H. Desmond J. Mahesa, SH.MH, Wakil Ketua Komisi III DPR RI :

Analisis Hukum Menguak Tabir dari Kejanggalan Perppu No 1/2020

Sabtu, 11/04/2020 09:42 WIB
Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (ist)

Desmond J. Mahesa, Wakil Ketua Komisi III DPR RI (ist)

Jakarta, law-justice.co - Penyebaran virus covid -19 alias virus corona di Indonesia semakin menggila saja. Korban terus berjatuhan diman- mana. Bahkan ada pengamat dan media mancanegara meramalkan Indonesia bakal menjadi epicentrum penyebaran corona. Kita berharap semua itu hanya sebatas ramalan belaka dan tidak terjadi di dunia nyata.

Sungguhpun demikian, hingga kini faktanya virus corona masih menyatroni Indonesia dan penyebarannya makin merata. Data terakhir per tanggal 10 April 2020, sebanyak 3.512 kasus,282 sembuh dan 306 meninggal dunia.

Ditengah merebaknya virus corona, Pemerintah Indonesia mengeluarkan empat aturan sekaligus yang berkaitan dengan penanganan corona. Peraturan itu adalah PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Skala Besar (PSBB) yang baru saja diberlakukan di Jakarta. Selanjutnya Kepres Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat dan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan (Negara) dan Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2020.

Diantara ke empat  peraturan itu, peraturan yang disebut ketiga dan keempat dinilai paling kontroversial sehingga mendapatkan banyak tanggapan dari para pengamat sampai rakyat jelata. Tulisan ini hanya ingin mengulas peraturan yang disebut ketiga  yaitu Perppu Nomor 1 Tahun 2020 yang sarat kontroversi dan terkesan sengaja diada adakan karena diduga mengandung unsur hidden agenda didalamnya.

Apa sebenarnya yang diatur di Perpu itu dan apa pula  yang  alasan pemerintah mengeluarkan Perppu di tengah merebaknya virus corona ? Apakah Perppu tersebut sudah layak dikeluarkan karena telah memenuhi syarat-syarat kegentingan yang memaksa ?.  Kejangggalan-kejanggalan apa saja yang terdapat dalam Perppu tersebut sehingga menyita perhatian kita semua ?. Bagaimana sebaiknya DPR menyikapinya ?

Ruang Lingkup dan tujuan Perppu No. 1 /2020

Namanya  Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan Untuk Penanganan Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) dan/ atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman Yang Membahayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan (negara).

Dari Judul Perppu Nomor 1 Tahun 2020  yang begitu panjang, menimbulkan pertanyaan tentang apa saja sebenarnya yang diatur di dalam Perpu yang akhir akhir ini sehingga mendapatkan perhatian yang begitu besar di media massa.

Ternyata muatan materi PERPPU 1/2020 terdiri dari 6 bab yang hampir semuanya berbicara mengenai persoalan ekonomi semata. Nyaris  tidak ada satu bab pun terkait dengan penanganan pandemi Covid-19 atau corona meskipun judulnya dikait kaitkan dengan menyebarnya wabah corona.

Adapun muatan materi yang diatur di dalam Perppu No. 1/2020 adalah sebagai berikut :

Bab I.     Ruang Lingkup

Bab II.   Kebijakan Keuangan Negara yang terdiri dari

(1)          Penganggaran dan Pembiayaan

(2)          Kebijakan di Bidang Keuangan Daerah

(3)          Kebijakan di bidang Perpajakan

(4)          Pelaksanaan Program Pemulihan Ekonomi Nasional

(5)          Pelaksanaan Kebijakan Keuangan Negara

(6)          Pelaporan

Bab III.  Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan, terdiri dari:

(1)          Kebijakan Stabilitas Sistem Keuangan

(2)          Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Bank Indonesia

(3)          Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Lembaga Penjamin Simpanan

(4)          Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Otoritas Jasa Keuangan

(5)          Kewenangan dan Pelaksanaan Kebijakan oleh Pemerintah

Bab IV.  Ketentuan Sanksi

Bab V.   Ketentuan Penutup. 

Secara umum Perpu ini mengatur dua hal, yaitu kebijakan keuangan negara dan kebijakan stabilitas sistem keuangan negara. Bagian pertama meliputi penambahan batas atas defisit APBN diatas 3% PDB untuk tahun 2020-2022. Kewenangan untuk melakukan realokasi anggaran APBN dan APBD antara unit, fungsi dan program; Penurunan tarif pajak badan ; Perpajakan sektor digital, dan relaksasi waktu penyampaian kewajiban administrasi perpajakan serta kewenangan pembebasan Bea Masuk.

Bagian kedua Perpu mengatur stabilitas sektor keuangan yang mengantisipasi apabila terjadi ancaman pada stabiliats sistem keuangan- Komite Stabilitas Sektor Keuangan (KSSK) dapat melakukan tindakan-tindakan pencegahan dan pemagangan krisis keuangan.

Sehubungan dengan keluarnya Perpu ini Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati, menjelaskan bahwa Perpu tersebut bertujuan untuk merelaksasi beberapa peraturan perundangan yang diperlukan dalam menghadapi Covid-19 dan menjaga stabilitas sistem keuangan.

“Presiden telah mengatakan bahwa saat ini negara sedang dalam kondisi kegentingan yang memaksa, ini salah satu alasan mengapa Perpu perlu diterbitkan,” ungkap Sri Mulyani saat telekonferensi pers bersama Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Gubernur Bank Indonesia, Ketua Dewan Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, dan Ketua Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan, Rabu (1/4).

Menurutnya, Perpu merupakan langkah awal dan menjadi landasan hukum agar Pemerintah dan otoritas terkait dapat mengambil langkah–langkah yang bersifat luar biasa (extraordinary actions) secara cepat dan tetap akuntabel untuk penanganan Pandemi Covid-19 bila diperlukan. Upaya yang komprehensif dan cepat sangat diperlukan mengingat penyebaran Covid-19 bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga masalah kemanusiaan yang berdampak pada aspek sosial, ekonomi, dan mempengaruhi fundamental perekonomian nasional. Di samping itu, terdapat ketidakpastian mengenai luasnya penyebaran serta panjangnya periode pandemic corona.

Kegentingan Yang Memaksa

Perpu sebenarnya merupakan suatu Peraturan Pemerintah yang bertindak sebagai suatu Undang-Undang atau dengan perkataan lain Perpu adalah Peraturan Pemerintah yang diberi kewenangan sama dengan Undang-Undang. Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh Presiden untuk melaksanakan UU. UU adalah peraturan perundang-undangan yang pembentukannya dilakukan oleh dua lembaga, yakni DPR dengan persetujuan Presiden dan merupakan peraturan yang mengatur lebih lanjut ketentuan-ketentuan dalam UUD 1945.

Perpu dibentuk oleh Presiden dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa. Apabila Perpu sebenarnya adalah Peraturan Pemerintah dan Peraturan Pemerintah adalah peraturan perundang-undangan untuk melaksanakan UU, maka Perpu adalah peraturan perundang-undangan yang dibentuk dalam hal ihwal Kegentingan yang Memaksa, untuk melaksanakan undang-undang. Namun karena Peraturan Pemerintah ini diberi kewenangan sama dengan UU, maka dilekatkan istilah “pengganti UU”.

Secara konstitusional Perpu merupakan produk hukum yang sah sebagaimana ketentuan Pasal 22 UUD 1945. Dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan Perpu sebagai pengganti undang-undang.

Ketentuan dalam Pasal 22 UUD 1945 terkait Perpu ini adalah merupakan ketentuan yang tetap dipertahankan dalam beberapa kali proses amandemen UUD 1945. Dalam artian walaupun amandemen UUD 1945 telah berlangsung berturut-turut pada 1999 sampai 2002, pasal ini  oleh para wakil rakyat tetap berbunyi sebagaimana teks aslinya dan tidak ikut mengalami proses amandemen dalam bunyi pasalnya.

Hal ini berarti seluruh presiden Indonesia merujuk norma konstitusi yang sama dalam menerbitkan Perpu dan dengan menggunakan alasan yang sama yakni “kegentingan yang memaksa”. Yang berbeda adalah tafsir masih-masing zaman atas frasa “kegentingan yang memaksa” tersebut.

Berdasarkan pengamatan, setiap rezim seolah berlomba membentuk perpu sebagai langkah cepat mengatasi problem kenegaraan. Padahal, jika merujuk pada pandangan teoritik, harusnya tidak boleh tejadi “hujan” Perpu.

Berkaca dari perjalanan bangsa ini, serta dengan mempertimbangkan konfigurasi konstitusi yang berganti-ganti, tentu dalam praktiknya setiap rezim pemerintah punya penilaian tersendiri terkait ihwal kegentingan memaksa yang menjadi dasar terbitnya Perpu. Pertimbangan tersebut terlihat dalam konsideran menimbang masing-masing Perpu tersebut.

Lalu, bagaimana suatu kondisi bisa dikatakan berada dalam kegentingan yang memaksa? UUD 1945,  tidak menentukan apa yang disebut dengan kegentingan yang memaksa. Oleh karena itu, MahKamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 telah menentukan 3 (tiga) syarat agar suatu keadaan secara objektif dapat disebut sebagai kegentingan yang memaksa.

  1. adanya kebutuhan mendesak untuk menyelesaikan suatu masalah hukum secara cepat berdasarkan undang-undang yang berlaku.
  2. undang-undang yang dibutuhkan tersebut belum ada sehingga terjadi kekosongan hukum. Kalupun undang-undang tersebut telah tersedia, itu dianggap tidak memadai untuk mengatasi keadaan.
  3. kekosongan hukum tersebut tidak dapat diatasi dengan cara membuat undang-undang secara prosedur biasa karena akan memakan waktu yang cukup lama. Padahal, keadaan yang mendesak tersebut perlu kepastian hukum untuk diselesaikan sesegera mungkin.

Jika hal tersebut kita kaitkan dengan keberadaaan Perppu  Nomor 1 Tahun 2020, Apakah Perppu  tersebut telah memenuhi syarat-syarat Negara dalam keadaan bahaya sehingga menimbulkan kegentingan memaksa sebagaimana dimaksud Pasal 12 UUD 1945 ?,

Syarat yang pertama yaitu adanya kebutuhan yang mendesak untuk menyelesaikan masalah hukum secara cepat, rasanya tidak ada karena sampai saat ini Presiden belum mengeluarkan pernyataan Negara dalam keadaan Bahaya. Dan dalam Perppu tersebut tidak menjadikan pasal 12 UUD sebagai dasar hukum (mengingat).

Syarat yang kedua yaitu adanya kekosongan hukum, sepertinya juga tidak terpenuhi karena dalam menghadapi Covid-19 Pemerintah masih memiliki payung hukum. Ada undang-undang Nomor 6 tahun 2018 tentang Karantina Kesehatan yang sangat jelas dan terang untuk dijadikan sebagai dasar hukum dalam mengambil kebijakan penanganan wabah covid-19. yaitu  dimulai dengan Karantina rumah, karantina pintu masuk, Pembatasan sosial berskala besar dan pamungkasnya karantina wilayah.

Dengan demikian alasan mendesak pun tidak terpenuhi dalam perppu ini. Karena DPR masih bisa bersidang, belum memasuki masa reses, bahkan sampai hari ini masih membahas Rancangan Undang-Undang Omnibus law dan pemindahan Ibu kota Negara. Artinya Pemegang Kekuasaan pembentuk undang-Undang masih berfungsi dalam menjalankan tugasnya.

Dari tiga hal sebagaimana yang disebutkan dalam Putusan MK tidak dapat dijadikan alasan, sebab kekosongan hukum dan keadaan mendesak tidak terpenuhi. Lebih lebih yang dibahas dalam Perppu itu adalah tentang masalah keuangan dan anggaran negara. Sementara Anggaran Negara sudah ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Pada hal Undang-Undang APBN tidak boleh di Perppu-kan, bukan hanya tidak boleh, tetapi haram, dan hanya boleh direvisi dengan melalui APBN Perubahan.

Tetapi dengan adanya Perpu No.1 Tahun 2020 kekuasaan dan fungsi Anggaran DPR sebagaimana diatur Pasal 20 A dan Pasal 23 UUD dan Pasal 28, Pasal 177 huruf C angka 2, Pasal 180 ayat 6 dan Pasal 182 UU MD3 menjadi hilang.

Dengan demikian Perpu 1/2020 tidak mempunyai tujuan jelas terkait kegentingan yang memaksa. Padahal di dalam pertimbangan disebut bahwa pandemi Covid-19 bersifat global sehingga harus ditangani secara khusus, tetapi penanganan khusus terhadap pandemi Covid-19 ini tidak tercermin sama sekali di dalam Perpu. Yang tercermin hanya ancaman ekonomi dan stabilitas sistem keuangan.

Sedangkan ancaman ekonomi dan stabilitas sistem keuangan tergantung dari cara penanganan penyebaran Covid-19, serta berapa lama pandemi Covid-19 berlangsung. Kalau esok hari pandemi Covid-19 dapat diatasi, maka ancaman bahaya ekonomi dan stabilitas sistem keuangan akan dengan menjadi hanya ilusi.

Oleh karena itu, pasal 2 ayat (1) huruf a butir 1 Perpu yang memberi kuasa anggaran tanpa batas dapat disalahgunakan, dan dapat digunakan sewenang-wenang. Defisit APBN boleh melampaui 3% dari Produk Domestik Bruto (PDB) mempunyai implikasi boleh melampaui tanpa batas, yang berarti mempunyai kekuasaan berlebihan bahkan kekuasaan absolut dalam bidang anggaran.

Hal ini tentu saja bertentangan dengan tujuan Perpu 1/2020 untuk menghadapi keadaan kegentingan yang memaksa dalam bidang penanganan pandemi Covid-19 dan ancaman yang membahayakan perekonomian nasional dan stabilitas sistem keuangan, bukan untuk mendapatkan kekuasaan berlebihan atau kekuasaan absolut dalam bidang anggaran.

Selain itu, persyaratan kegentingan yang memaksa juga tidak tercermin dari dimensi waktu. Kegentingan yang memaksa harus dapat diatasi secepat-cepatnya, dengan cara luar biasa, seperti tertuang dalam unsur ketiga dalam pembentukan Perpu: kewenangan luar biasa diberikan kepada pemerintah untuk secepatnya mengakhiri keadaaan kegentingan yang memaksa tersebut kembali ke dalam kehidupan normal.

Oleh karena itu, Perpu 1/2020 pasal 2 ayat (1) huruf a butir 2 yang memuat defisit pada APBN (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara) tanpa batas selama 3 tahun tidak mencerminkan keadaan kegentingan yang memaksa tersebut. Batas waktu 3 tahun harus disikapi juga sebagai tindakan berbahaya untuk menggunakan kesempatan (aji mumpung) di tengah musibah nasional pandemi Covid-19 yang patut dicurigai demi kepentingan para sekelompok pribadi tertentu tersebut dalam Perpu 1/2020, khususnya dihubungkan dengan pasal kekebalan hukum (pasal 27). Dengan demikian, masyarakat patut curiga terhadap iktikad pembuatan materi seperti ini.

Kejanggalan-Kejanggalan Perppu

Pembentukan Perpu harus memenuhi empat unsur. Pertama, ada unsur kegentingan yang memaksa yang patut dihadapi dengan upaya luar biasa. Kedua, upaya biasa tidak dapat menanggulangi kegentingan yang ada. Ketiga, kewenangan luar biasa diberikan kepada pemerintah untuk secepatnya mengakhiri keadaaan kegentingan yang memaksa tersebut kembali ke dalam kehidupan normal. Keempat, wewenang luar biasa itu diberikan hanya untuk sementara waktu saja sampai keadaan darurat itu dipandang sudah sirna.

Selain itu, pembentukan Perpu, seyogyanya mengikuti kaidah penerbitan undang-undang dimana harus memperhatikan asas pembentukan yang baik sesuai amanat Pasal 5 UU 12/2011 yang meliputi:

  1. kejelasan tujuan;
  2. kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat;
  3. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;
  4. dapat dilaksanakan;
  5. kedayagunaan dan kehasilgunaan;
  6. kejelasan rumusan; dan
  7. keterbukaan.

Pembatasan keadaan kegentingan yang memaksa sebagaimana disyaratkan dalam UUD NRI harus dirumuskan secara hati-hati agar muatan Perpu tidak bertentangan dengan asas-asas sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (1) UU No 12 Tahun 2011, yaitu:

  1. pengayoman;
  2. kemanusiaan;
  3. kebangsaan;
  4. kekeluargaan;
  5. kenusantaraan;
  6. bhinneka tunggal ika;
  7. keadilan;
  8. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
  9. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
  10. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

Ternyata selain tidak terpenuhi syarat harus adanya Perpu yaitu kegentingan yang memaksa, Perpu ini juga sarat dengan kejanggalan kejanggalan karena tidak dipenuhinya asas pembentukan Perpu sesuai dengan pasal 5 UU No. 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pada hal keharusan dipenuhinya  asas-asas tersebut dimaksudkan agar keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat dan pemerintah tercapai, sehingga pembentukan Perpu dalam pelaksanaannya tidak menimbulkan polemik di masyarakat.

Adapun kejanggalan kejanggalan yang nampak karena tidak dipenuhiny asas asas pembentukan Perpu diantaranya adalah : 

  1. Tidak Adanya Kejelasan Tujuan

Salah satu asas pembentukan Perpu yang baik adalah adanya kejelasan tujuan. Tetapi Perpu 1/2020 tidak mempunyai tujuan jelas terkait kegentingan yang memaksa. Apakah Perpu 1/2020 untuk menangani pandemi Covid-19 atau untuk menangani penurunan ekonomi dan / atau stabilitas sistem keuangan? Yang mana faktor kegentingan yang memaksa tersebut?

Di dalam pertimbangan disebut bahwa pandemi Covid-19 bersifat global sehingga harus ditangani secara khusus, tetapi penanganan khusus terhadap pandemi Covid-19 ini tidak tercermin sama sekali di dalam Perpu. Yang tercermin hanya ancaman ekonomi dan stabilitas sistem keuangan. Sedangkan ancaman ekonomi dan stabilitas sistem keuangan tergantung dari cara penanganan penyebaran Covid-19, serta berapa lama pandemi Covid-19 berlangsung. Kalau dalam waktu yang tidak terlalu lama pandemi Covid-19 dapat diatasi, maka ancaman bahaya ekonomi dan stabilitas sistem keuangan akan sirna. 

  1. Tidak Dapat dilaksanakan (Pasal 5 huruf d);

Salah satu asas pembentukan Perpu yang baik adalah dapat dilaksanakan. Tetapi Perpu No. 1/2020 tidak dapat dilaksanakan karena bertentangan dengan banyak UU yang setara maupun yang lebih atas.

Sebagai contoh Perpu No. 1/2020 memuat pasal kekebalan (imunitas) hukum (pasal 27) kepada semua pihak tersebut di dalam Perpu 1/2020 serta kepada seluruh pengguna anggaran. Hak kekebalan hukum baik dalam bidang perdata dan pidana ini bertentangan dengan UUD NRI Pasal 7A yang menyatakan bahwa korupsi adalah pelanggaran hukum yang apabila terbukti bahkan dapat berbuntut pada pemberhentian presiden dan wakil presiden

Pasal 27 Perpu 1/2020 juga bertentangan dengan UUD NRI pasal 23E yang memberi mandat kepada Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara secara bebas dan mandiri. Dalam melaksanakan tugasnya, BPK wajib memberi pendapat atas hasil pemeriksaannya apakah wajar atau terjadi penyimpangan yang merugikan keuangan negara.

Pasal 27 Perpu 1/2020 juga bertentangan dengan Undang-undang No 31 Tahun 1999 (UU 31/1999) tentang Pemberantasan Pidana korupsi yang mempunyai kedudukan sejajar dengan Perpu 1/2020. UU 31/1999 pasal 2:

  • Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara dengan penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp. 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
  • Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan.
  1. Melanggar Asas Kedayagunaan dan kehasilgunaan (Pasal 5 huruf e)

Perpu yang dibuat seyogyanya mempunyai implikasi positif untuk mengatur kehidupan masyarakat. Apakah penetapan Perpu 1/2020 memang benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Menaikkan defisit pada APBN tanpa batas dan dalam waktu lama (3 tahun) bahkan bisa membawa malapetaka bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

Karena defisit pada APBN akan mengakibatkan utang, dan utang pemerintah, khususnya utang luar negeri, sudah dalam batas bahaya. Utang yang berlebihan tersebut sebetulnya yang turut memberi kontribusi membawa perekonomian Indonesia masuk ke dalam krisis, serta membuat nilai tukar rupiah anjlok menjadi kurs terendah sepanjang masa sehingga membahayakan stabilitas sistem keuangan.

Defisit 3% dari PDB yang diperkenankan menurut UU Keuangan Negara sekitar Rp 510 triliun. Jumlah defisit ini cukup besar untuk menutupi stimulus yang sudah diumumkan pemerintah sebesar Rp 405,1 triliun. Sehingga, sebetulnya, pemerintah tidak perlu menaikkan batasan defisit APBN menjadi tanpa batas. 

  1. Tidak Memenuhi Asas Pengayoman (Pasal 6 ayat (1) huruf a)

Materi muatan Perpu 1/2020 tidak memenuhi asas pengayoman yang berfungsi memberi perlindungan untuk menciptakan ketentraman masyarakat. Sebaliknya, Perpu 1/2020 memberi ketakutan kepada masyarakat dengan menetapkan defisit APBN tanpa batas dan sekaligus memberi kekebalan hukum kepada mereka yang terlibat di dalam pengambilan kebijakan dalam ruang lingkup Perpu 1/2020 ini, termasuk kepada pengguna dan pelaksana anggaran.

Perpu 1/2020 membuat resah karena memberi kekuasaan absolut dengan menyatakan bahwa semua biaya yang dikeluarkan merupakan bagian dari biaya ekonomi untuk penyelamatan perekonomian dari krisis dan bukan merupakan kerugian negara, mereka tidak bisa dituntut baik perdata maupun pidana, dan segala tindakan mereka yang tersebut dalam Perpu 1/2020 bukan sebagai objek gugatan yang dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara. 

  1. Perpu Tidak Memperhatikan Aspek Kemanusiaan (Pasal 6 ayat (1) huruf b)

Perpu 1/2020 tidak memperhatikan asas kemanusiaan sama sekali dalam penanganan pandemi Covid-19 di maksud dalam Perpu 1/2020. Tidak ada satu bagian pun di dalam muata Perpu 1/2020 yang menyebut bagaimana menangani pandemi Covid-19 ini agar bisa selesai secepat-cepatnya. Padahal, seperti yang dikatakan di dalam butir pertimbangan Perpu 1/2020, pandemi Covid-19 sudah menimbulkan korban jiwa dan kerugian material yang semakin besar.

Sehingga berimplikasi pada aspek sosial, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Artinya, di dalam pertimbangan ini secara eksplisit dinyatakan bahwa penyebab dari ini semua adalah pandemi Covid-19 yang sudah menelan korban jiwa.

Tetapi di dalam Perpu 1/2020 tidak disinggung sama sekali tentang penanganan untuk menyelesaikan penyebaran penyakit Covid-19 dan penanganan penyembuhan pasien Covid-19 agar tidak menimbulkan korban jiwa lebih banyak lagi. Oleh karena itu, Perpu 1/2020 hanya fokus pada aspek ekonomi dan keuangan dengan mengabaikan aspek kemanusiaan.Pertanyaan yang sangat penting terkait hal ini, apakah UU kesehatan, termasuk karantina, yang berlaku sudah memadai untuk menyelamatkan korban pandemi Covid-19.

Banyak pendapat di masyarakat bahwa penanganan pandemi Covid-19 sebaiknya melalui karantina wilayah seperti yang dilakukan di kebanyakan negara dalam menangani pandemi Covid-19. Tetapi pemerintah sejauh ini tidak setuju, dan alasan tidak setuju tidak pernah dijelaskan kepada publik secara terbuka. Masyarakat berpendapat pemerintah takut memberlakukan karantina wilayah karena faktor ekonomi.

Pemerintah khawatir karantina wilayah akan membuat penurunan pertumbuhan ekonomi semakin dalam. Dengan kata lain, masyarakat berpendapat pemerintah lebih mementingkan aspek ekonomi dari pada aspek kemanusiaan dan jiwa.

Pendapat masyarakat ini dibuktikan dengan berbagai video yang tersebar di berbagai media sosial yang menunjukkan masih banyak berdatangan tenaga kerja asing (TKA) dari Tiongkok, padahal sudah diberlakukan pembatasan penerbangan internasional dari berbagai negara di dunia termasuk dari Tiongkok. Kekhawatiran masyarakat sangat beralasan karena Tiongkok merupakan negara yang menjadi sumber pandemi Covid-19 yang kini sudah menyebar ke lebih dari 200 negara dan teritori. 

  1. Perppu Melanggar Asas Keadilan (Pasal 6 ayat (1) huruf g) & Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan (Pasal 6 ayat (1) huruf h)

Perpu 1/2020 dianggap melanggar asas keadilan dalam pembuatan (pengganti) undang-undang karena memberi sebagian warga negara hak imunitas hukum: tidak dapat dituntut secara perdata maupun pidana, serta tidak dapat diajukan kepada peradilan tata usaha negara.

Di dalam Perpu ini banyak celah moral hazard dalam implementasinya. Sebab banyak kewenangan tambahan dan kekebalan hukum (imunitas) bagi para pengambil kebijakan dalam melaksanakan kebijakan tersebut, seperti ketentuan bagi Bank Indonesia. Misalnya meminta BI membeli Surat Berharga Negara (SBN) di pasar perdana. Padahal, ini dilarang UU BI. Namun, Perppu No.1/2020 tersebut membolehkannya. Aturan yang membolehkan BI bisa membeli SBN di Pasar Primer sangat membahayakan. Selama ini BI hanya diperbolehkan membeli SBN di Pasar Sekunder.

Perppu ini bisa disalahgunakan seperti kasus BLBI dahulu saat krisis moneter menjerat negeri ini. Menurut hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 2000, BLBI merugikan negara Rp 138,442 triliun dari Rp 144,536 triliun BLBI yang disalurkan. Kredit itu diberikan kepada 48 bank dengan rincian 10 bank beku operasi, 5 bank take over, 18 bank beku kegiatan usaha, dan 15 bank dalam likuidasi.  Ketika itu, uang BI dikuras untuk menyehatkan perbankan yang katanya mengalami rush tetapi kenyataannya cuma modus dari para pemilik bank untuk mendapatkan dana segar untuk menyelamatkan grup usahanya.

Perpu ini juga bisa mengulangi sejarah Century. Pemberian FPJP dari BI ke Bank Century yang menyebabkan kerugian negara Rp 689,394 miliar. Nilai tersebut merupakan keseluruhan penyerahan FPJP dari BI ke Century. Proses penetapan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik, merugikan keuangan negara Rp 6,742 triliun. Dengan Perpu ini tidak menutup kemungkinan kejahatan dibidang perbankan akan terulang kembali.

Kebijakan di Bidang Perpajakan dalam Pasal 4 ayat (1) huruf d, menyebutkan pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan untuk memberikan fasilitas kepabeanan berupa pembebasan atau keringanan bea masuk dalam rangka penanganan kondisi darurat serta pemulihan dan penguatan ekonomi nasional. Dari ketentuan pasal ini dapat diduga untuk memuluskan usaha korporasi besar dengan memberikan keringanan pajak bagi korporasi-korporasi itu. Padahal Pajak dan pungutan lain yang bersifat memaksa untuk keperluan negara diatur dengan UU, Pasal 23 A UUD Tahun 1945. Artinya harus dibahas dan disetujui oleh DPR.

Pemerintah berhak menetapkan defisit keuangan sampai tahun 2023, yang artinya boleh menutup pembiayaan dengan utang luar negeri melampaui 3% dari total Produk Domestik Bruto (PDB) dalam setahun. Artinya untuk menghadapi krisis Pemerintah berhak menutup pembiayaan melebihi 3% selama krisis, namun batas maksimalnya tidak disebutkan.

Pemerintah berhak melakukan realokasi Anggaran program stimulus dengan memanfaatkan dana dari Saldo Anggaran Lebih (SAL), dana pendidikan, dana abadi, dana Badan Layanan Umum (BLU), hingga dana yang berasal dari pengurangan penyertaan modal negara (PMN) pada BUMN. Namun sangat ironis alokasi anggaran untuk infrastruktur dan  Pemindahan Ibu kota, tidak alihkan untuk pembiayaan menghadapi serangan Covid-19.

Dan, seperti dijelaskan di atas, moral kekuasaan tidak boleh hanya diserahkan pada niat, iktikad ataupun sifat-sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang memegangnya. Kekuasaan tetap harus diatur, dibatasi dan diawasi betapapun baiknya seseorang. 

  1. Perppu Melanggar asas Ketertiban dan kepastian hukum (Pasal 6 ayat (1) huruf i)

Perpu  1/2020 ini melanggar asas ketertiban dan kepastian hukum dengan membuat besaran defisit pada APBN tanpa batas, serta memberi imunitas hukum kepada semua pihak tersebut dalam Perpu 1/2020 yang tercantum pada Pasal 27, yang sebenarnya melanggar UUD NRI dan TAP MPR serta UU Pemberantas Tindak Pidana Korupsi.

Oleh karena itu, Perpu 1/2020 ini membahayakan ketertiban dan kepastian hukum dengan membiarkannya melanggar peraturan perundang-undangan di atasnya (UUD NRI dan TAP MPR) dan UU lainnya yang setara kedudukannya. 

  1. Perppu Melanggar Asas Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan (Pasal 6 ayat (1) huruf j)

Perpu ini dinilai melanggar asas keseimbangan, keserasian dan keselarasan karena Perpu  1/2020 secara eksplisit lebih terfokus kepada satu golongan tertentu yaitu korporasi dan sektor keuangan. Tetapi Perpu 1/2020 sama sekali tidak menyentuh (silent) kelompok masyarakat yang memerlukan fasilitas kesehatan yang memadai bagi pasien Covid-19. Perpu 1/2020 tidak memuat aspek penanganan kesehatan dan penanggulangan pandemi Covid-19 yang menjadi satu-satunya sumber dasar pertimbangan pembentukan Perpu.

  1. Menghilangkan Kekuasaan Lembaga-Lembaga Negara Lainnya

Boleh dikatakan bahwa Perpu sangat “berkuasa”, karena bisa membatalkan fungsi dan kewenangan lembaga negara yang dibentuk berdasarkan UUD. Lembaga Negara Inti seperti DPR, BPK dan badan Kekuasaan Kehakiman tidak dapat menjalankan fungsi dan kewenangannya dengan Perppu ini.

Padahal dalam teori cabang kekuasaan, kita mengenal Eksekutif, Legislatif dan Yudikatif, semua masing-masing bertindak menurut ketentuan hukum yang berlaku. Namun dengan Perppu ini tidak memberikan kesempatan check and balances antara tiga cabang kekuasaan tersebut. Artinya bahwa kekuasaan Presiden memiliki kekuasaan yang besar yaitu kekuasaan Legislatif, Eksekutif, dan yudikatif

Pemerintah atau pejabat seperti Menteri, KSSK, OJK dan lain-lain yang disebutkan dalam Perpu itu, berhak dengan kekuasaan menetapkan secara sepihak defisit maupun realokasi anggaran, tanpa ada persetujuan dari DPR.

Padahal Dalam UU No 17/2014 yang diubah dengan UU 13/2019 tentang MPR, DPR, DPRD, DPD (MD3) Pasal 177 huruf c. DPR dalam melaksanakan wewenangnya dapat melakukan kegiatan pembahasan laporan realisasi APBN semester pertama dan 6 (enam) bulan berikutnya; penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan dalam rangka penyusunan perkiraan perubahan atas APBN tahun anggaran yang bersangkutan.

Apabila terjadi perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan dalam APBN; perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal; keadaan yang menyebabkan harus dilakukannya pergeseran anggaran antar-unit organisasi; dan/atau; keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan untuk pembiayaan anggaran tahun berjalan;.

Prosedur Perundang-undangan jelas, dan APBN itu sesuai Pasal 180 ayat (6) UU MD3 “APBN yang disetujui oleh DPR terperinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, dan program”. Kebijakan APBN itu sudah terperinci tidak bisa dibuatkan peraturan seperti yang dijadikan alasan dalam Pasal 1 Perpu 1/2020 itu.

Kalau terjadi perubahan asumsi ekonomi Pemerintah tidak dapat mengambil kebijakan sendiri, tetap harus melalui DPR. Ketentuan Pasal 182 UU MD3 jelas dan terang bahwa harus melalui APBN Perubahan, bukan membuat peraturan yang setingkat UU dengan alasan menyelamatkan ekonomi, padahal ada prosedur hukum yang jelas yang harus ditempuh.

Intinya adalah bahwa pembuatan Perpu seyogyanya  harus senantiasa memperhatikan peran DPR untuk:

  1. melakukan pengawasan yang ketat dalam menentukan adanya suatu keadaan kegentingan yang memaksa;
  2. membentuk kekuasaan untuk mengatasi keadaan darurat itu;
  3. memantau pelaksanaan kewenangan pemerintah (eksekutif) untuk mengatasi keadaan yang tidak normal tersebut;
  4. menyelidiki berbagai penyimpangan atau penyalahgunaan kewenangan dalam keadaaan darurat tersebut;
  5. apabila diperlukan menyatakan berakhirnya masa keadaan darurat atau meminta kepada Presiden untuk menyatakan mengakhiri keadaan darurat tersebut.

Perpu ini juga menghilangkan Kekuasaan Kehakiman yang merupakan kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan Peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan” (Pasal 24 (1) UUD), tidak dapat berbuat apa-apa dengan terbitnya Perppu ini.

Selain itu Perpu ini juga menghilangkan kewenangan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang diberi amanat oleh Pasal 23 E UUD. Di pasal 23E, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) diberi mandate untuk memeriksa pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara secara bebas dan mandiri. Dalam melaksanakan tugasnya, BPK wajib memberi pendapat atas hasil pemeriksaannya apakah wajar atau terjadi penyimpangan yang merugikan keuangan negara. 

  1. Menganulir Beberapa UU Lain

Perpu No. 1 Tahun 2020 ini juga banyak menganulir beberapa ketentuan di UU lain (Omnibus Law) Seperti UU Keuangan Negara, UU MD3, UU Perbendaharaan Negara, UU Perpajakan, UU Perimbangan Keuangan Pusat-Daerah, UU Bank Indonesia, UU OJK, UU LPS, UU Pemerintah Daerah, UU Kesehatan, UU Desa, UU APBN 2020 dan UU Pencegahan dan Penanggulangan Krisis. Sepertinya ada upaya untuck sentralisasi kekuasaan kepada kewenangan eksekutif yang sangat besar dan hal ini berpotensi terjadinya penyalahgunaan kekuasaan yang berimplikasi pada munculnya sikap otoriter pemerintah yang berkuasa.

Bagaimana Sebaiknya ?

Berdasarkan uraian sebagaimana dikemukakan diatas, menurut hemat kami belum waktunya Pemerintah mengeluarkan Perppu No. 1 Tahun 2020 karena persyaratan untuk keluarnya, Perlu sesuai dengan Keputusan MahKamah Konstitusi (MK) melalui Putusan Nomor 138/PUU-VII/2009 tanggal 8 Februari 2010 tidak terpenuhi.

Selain tidak terpenuhinya syarat dikeluarkannya Perpu, Perpu ini juga tidak memenuhi unsur pembentukan peraturan perundang undangan sebagaimana diamanatkan oleh pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Oleh karena itu sudah sepantasnya kalau DPR nantinya menolak untuk menyetujui Perpu ini menjadi Undang Undang. Karena selain dapat menciptakan pemerintahan eksekutif yang tidak terkontrol, juga meniadakan kewenangan lembaga penegak hukum, serta tidak menghargai konsep negara hukum dan persamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan bagi setiap warga negara.

Disetujuinya Perpu ini berarti DPR menyetujui adanya pembentukan suatu pemerintahan yang otoriter dengan kewenangan jumbo yang merugikan semua pihak sehingga berpotensi akan akan mengulang kembali kesalahan kesalahan dimasa lalu tekait penyimpangan penyimpangan yang terjadi karena mendapatkan legitimasi secara yuridis.

Para penumpang gelap dikhawatirkan akan memanfaatkan kesempatan untuk menanggguk keuntungan sebesar besarnya melalui Perpu ini karena merasa mendapatkan alas hukum untuk melakukan penyimpangan penyimpangan. Berkaca dari pengalaman masa lalu, urusan pemeritahan tidak bisa diserahkan kepada  niat baik, iktikad ataupun sifat-sifat pribadi seseorang yang kebetulan sedang memegangnya. Kekuasaan tetap harus diatur, dibatasi dan diawasi betapapun baiknya seseorang.

Patut di duga bahwa Perpu ini muncul sebagai bagian dari upaya untuk peluang“cuci tangan” karena ketidakmampuannya mengurus ekonomi yang berujung pada melebarnya defisit anggaran yang harus ditutup dengan utang.  Akibat cara mengurus ekonomi yang tidak benar menyebabkan terancamnya stabilitas keuangan.  Kebetulan ada pandemic corona sehingga pemerintah bisa menumpang wabah ini untuk mengeluarkan peraturan yang mengunguntungkannya guna menutupi ketidakmampuannya.

Kondisi keuangan negara yang buruk itulah sebenarnya yang menjadi penyebab gagapnya pemerintah menghadapi merebaknya wabah virus corona di Indonesia. Karena sebenarnya tanpa pandemi coronapun, kondisi ekonomi Indonesia sudah terancam krisis sebagaimana sinyalemen yang  sering dilontarkan oleh ekonom senior Rizal Ramli.

Oleh karena itu menurut hemat kami Perppu ini tidak relevan dengan kondisi darurat kesehatan nasional yang sedang dialami oleh Indonesia saat ini dan karenanya sudah sepantasnya untuk ditolak menjadi Undang Undang karena akan lebih banyak mudharatnya daripada manfaatnya.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar