Jalan Hidup Pelukis Neif dari Paria ke Milioner Karyanya Diburu Orang

Minggu, 05/04/2020 13:28 WIB
Karya Pelukis beraliran Fauvisme, Arifien Neif (Ist)

Karya Pelukis beraliran Fauvisme, Arifien Neif (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Jalan hidup seniman, kerapkali tak bisa diduga. Demikianlah dengan pelukis Arifien atau Neif, kebalikan dari ‘fien’, kelahiran Surabaya, tahun 1955. Pelukis otodidak ini sekarang tergolong pelukis papan atas Indonesia, yang lukisannya selalu laris manis tanjung kimpul. Tahun 2008 saja, sebuah lukisannya bertajuk “Will You Marry Me”, yang berukuran 140 x 180 cm, terjual seharga US$ 100.000. Itu adalah satu dari puluhan lukisannya pada pameran di Museum Nasional Singapura yang terjual ludes.

Lukisannya dibanderol paling rendah Rp 120 juta. Menjadi koleksi kalangan jetset Indonesia, bahkan luar negeri. Sejak tahun 1995, lukisan Neif sudah menjadi lot favorit dalam lelang Christie’s dan Southeby’s. Biro lelang nasional seperti Larasati, Masterpiece, Balindo, Borobudur, sampai Sidharta, pun merasa kurang apabila tak melelang karya Arifien.

Jean Couteau, seorang kurator pameran, menyebut Neif sebagai ‘phenomenon’. Ia menempati posisi yang aneh di dunia seni rupa Indonesia. Selain tak punya latar belakang sekolah seni rupa, gaya lukisannya pun berbeda dari kecenderungan yang tengah berkembang. Khas dan original. Namanya tercatat dengan terhormat dalam konstelasi seni rupa Indonesia. Padahal dia hanya seorang seniman otodidak, (yang pada hakekatnya memiliki hak yang sama, bahkan bisa memiliki naluri kreativitas yang lebih).

Tapi tak banyak yang tahu Neif pernah menjalani hidup yang menyeramkan. Berawal pada tahun 1974, tak ingin menjadi beban orangtua yang hidup susah, anak pertama dari 12 bersaudara ini minggat dari rumahnya di Surabaya. Ia tinggalkan pendidikannya di SMA Frateran, nekat merantau ke Jakarta, dengan modal sepotong baju dan celana, serta beberapa kaleng kecil cat yang hampir mengering, pensil, dan kuas.

Ia menggelandang, menyusur jalanan Jakarta. Tanpa tujuan, kecuali satu: Bagaimana cara mengisi perut yang lapar. Ketika malam turun, ia tidur di emper-emper toko, kios pasar, atau masjid. Sampai akhirnya ia terdampar di emperan toko di kawasan Pecenongan, yang ketika sore hari, tempatnya menggelar alas tidur, ditempati sebuah warung tenda.

Maka, saban tengah malam, sebaik warung itu tutup, Neif pun segera mengais makanan sisa yang dibuang di tong sampah warung itu. Tapi ia tak sendirian memburu makanan sisa itu. Seekor anjing kampung menjadi temannya berbagi dan menikmati. "Derajat saya pada waktu itu sudah sama dengan anjing..," tuturnya mengenang. Begitulah setiap hari.

Jika waktu tidur tiba, Neif mengeluarkan pensilnya. Di keremangan malam, digambarnya sang anjing di atas lembaran kertas. Ia melukis. "Itu satu-satunya hiburan yang membahagiakan saya," katanya. Selesai melukis, kertas itu ia remas, dan buang.

Mengambil hati si pemilik warung, Neif rajin membersihkan tempat dagangan itu. Ia pun mendapat upah sepiring nasi. Malah kemudian ditawari membantu di warung itu. Sembilan bulan ia bekerja di sana. Jika warung libur, ia bekerja sebagai kuli angkut.

Suatu hari, ketika ia hendak makan ke sebuah warung, anjing kampung yang pernah menjadi temannya berbagi makanan sisa, mengikutinya dari belakang. Seketika Neif tercenung, ia berpikir: “Nasibku sudah berubah, tapi nasib anjing itu tidak,". Dengan rasa haru, si anjing yang lapar itu ia beri sepotong daging. "Itu pengalaman emosional saya yang amat fundamental!," ujar Neif dengan mata berkaca.

Tak hendak melupakan kawan senasib itu, kelak, anjing itu selalu menjadi ikon pada setiap lukisannya. Di beberapa sudut kanvasnya ia lukiskan sosok kawannya itu. “Itulah cara saya mengungkapkan terima kasih dan upaya untuk terus mengingat dan bercermin pada masa lalu”, ujar Neif. (Ist)

Berikutnya, Neif menjadi tukang batu di proyek pembangunan Hotel Hilton. Ditengah kesibukan mengaduk semen ia rajin membuat sketsa di atas potongan-potongan kertas semen. Sketsa-sketsa itu ditempelnya di dinding bedeng proyek tempat ia tidur, makan, dan termenung-menung memikirkan langkah hidupnya. Sketsa-sketsa itu antara lain bergambar teman-temannya yang sedang bekerja. Rekan-rekannya sesama kuli bangunan terbengong-bengong melihat aktivitasnya itu.

Dari pekerja kasar, ia kemudian menjadi tukang halus. Pekerjaannya mulai memasuki ruangan. Memasang ubin, komponen interior, mengatur karpet-karpet di bangunan hotel. Ide-ide kreatif Neif semakin berkembang. Sisa-sisa potongan karpet ia buat menjadi kolase yang artistik. Dinding bedengnya semakin meriah.

Budiman Sumanang, seorang konsultan interior tertarik melihat karyanya, lalu mengajak Neif membantunya. Neif lantas bekerja sebagai asisten bergabung dengan kelompok kerja yang menangani desain interior. Ia pun memperoleh banyak ilmu dari sana. Dikemudian hari, pengalaman ini memberi pengaruh yang kuat pada detail interior dalam lukisannya.

Beberapa waktu bekerja di perusahaan interior itu, terbuka jalan bagi karier melukis Neif. Ia mulai dikenal sebagai seorang yang bisa melukis. Sampai akhirnya ia bertemu dengan Obin, pemilik galeri batik Bin House di Jalan Panarukan, Menteng. Obinlah kemudian yang menjadi manajer pertama Neif. Setiap kali membutuhkan uang, Neif menyetor lukisan, Obin menjualkannya ke kalangan pejabat.

Neif mengaku, ketika itu, ia segera membuat lukisan jika sudah mendengar ‘teriakan-teriakan’, berupa desakan kebutuhan biaya sekolah adik-adiknya, juga biaya sewa rumah. "Itulah yang mendorong saya untuk terus melukis dan menyetor lukisan. Jumlahnya, ya, tergantung teriakan-teriakan itu," ujarnya. Jika butuh uang cepat, dalam seminggu ia menyetor sampai dua-tiga kali. Lalu kasir Obin memberinya uang Rp 150.000.

Tahun 1979, Bin House pertama kali memamerkan lukisan si tukang batu, yang dibuka oleh Pia Alisyahbana. Neif pun mulai dikenal. Tahun 1980 pameran lagi ditempat yang sama, sambutan kolektor mulai tak terbendung. Namanya segera melambung.

Pada 1985, Neif yang mengagumi lukisan Affandi dan Sudjojono itu, berpameran di Gedung Mitra Budaya. Peminat lukisannya makin meluas. Namanya mulai diperhitungkan. Pertama kali Neif berpameran tunggal di luar negeri, ialah di Lorin & Kristy Art Gallery, Singapura, tahun 1995. Berlanjut merambah sampai ke Italia, Jepang, hingga Los Angeles, California, Amerika Serikat. Tapi Neif yang rendah hati itu menyatakan ketenaran itu bukan tujuan hidupnya. "Saya tidak pernah terpikir ke arah sana," tuturnya merendah. "Saya melukis itu karena senang saja," katanya.

"Saya mengembangkan gaya dan warna sendiri,” ujar Neif, yang lukisannya menurut pengamat disebut beraliran ‘fauvisme’. Namun Neif tak ambil pusing soal itu. Biasanya satu lukisan bisa ia selesaikan dalam seminggu, dengan ukuran ratusan sentimeter. “Biasanya saya melukis diwaktu pagi”, tuturnya. Ia biasa tidur pukul delapan malam. Subuh ia bangun.

"Sedapat mungkin, saya menjaga, jangan sampai ada kata-kata yang bisa merusak suasana," paparnya. “Saya memutar lagu yang saya suka. Merenung sejenak. Dan mulailah proses kreatif saya melukis”. Bebeapa tema ia bangun dalam priode melukisnya. Awalnya tema spiritual. Berganti dengan tema psikologi. Belakangan ia mengusung tema cinta.

Setelah sekian waktu berumah di Menteng, Neif kini bermukim di Ciganjur. Di atas tanah seluas 8.000 meter persegi, ia membangun desa kreatif Chandari. Ia mendirikan padepokan di sana, untuk memberi ruang kreatif bagi orang-orang kampung sekitarnya.

Itulah jalan hidup Arifien, atawa Neif. Berliku penuh tantangan dan cobaan tetapi dia survive dan sekarang eksis sebagai pelukis kesohor di Indonesia dan luar negeri.

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar