinasi, PT Berkah Manis Makmur (BMM).

Kepala Satuan Tugas (Satgas) Pangan waktu itu Komisaris Besar Nico Afinta dalam keterangan persnya di Jakarta, Senin (5/8), mengatakan, PT BMM selaku produsen gula kristal rafinasi diduga sengaja menjual 390 ton gula rafinasi ke perusahaan fiktif dengan inisial PT MWP, selama Juli 2019. Dari hasil penyelidikan, gula tersebut telah dipalsukan menjadi gula kristal putih (GKP) untuk akhirnya didistribusikan ke sejumlah pasar tradisional di Jateng dan DIY.

Modusnya, kata Nico, pelaku mengubah gula rafinasi menjadi gula kristal putih dengan cara menggorengnya agar berwarna kecoklatan. Gula itu kemudian dimasukkan ke dalam karung berlabel PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X, produsen resmi gula kristal putih. Tujuan pelaku adalah untuk mendapatkan keuntungan dari selisih harga karena harga gula rafinasi lebih murah yakni Rp 9.0000 per kilogram (kg), sedangkan gula kristal putih Rp 12.500 per kg.

Sebagai catatan, ini bukan kali pertama perusahaan yang pabriknya berada di Desa Cikande, Serang, Provinsi Banten, terlibat kasus perembesan gula rafinasi. Pada 2016 silam, kepolisian RI pernah mengungkap kasus rembesan gula rafinasi skala besar yang juga melibatkan PT Berkah Manis Makmur (BMM) melalui PT Lyus Jaya Sentosa dan PT Duta Sugar Internasional (PT DSI).

Keanggotaan asosiasi gula rafinasi mencapai 11 perusahaan, termasuk PT Permata Dunia Sukses Utama (PDSU), PT Dharmapala Usaha Jaya, PT Sugar Labinta, PT Duta Sugar International, PT Makassar Tene, PT Berkah Manis Makmur, PT Andalan Furnindo, dan PT Medan Sugar Industry.

Pabrik mereka kebanyakan berlokasi dekat pelabuhan antara lain di Cilacap, Cilegon, dan Serang. Tahun 2019 total kuota impor gula mentah yang ditetapkan pemerintah bagi 11 perusahaan tersebut mencapai 2,8 juta ton. Realisasinya dibagi menjadi dua semester.


Pengungkapan peredaran gula rafinasi ke masyarakat oleh Satgas Pangan Mabes Polri (Foto: Detik.com)

Kesebelas importir produsen gula rafinasi ini berkerabat dan saling kenal. Sebut saja, PT Jawamanis Rafinasi dan PT Duta Sugar Internasional yang merupakan anak usaha Wilmar Group. Ada juga PT PDSU dan PT Makassar Tene, keduanya berada di bawah payung FKS Grup. Sebagai catatan, Makassar Tene merupakan produsen gula rafinasi pertama di kawasan timur Indonesia.

Berdasarkan dokumen yang didapat dari hasil penelusuran Law-justice.co, PDSU masih berstatus sebagai PMA (Penanaman Modal Asing). Perusahaan ini secara tidak langsung dikendalikan oleh keluarga Edy Kusuma, pendiri FKS Group. Saham PT PDSU antara lain dimiliki oleh PT Tene Capital dimana di perusahaan ini, Chandy Kusuma yang juga putra Edy Kusuma dan FKS Food and Agri Pte., Ltd., perusahaan berbasis di Singapura, tercatat sebagai pemegang saham.

Law-Justice mencoba menghubungi perusahaan di bawah payung FKS Grup. Perusahaan yang berkantor di Menara Sampoerna, Sudirman Jakarta Selatan ini menjadi salah satu produsen gula rafinasi. Namun dari penelusuran kami, kantor tersebut berhenti sementara karena menerapkan WFH (Work From Home).

Konglomerasi pangan ini juga merupakan buntut dari mahalnya mengurus perizinan untuk impor dan pengadaan pangan. Mahalnya itu disebabkan adanya bancakan baik dari kelompok penguasa, partai politik hingga aparat keamanan yang ingin mengambil ceruk untung dari impor komoditas pangan ini.

Untuk mengkonfirmasi hal itu, jurnalis Law-Justice telah mencoba menghubungi Dirut RNI Eko Taufik, Rabu (15/4/2020). Pesan whatsapp sudah ia terima dan dibaca, namun tidak direspon. Saat Law-Justice menghubungi melalui telepon pada hari yang sama juga tidak mendapat respon. Hingga Kamis (16/4/2020) kami mencoba menghubungi kembali nomor tersebut namun tidak aktif dan pesan whatsapp juga tidak aktif.

Kami mencoba mengunjungi kantor RNI yang berada di Jalan Denpasar Raya, Kuningan Timur, Jakarta Selatan. Namun salah seorang penjaga disana mengatakan jika semua staff PT RNI sedang melakukan WFH sejak pemerintah memberi kebijakan social distancing hampir sebulan lalu.

Law-Justice juga telah mencoba menghubungi Dirut PPI Agus Andiyani melalui pesan Whatsapp. “Saya sekarang nggak di PPI lagi. Sebaiknya kalau perlu informasi hubungi PPI saja ya,” ucap Agus dalam pesan tersebut. Saat ditanya kontak pejabat PPI yang bisa dihubungi, Agus hanya meminta reporter untuk membuka website dari PT PPI tersebut. “Silahkan, ada di webnya PPI,” katanya.

Manis Gula Tak Semanis Industri Gula Nasional

Nada bicara Soemitro Samadikoen meninggi saat ia menceritakan kepada law-justice.co tentang kondisi para petani tebu di Indonesia saat ini. Soemitro adalah Ketua Umum Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), lembaga yang berdiri pada awal masa reformasi untuk mengembalikan lagi kejayaan Indonesia di sektor produksi gula.

Ia mengatakan, pada masa kolonial Belanda, Indonesia adalah negara pengekspor gula terbesar nomor dua di dunia setelah Kuba. Pada tahun 1929 misalnya, dengan adanya 169 pabrik gula, kita bisa menghasilkan lebih dari 3 juta ton gula per tahun. Tapi pencapaian itu hanya tinggal kenangan bagi Soemitro dan kebanyakan petani tebu. Sekarang, jangankan untuk ekspor, memenuhi kebutuhan dalam negeri pun tidak bisa.

“Panjang ceritanya. Entah kita ini mengecilkan diri tidak mampu menaikkan produksi atau memang diakali agar terus-terusan impor gula,” kata dia, Rabu (15/4/2020).

Bagi Soemitro, kebijakan impor yang terus berlangsung setiap tahunnya adalah sumber masalah dari krisis kedaulatan pangan di sektor gula. Ia sudah mengikuti isu impor gula sejak masa Orde Baru sampai saat ini. Tidak ada perubahan yang mengarah pada pemberhentian praktik impor untuk menggenjot produksi dalam negeri. Bahkan, kini semakin diperparah dengan adanya kebutuhan gula untuk industri yang semakin meningkat setiap tahunnya.

“Produksi kita turun terus. Dari 2,5 juta ton per tahun, jadi 2,3 juta ton, 2,2 juta ton, bahkan pernah hanya mampu produksi 2,1 juta ton. Pokokya hanya berkisar di angka 2 juta ton per tahun,” ucapnya.

Padahal, kebutuhan konsumsi gula kita saat ini di atas 3 juta ton setiap tahunnya. Itu artinya, ada selisih lebih dari 1 juta ton yang harus dipenuhi melalui mekanisme importir. Menurut Soemitro, kebutuhan akan impor gula setiap tahunnya dipertahankan melalui skema yang sistematis antara pemerintah dan perusahaan importir. Polanya selalu sama. Di akhir tahun mengumumkan stok menipis, gula di pasar menjadi langka sehingga menyebabkan harga melonjak.

Awal tahun Kementerian Pertanian (Kementan) mengumunkan kuota gula yang harus diimpor, lalu Kementerian Perdagangan (Kemendag) membuka keran impor untuk beberapa perusahaan yang sudah disetujui. Padahal, kata Soemitro, jika dikelola dengan baik, selisih kebutuhan gula setiap tahun bisa disiasati dengan mengamankan stok.

“Perhitungan kami, stok gula nasional hari ini mirip dengan awal tahun 2019. Masih ada stok kurang lebih 1,1 juta ton. Setiap bulan butuh 230.000 ton, berarti bulan Januari, Feburari, Maret, dan April kita bisa aman. Tapi kenapa malah membuka keran impor? Ternyata Bulog tidak mengamankan stok,” kata dia.


Gudang gula milik PT Rejoso Manis Indo yang juga turut melakukan impor gula kristal putih (Foto:ANTARA/IRFAN ANSHORI)

Soemitro yakin, kebutuhan gula sepanjang tahun akan aman karena memasuki bulan April semua petani tebu sudah akan panen. Tapi ketika terjadi impor besar-besaran sebelum panen, hasil produksi petani tebu banyak yang tidak terserap di pasar dengan harga yang bagus. Kondisi ini membuat mata rantai krisis gula tidak bisa dipangkas.

Belum lagi kalau berbicara tentang merembesnya gula industri (rafinasi) ke pasar konsumsi. Pada dasarnya, ujar Soemitro, saat ini kita tidak bisa lagi memastikan apakah gula yang kita konsumsi di pasar adalah gula yang aman untuk dikonsumsi atau gula industri yang diolah menjadi gula konsumsi.

“Ada pengalihan gula rafinasi ke pasar konsumsi 250.000 ton. Menurut dugaan saja lah, kira-kira yang keluar lebih dari itu atau kurang dari itu? Ya pasti lebih. Gula rafinasi dijual ke konsumsi murah kok, cuma Rp 9.000. Kalau kalau dijual ke pasar bisa untung banyak,” jelas dia.

Soemitro mengaku, ia dan beberapa rekannya sudah letih berbicara kepada pemerintah untuk menghentikan kebijakan impor gula yang ugal-ugalan. Ia bahkan sudah pernah bertemu langsung dengan Presiden Joko Widodo di Istana, menyampaikan aspirasi agar nasib para petani tebu lebih diperhatikan karena terdampak langsung atas kebijakan impor gula.

Namun aspirasi hanya menjadi buih yang mengambang di lautan. Hasrat untuk mengembalikan swasembada pangan di sektor gula kalah menggiurkan dengan keuntungan yang diperoleh jika tradisi impor ini terus dipelihara.

Menurut penghitungan Soemitro, keuntungan dari praktik impor gula setiap tahunnya tidak kurang dari Rp 3 triliun. Jika setiap tahunnya mengimpor gula 1 ton (1 miliar kilogram), dengan harga beli di negara asal berkisar antara Rp 7.000 – Rp 7.500 per kilogram, sementara dijual di dalam dalam negeri dengan harga Rp 9.000 – Rp 10.000 per kilogram, keuntungan yang diperoleh bisa tembus Rp 9 triliun. “Anda yakin uang Rp 9 triliun itu dimakan sendiri? Itu jumlah yang besar,” pungkasnya.

Belum lagi ada perusahaan importir gula yang memainkan kualitas gula. Dari penelusuran Law-Justice di Pasar Induk Kramat Jati, Jakarta Timur misalnya, ditemukan banyak kemasan karung gula kastor yang diproduksi oleh PT Mitra Legi Sampoerna.

Perusahaan yang memiliki gudang di kawasan Narogong, Bekasi Barat itu memproduksi gula kastor dan gula untuk industri. Sayangnya, produk-produk itu beredar luas di pasaran dengan alasan harga lebih murah dari gula kristal putih. Padahal gula kastor memiliki kualitas yang jauh dari gula kristal putih biasa.

Menurut sumber Law-Justice, persoalan impor gula ini makin kacau.  Ada perusahaan importir gula diduga melakukan pengoplosan produk seperti gula rafinasi dan gula kastor yang notabene berkualitas rendah. Bahkan permainan kuota untuk memperoleh untung besar kerap dilakukan importir. Dia juga menambahkan,  di sisi lain persoalan masih tingginya harga gula di Indonesia karena adanya penimbunan dari beberapa importir.

"Gula ini sebenernya ada yang nimbun. Coba cek RNI sama PPI. Karena yang dua itu yang main gula. Pemain terbesar ya dua itu. Dia mainnya pakai selubung BUMN padahal yang di dalamnya sudah ada titipan orang-orang itu. Karena nanti disatuin lagi ke siapa gitu. Setahu saya RNI itu mengajukan berapa ratus ribu ton yang akan dikirim ke Indonesia. RNI sendiri sebagian misalnya bancakan mereka," ujarnya.

Penegakan Hukum Lemah

Timbulnya dugaan terhadap adanya permainan kuota pangan dalam impor seakan tidak pernah berhenti dalam setiap tahun atau kondisi menjelang hari raya. Penimbunan tersebut bisa berdampak terhadap kelangkaan stok juga berdampak pada harga kebutuh pangan.

Mabes Polri sendiri melalui Bareskrim telah membentuk Satugan Tugas Pangan yang dikepalai oleh Brigjen Pol Daniel Tahi Monang Silitonga. Dalam keterangannya, hingga awal April, kasus terkait penimbunan pangan sudah ditangani sebanyak 15 kasus, terhitung dari 1 Januari hingga 27 Maret 2020.

“Di Polda Jateng dua kasus, Polda Kalteng dua kasus, Polda Kalsel tujuh kasus, dan Polda Sulbar empat kasus," kata Ketua Satgas Pangan Polri Brigjen (Pol) Daniel Tahi Monang Silitonga.

Selain itu, Satgas Pangan juga mengawasi soal impor yang akan masuk ke Indonesia. Salah satunya impor bawang putih sebanyak 52.000 ton asal China. Pasokan tersebut akan dikirim ke Indonesia dalam beberapa tahap. “Sampai dengan sekarang, yang sudah masuk 52.000 ton bawang putih dari China,” kata Brigjen Daniel Tahi yang dilansir dari Antara.

Mulai masuknya impor pangan ke Indonesia sudah tentu akan menjadi masalah. Dugaan adanya permainan kuota impor sampai dengan masuknya kembali perusahaan yang pernah bermasalah terhadap impor menjadi suatu masalah yang sering terjadi.

Terkait soal perusahaan yang sedang ditangani oleh Satgas Pangan, Law-Justice mencoba untuk menghubuni Brigjen Daniel Tahi Monang Silitonga. Namun sayang, beberapa kali dilakukan komunikasi, Jenderal Bintang Satu tersebut seperti enggan merespon. Begitu juga dengan Kepala Badan Reserse Kriminal Umum Komjen Pol Listyo Sigit Prabowo. Ditanya tentang hasil kerja unitnya, Kabaresrkim hingga berita ini diturunkan juga diam seribu bahasa.

Apakah perusahaan tersebut hanya sekedar dikatakan sedang diselidiki? Tidak ada yang tahu. Perusahaan-perusahaan tersebut hanya disebutkan secara jumlah tetapi tidak ada informasi tentang siapa saja perusahaan tersebut.

Sementara itu, Ketua Harian YLKI Tulus Abadi menilai, persoalan meroketnya harga pangan dan adanya dugaan kartel dalam industri pangan disebabkan adanya hukum ekonomi dan pengawasan hukum yang lemah.

"Karena hukum ekonomi kan berjalan ya, ketika permintaan naik maka hargapun ikut naik. Juga yang harus diperhatikan juga supply demand nya juga apakah seimbang. Bila seimbang juga tidak membuat kenaikan harga itu mencapai level yang mengkhawatirkan untuk konsumen. Bila pun terjadi kenaikan, apakah kenaikan tersebut mengganggu daya beli konsumen. Kalau soal penimbunannya, sampai level mana penimbunan itu betul-betul. Apalagi bila semua melakukan penimbunan atau mengganggu supply. Tapi apapun itu, soal penimbunan itu kan ada undang-undangnya dan itu bisa dipidana. Pasalnya itu sudah jelas itu," ungkapnya.

Kata dia, jika ada permainan dari hulu ke hilir perlu adanya upaya hukum misalnya dari KPPU yang selama ini menjaga jalur distribusi dan bisnisnya agar tidak terjadi kartel dan monopoli.

"Itu perlu diselidiki lagi ya. Kalau fenomenanya sangat mungkin. Ada permainan di hulu dan hilir. Tapi apakah itu tergantung regulasi kita seperti apa. Bila regulasi kita sudah tepat maka persaingan usaha akan baik. Seperti lembaga KPPU, dia kan mengawasi persaingan usaha yang tidak sehat dan monopoli. Seperti dugaan kartel," katanya.

Kontribusi Laporan : Januardi Husin, Bona Ricki Siahaan, Lili Handayani, Ricardo Ronald

(Tim Liputan Investigasi\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar