Dr. M. Yusuf Suseno, SpJP.

Seperti Apa Nasib Indonesia, Lebih Baik Atau Lebih Buruk dari Italia?

Senin, 23/03/2020 15:06 WIB
Astaga! Italia Jadi Ladang Kematian Corona Terbanyak Kedua Dunia. (Indonesiainside).

Astaga! Italia Jadi Ladang Kematian Corona Terbanyak Kedua Dunia. (Indonesiainside).

Jakarta, law-justice.co - Maaf kalau judul tulisan ini terkesan memprovokasi. Tapi terus terang saya geram bukan main. Karena sampai hari ini, masih saja banyak orang yang meremehkan wabah Covid-19.

Bahkan ada beberapa orang di sekitar saya yang meremehkan bahaya pandemi Covid- 19 dengan alasan bahwa obat dari Covid-19 sudah ditemukan. Seakan dengan obat Chloroquin dan Avigan (Favipiravir) yang sebentar lagi didatangkan besar- besaran ini, ada kepastian bahwa pasien Covid-19 akan sembuh. Ah, sebagai dokter, saya sangat berharap angan- angan ini bisa terwujud. Tapi saya tahu, kalau ada banyak sekali faktor yang mempengaruhi kesembuhan seorang pasien.

Korea Selatan, sebagai salah satu negara yang terbilang berhasil mengatasi wabah Covid-19, masih belum mau menggunakan Avigan sebagai salah satu terapi untuk pasien Covid-19. Mereka masih menunggu penelitian lebih lanjut terkait efek samping Avigan pada binatang coba. Ini menunjukkan bahwa obat ini bukan segala-galanya. (https://en.yna.co.kr/view/AEN20200316002400320)

Berikut adalah kuliah Profesor Stefano Nava, Chief of Respiratory and Critical Care Unit dari Bologna Italy dalam sebuah telekonferens yang bisa diakses di youtube (link : https://youtu.be/rMT97toZNJw).

Prof Nava mulai berbicara di menit ke 21:54. Jika kita mau mendengarkan (dan ini kadang susah dilakukan oleh kita), kuliah beliau akan menyadarkan kita bahwa wabah Covid-19 ini sangatlah serius. Kasus kematian yang tinggi di Iran mungkin karena fasilitas kesehatan Iran yang terbatas akibat embargo Amerika. Tapi bagaimana dengan Italia, salah satu negara dengan fasilitas kesehatan terbaik di dunia?

Berikut terjemah bebas dari sebagian kuliah Prof Stefano Nava dengan istilah medis yang sebagian saya awamkan.

“Saat pandemi mulai terjadi, kami hanya menangani, sebagian besar pasien dengan usia lanjut dengan banyak penyakit penyerta sebelumnya. Dalam 3 minggu pertama, rata- rata berusia 75 tahun. Biasanya dengan hipertensi, obesitas dan atau diabetes. Tetapi pada seminggu sampai 10 hari terakhir, gambarannya berubah. Saat ini semakin banyak pasien usia muda yang masuk dalam kondisi kritis. Di unit kami ada pasien 30 tahun yang sebelumnya sangat - sangat sehat. Dan begitu pula saat ini makin banyak pasien kritis yang berusia 40-50 tahun. Mereka yang berusia tua tetap ada, tapi epidemiologinya sangat berubah dalam 7 - 10 hari.”

“Saat ini fenotipe pasien juga berubah. Pada mulanya kami masih punya waktu 2,3, sampai 4 hari untuk melihat apakah seorang pasien akan berespon baik atau tidak terhadap pengobatan. Tapi 10 hari terakhir ini tidak. Sekarang pasien memburuk sangat- sangat-sangat cepat (beliau menyebut kata ‘very’ 3 kali). Seperti seakan sebelumnya Anda melihat pasien ini masih bisa membaca surat kabar, tapi tiba-tiba dalam 3,4, sampai 5 jam kemudian tiba-tiba pasien tersebut harus dilakukan intubasi (pemasangan selang untuk mesin alat bantu napas lewat mulut). Sekarang pasien kami memburuk sangat- sangat cepat dan tak terduga. Jika 12 sd 24 jam sebelumnya pasien datang ke RS dalam kondisi stabil dengan kadar oksigen 94 %, tapi tiba-tiba saja mereka memburuk dan jatuh dalam kondisi kritis ‘gagal napas’ yang berat.”

“Perlu diketahui, Italia memiliki problem yang berbeda dengan China. Di Eropa, Italia memiliki kebutuhan ruang perawatan intensif yang paling sedikit dibanding negara lain. Sepersepuluhnya dibanding Amerika. Dan ini menyebabkan saat pandemi terjadi ruang rawat intensif kami segera penuh dalam waktu sangat singkat. Kami terpaksa merawat pasien di ruang UGD, ruang operasi, bangsal bedah, bangsal THT, semua tempat yang ada di RS.”

“Contohnya adalah di RS di tempat saya bekerja. Dengan 60 tempat tidur ICU dari 1250 tempat tidur RS, maka ICU kami sangat cepat penuh dan akhirnya kami harus merawat pasien kritis di bangsal. Di sinilah keputusan untuk melakukan intubasi, misalnya pada pasien yang sangat tua menjadi dipertanyakan. Dan kami melihat trend penurunan usia pada kebijakan “Tidak usah intubasi” pada pasien yang sebenarnya membutuhkan (yang artinya membiarkan pasien tersebut meninggal).”

“Mula-mula kami tidak melakukan intubasi pada pasien usia lebih dari 80 tahun, tapi kemudian turun menjadi 75 tahun, dan turun lagi hingga maksimal usia 70 tahun. Ini sangat menakutkan.. “

“Kami harus memutuskan apakah seorang pasien yang dalam kondisi ‘gagal napas’ harus kami masukkan ke ICU dan dipasang ventilator (mesin alat bantu napas) atau tidak (yang akhirnya berarti membiarkan pasien tersebut meninggal) berdasar usia dan kemungkinan ia akan bertahan hidup. Ini sangat menakutkan...”

Akankah nasib Indonesia lebih baik atau lebih buruk dari Italia? Jika masyarakat kita masih menganggap enteng wabah ini, jika Pemerintah masih kurang tegas pada mereka yang melanggar aturan “social distancing”, maka bisa saja kita akan berakhir lebih buruk. Perlukah opsi “lockdown’ dilakukan di sini seperti di Italia dan negara-negara lain? Jawabannya adalah entah, dan pasti menuai perdebatan panjang seperti di TV.

Jadi, cara paling mudah adalah dengan menghitung jumlah tempat tidur ICU di RS terbaik di kota tempat kita tinggal. RS terbaik dengan dokter-dokter terbaik. Berapa jumlah bed ICU di sana? Mungkin ada sepuluh, bisa saja 20, atau bahkan 30 bed. Tapi apakah itu cukup? Jika bahkan di RS Prof Stefano Nava dengan 60 tempat tidur ICU saja dokter tetap harus memilih, pasien mana yang diperjuangkan dan mana yang harus dibiarkan meninggal..

Akankah kita satu hari harus merelakan paman, bibi, bahkan ayah atau ibu kita meninggal di depan mata kita tanpa pertolongan yang layak karena ICU yang penuh? Bagaimana jika ternyata bahkan kita sendiri yang terinfeksi dan tiba-tiba memburuk dalam hitungan jam sedangkan ICU penuh? Hanya waktu yang bisa menjawab...

Tulisan ini saya persembahkan untuk seluruh bangsa Indonesia. Semoga Allah menolong kita. Hanya saja, ingatlah wahai saudaraku, Allah tidak akan mengubah nasib suatu kaum yang tidak berusaha mengubah apa yang ada pada diri mereka...

 

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar