Infrastruktur dan Utang, Corona, Ekonomi Jatuh dan Impeach Presiden?

Sabtu, 07/03/2020 10:24 WIB
Presiden Jokowi (Merdeka)

Presiden Jokowi (Merdeka)

Jakarta, law-justice.co - Kalau kebetulan ada yang bertanya kepada pendukung pemerintah, keberhasilan apa yang paling bisa dibanggakan dari pemerintah yang sekarang berkuasa maka jawabannya hampir pasti keberhasilan dibidang pembangunan infrastruktur dan bukan yang lainnya. Pembangunan infrastruktur memang menjadi program utama pemerintah Jokowi, khususnya pada periode pertama.

Di era Jokowi, beliau berani mengambil tindakan tidak populis yakni memangkas subsidi dan mengalihkan anggaran ke pembangunan infarstruktur yang menjadi program andalannya. Rezim Jokowi berpikir dengan memajukan infrastruktur maka ekonomi akan tumbuh 7%, meskipun kenyataannya selama 5 tahun pemerintahanannya pertumbuhan ekonomi hanya berkisar di angka 5% saja.  Prestasi ini masih kalah jauh dengan jaman SBY dimana pertumbuhan ekonomi hampir menyentuh 7% setiap tahunnya.

Pembangunan infrastruktur yang jor-joran ternyata memang tidak berdampak langsung pada ekonomi rakyat pada umumnya. Selama periode pertama kepemimpinan Presiden Jokowi, orang akan menilai kemajuan infrastrukturnya yang melesat, namun di sisi lain hutang membengkak mencapai Rp 5000 triliun lebih hingga membebani anggaran pendapatan belanja negara.

Model pembangunan infrastruktur seperti apa yang sekarang dijalankan oleh pemerintah yang sedang berkuasa ?. Sejauhmana pembangunan infrastruktur itu memberikan dampak positif bagi rakyat Indonesia ?. Apakah pembangunan infrastruktur itu tidak mengancam kedaulatan negara kita ?. Mungkinkah Presiden jatuh karena program infrastruktur yang dicanangkannya ?

Pembangunan Infrastruktur Era Jokowi

Indonesia akhir-akhir ini memang tengah mengejar ketertinggalan pembangunan infrastruktur, sehingga pembangunan infrastruktur dilakukan dimana mana. Proyek-proyek infrastruktur di berbagai penjuru Tanah Air dibangun secara masif, mulai dari jalan tol, jembatan, bendungan, pembangkit listrik, bandara, kereta api dan yang lain lainnya.

Di tahun 2019, anggaran belanja infrastruktur mencapai Rp 420 triliun. Angka ini meningkat sebesar 157% dari tahun 2014 yang hanya Rp 163 triliun. Membangun infrastruktur di seluruh penjuru negeri, tidaklah mudah. Namun, melalui kerja keras dan tekad yang bulat, pemerintah berhasil melakukan berbagai macam pembangunan infrastruktur bagi rakyatnya.

Lantas, apa saja sih hasil pembangunan infrastruktur selama ini? Berikut data hasil pembangunan infrastruktur dari Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) dikutip CNBC Indonesia, Kamis (14/2/2019) :

  1. Bendungan

Sejak tahun 2015 sampai 2018, pemerintah telah membangun 55 bendungan. 14 bendungan telah selesai, sementara 41 lainnya masih dalam proses pengerjaan. Di tahun 2019 ini, pemerintah masih akan membangun 10 bendungan lagi, sehingga nantinya total bendungan yang terbangun pada masa pemerintahan Presiden Jokowi mencapai 65 bendungan. 

  1. Irigasi

Sama seperti bendungan, pada tahun 2015 pemerintah memulai pembangunan jaringan irigasi. Hingga tahun 2018, jaringan irigasi yang telah terbangun yakni, 865.389 Hektar (Ha). Di tahun 2019 ini, pemerintah masih akan membangun jaringan irigasi seluas 139.410 Ha lagi, dengan demikian total akumulasi jaringan irigasi yang terbangun nantinya, mencapai 1.004.799 Ha.

  1. Embung

Pada tahun 2015 sampai 2018, pemerintah telah membangun embung sebanyak 942 buah. Di tahun 2019 ini, pemerintah akan membangun 120 embung lagi, yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Dengan demikian nantinya, total embung yang terbangun mencapai 1.062 buah.

  1. Jalan

Total pembangunan jalan nasional dari tahun 2015 sampai 2018, sepanjang 3.387 Kilometer (Km). Pembangunan jalan nasional pun masih berlanjut hingga tahun 2019, dengan penambahan 732 Km lagi, jadi total jalan nasional yang telah terbangun nantinya, mencapai 4.119 Km.

      5. Jalan Tol

Menyadari pentingnya jalan tol bagi pengiriman logistik, pemerintah terus mengebut pembangunannya mulai tahun 2015. Sampai tahun 2018, jalan tol yang telah terbangun sepanjang 782 Km. Pembangunan terus berlanjut hingga saat ini, pemerintah menargetkan pembangunan jalan tol tahun 2019 sepanjang 1.070 Km. Total pembangunan jalan tol nantinya, di masa pemerintahan Presiden Jokowi mencapai 1.852 Km.

  1. Jembatan

Dalam kurun waktu 2015 sampai 2018, jembatan yang telah terbangun sepanjang 41.063 meter (m). Di tahun 2019 ini, pemerintah masih akan membangun jembatan sepanjang 10.029 m lagi, nantinya total panjang jembatan yang terbangun mencapai 51.092 m.

  1. Jembatan Gantung

Sesuai dengan nawacita Presiden Jokowi, yang ingin membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, maka pemerintah mulai tahun 2015 sampai 2018 telah membangun 164 unit jembatan gantung. Di tahun 2019, pemerintah masih akan membangun 166 unit jembatan gantung lagi. Total jembatan gantung yang terbangun nantinya, mencapai 330 unit.

  1. Sistem Penyediaan Air Minum

Pada tahun 2015 sampai 2018 pemerintah telah berhasil meningkatkan akses air minum layak, melalui pembangunan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM), dengan kapasitas total 21.500 Liter per detik (Lt/dtk). Untuk tahun 2019, pemerintah masih akan membangun SPAM tambahan, sebesar 3.173 Lt/dtk. Nantinya, total SPAM yang terbangun mencapai 24.673 Lt/dtk.

  1. Sanitasi dan Persampahan

Tahun 2015 sampai 2018 pemerintah telah merealisasikan penanganan sanitasi dan persampahan sebanyak 9,8 juta Kepala Keluarga (KK). Pada tahun 2019, pemerintah menargetkan penambahan penanganan sanitasi dan persampahan sebanyak 2,6 juta KK. Dengan demikian, total penanganan sanitasi dan persampahan mencapai 12,4 juta KK.

  1. Penanganan Kawasan Kumuh Perkotaan

Sejak tahun 2015 sampai 2018, pemerintah telah berhasil menangani 23.407 Ha kawasan kumuh di perkotaan. Pemerintah masih punya PR di tahun 2019 untuk menangani 888 Ha kawasan kumuh. Jika berhasil terpenuhi, maka total penanganan kawasan kumuh nantinya mencapai 24.295 Ha.

  1. Pembangunan Pos Lintas Batas Negara

Pemerintah telah membangun 7 Pos Lintas Batas Negara (PLBN), yang tersebar di 7 lokasi perbatasan, di 7 kabupaten/ kota, dan 3 provinsi, dalam kurun waktu 2015 sampai 2018. Tahun 2019, pembangunan PLBN masih berlanjut, dan akan ada 4 unit lagi. Seluruh PLBN yang terbangun telah dilengkapi dengan pasar dan sarana-pra sarana pemukiman dasar lainnya.

  1. Venue Asian Games

Indonesia telah berhasil menjadi tuan rumah ajang olahraga terbesar se-Asia. Pasalnya, pemerintah telah membangun 79 venue Asian Games. Bahkan, 33 venue di antaranya tersebar, di mana 18 venue terbangun di DKI Jakarta, 4 venue di Sumatera Selatan, dan 11 venue lainnya di Jawa Barat.

  1. Perumahan

Pemerintah tak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur nasional, tapi juga memberikan tempat tinggal layak huni bagi masyarakat. Dalam kurun waktu 2015 sampai 2018, perumahan yang telah terbangun sebanyak 3.542.318 unit. Di tahun 2019, pemerintah akan membangun 1,25 juta unit perumahan lagi.

  1. Rumah Susun

Pada tahun 2015 sampai 2018, pemerintah telah membangun rumah susun sebanyak 756 tower, dengan total 43.158 unit. Di tahun 2019 ini, pemerintah masih akan membangun sebanyak 137 tower, dengan total 6.873 unit. Dengan demikian, pemerintah telah menyediakan rumah susun bagi masyarakat yang membutuhkan, sebanyak 893 tower, dengan total 50.031 unit.

  1. Rumah Khusus

Pemerintah selalu memperhatikan para anggota TNI-Polri, masyarakat di daerah pedalaman dan daerah tertinggal, nelayan, serta masyarakat yang tinggal di daerah perbatasan. Buktinya, sejak tahun 2015 sampai 2018, pemerintah telah membangun 22.333 unit rumah khusus untuk mereka. Pembangunan akan terus berlanjut hingga tahun 2019, dengan penambahan 2.130 unit rumah khusus. Dengan demikian, pemerintah telah menyediakan rumah khusus sebanyak 24.463 unit.

  1. Rumah Swadaya

Pemberian Bantuan Stimulan Perumahan Swadaya (BSPS) oleh pemerintah telah mencapai 494.169 unit pada tahun 2015 sampai 2018. Hal ini lagi-lagi menjadi bukti keseriusan pemerintah dalam memperhatikan masyarakat miskin. Tidak berhenti sampai di situ, pembangunan BSPS masih berlanjut meski telah memasuki akhir masa jabatan Presiden Jokowi tahun ini, sebanyak 206.500 unit. Dengan demikian, pemerintah telah menyediakan BSPS bagi masyarakat miskin, sebanyak 700.699 unit.

Meski banyak menuai pujian, pembangunan infrastruktur ini tak lepas dari kritikan. Salah satunya disampaikan Bank Dunia melalui laporan bertajuk Infrastructure Sector Assessment Program (InfraSAP).Laporan berbahasa Inggris setebal 344 halaman yang diperoleh CNNIndonesia.com ini telah dikonfirmasi. Bank Dunia mengaku menyusun laporan tersebut bekerja sama dengan pemerintah, tapi belum final.

Dalam laporan tersebut, Bank Dunia menyebut kualitas pembangunan Indonesia rendah, tidak terencana dengan baik. Bank Dunia juga menyebut pembangunan infrastruktur di Indonesia terlalu bergantung pada BUMN sehingga membuat perusahaan negara kebingungan mencari dana.

Ekonom Universitas Indonesia (UI) Fithra Faisal mengakui pembangunan infrastruktur era Presiden Jokowi jauh lebih banyak ketimbang pemerintah sebelumnya. Tak heran, kritik yang datang juga cukup banyak, termasuk dari Bank Dunia."Dengan intensitas pembangunan yang tinggi, wajar bila ada kritik karena memang semakin banyak proyek, itu risiko masalahnya semakin banyak pula," ucap Fithra sebagaimana dikutip CNNIndonesia.com, Selasa (8/1).

Sementara ketika eksekusi pembangunan infrastruktur berjalan saat ini, memang mau tidak mau pemerintahan Jokowi harus rela bila persoalan pembiayaan dan pelaksanaan pembangunan infrastruktur menjadi sorotan. Apalagi proyek yang dibangun memang membutuhkan dana yang tak sedikit dan kerap diserahkan ke BUMN.Tak ketinggalan, pemerintah jadi kerap menggunakan Penyertaan Modal Negara (PMN) untuk menambah daya topang proyek. Hal ini membuat kian banyaknya proyek infrastruktur justru kerap menambah risiko bagi BUMN dan pemerintah.

Senada, Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adinegara menilai wajar juga kritik itu diberikan Bank Dunia. Toh, selama ini sejumlah ekonom sudah pernah mengkritik berbagai proyek infrastruktur pemerintah yang terlalu mengandalkan pada perusahaan negara.

Bahkan, besarnya kebutuhan dana untuk membiayai proyek turut membuat pemerintah ikut-ikut menanggung risiko besar, yaitu dari penerbitan surat utang yang terus meningkat dari waktu ke waktu."Di era Presiden sebelum Jokowi biasanya lebih mengandalkan pinjaman bilateral dan multilateral, sehinga proses feasibility study proyek dilakukan dengan lebih hati-hati, namun butuh waktu yang terlalu lama. Di era Jokowi berubah jadi masif dengan surat utang," jelasnya.

Berdasarkan data Kementerian Keuangan (Kemenkeu), komposisi utang pemerintah sebesar 63,7 persen berupa pinjaman pada 2010. Sisanya sekitar 36,3 persen merupakan utang dari penerbitan Surat Berharga Negara (SBN).

Namun kini, porsi utang dari pinjaman hanya tinggal 17,84 persen, sementara SBN mencapai 82,16 persen."Implikasi dari kurang ketatnya pengawasan pembiayaan ini membuat perencanaan dan pelaksanaan proyek oleh BUMN hanya kebut-kebutan asal, hanya demi proyek selesai dan segera bayar utang. Ini tidak sehat," ungkapnya.

Model pembangunan infrastrukut era Jokowi juga pernah mendapatkan kritikan dari Capres Prabowo Subianto yang sekarang menjadi menterinya. Prabowo Subianto mengatakan pembangunan infrastruktur yang dilakukan oleh calon presiden petahana Joko Widodo tidak efisien. "Banyak infrastruktur yang dikerjakan, dilaksanakan dengan grasah-grusuh.

Tanpa feasibility study yang benar dan ini mengakibatkan banyak proyek infrastruktur yang tidak efisien, yang rugi, bahkan sangat sulit untuk dibayar," papar Prabowo di hadapan Jokowi dalam acara debat di The Sultan Hotel, Jakarta, Ahad (17/2/2019 )  yang lalu.

Terkait dengan hal tersebut, Ketua Masyarakat Infrastruktur Indonesia Harun Alrasyid Lubis mengatakan hal itu antara lain disebabkan adanya penunjukan kepada Badan Usaha Milik Negara (BUMN), alih-alih melibatkan swasta.Menurut Harun Alrasyid, seharusnya pembangunan infrastruktur dilakukan melalui proses tender. Hal itu supaya terjadi kompetisi yang sehat."Khususnya yang infrastruktur lewat Perpres (peraturan presiden), penunjukan BUMN. (Sebagai contoh) LRT karena tidak ada kompetisi atau tender, jadi harga menjadi tidak kompetitif," ujar Harun Alrasyid Lubis sebagaimana dikutip Republika.co.id, Ahad (17/2).

Sementara itu Mantan Sekretaris Kementerian BUMN, Said Didu mengkritik proyek infrastruktur di masa Pemerintahan Joko Widodo. Menurut dia, pembangunan infrastruktur Joko Widodo cenderung diambil secara tiba-tiba, dan tidak sesuai dengan konsep awal. Hal ini dia nilai sebagai bentuk inkonsistensi pemerintah. Proyek pembangunan kereta cepat Jakarta-Bandung misalnya, dia mengatakan awalnya proyek tersebut sudah digagas oleh Jepang, kemudian malah digarap China."Tahu-tahu pindah ke China. Jadi begitu saja, ad hoc instan sehingga semua mengalami masalah di tengah jalan," kata dia, dalam diskusi, di Jakarta, Rabu (13/2).

Mantan Staf Khusus Menteri ESDM ini, mengatakan pemerintah pernah pernah berencana membangun kilang minyak. Namun hingga saat ini program tersebut belum juga terealisasi."Energi ini di awal pemerintahan getol sekali membangun kilang minyak untuk mewujudkan kemandirian energi. Di tengah jalan berbelok. Saya enggak tahu,""Inkonsistensi menyebabkan banyak hal gagal," tegasnya.

Tol laut juga mendapat sorotan. Program yang digadang-gadang pada masa kampanye Presiden Jokowi tersebut, kata dia, kini tak begitu lagi terdengar."Dulu kita terhipnotis akan terjadi tol laut, yang ada malah banyak meresmikan tol darat. Inkonsistensi kebijakan jangka panjang ini yang akan buat rumit ke depan," tandasnya.

Infrastruktur untuk siapa ?

Harus di akui, setiap kebijakan pemerintah tentu bakal mendapatkan tanggapan baik itu positif maupun negatif. Namun, yang paling penting adalah bagaimana dampak kebijakan tersebut terhadap kehidupan masyarakat. Capaian pemerintah bisa dilihat negatif dan positif, tapi yang paling penting melihat tingkat kepuasan publik terhadap kinerja pemerintah selama ini.

Terkait dengan pembangunan infrastruktur, apakah rakyat sudah merasa puas dengan adanya pembangunan infrastruktur tersebut?. Jawabannya tentu bisa beragam tergantung dari sudut mana melihatnya dan siapa respondennya. Yang jelas supaya rakyat puas maka pembangunan infrastruktur harus membawa manfaat bagi mereka. Sejauh ini ada yang menilai bahwa pembangunan infrastruktur belum memberikan manfaat yang optimal bagi rakyat.

Menurut calon presiden (capres) nomor urut 02 Prabowo Subianto yang sekarang menjadi Menhannya pak Jokowi, infrastruktur harus dibangun demi kepentingan rakyat. Oleh karena itu, dia menggarisbawahi pentingnya keterlibatan masyarakat dalam perencanaan pembangunan infrastruktur."Penting untuk mengikutsertakan masyarakat yang terdampak pembangunan infrastruktur dan tetap menghitung (aspek) keekonomian, dampak lingkungan hidup, dan dampak sosial dari pembangunan infrastruktur tersebut," ujar Prabowo Subianto di hadapan Jokowi dalam acara debat di The Sultan Hotel, Jakarta, Ahad (17/2) tahun lalu.

Selain itu, pasangan cawapres Sandiaga Uno itu juga menyebut, pembangunan infrastruktur pada era Jokowi cenderung mengabaikan kepentingan rakyat. Dia pun mengajukan sejumlah proyek yang dianggapnya dapat dijadikan contoh kurang baik."Jadi, ini yang jadi masalah. Infrastruktur harus untuk rakyat. Bukan (justru) rakyat untuk infrastruktur. Eggak bisa. Infrastruktur nanti banyak akan menjadi monumen, tidak bisa dimanfaatkan. Sebagai contoh, LRT di Palembang, Lapangan Terbang Kertajati dan banyak lagi," jelas dia.

Sosiolog dari Universitas Indonesia Thamrin Tomagola mempertanyakan pembangunan infrastruktur besar-besaran pada era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ia menilai, pembangunan infrastruktur ini cenderung menguntungkan pihak swasta atau pengusaha dan merugikan masyarakat. Thamrin mengatakan, saat ini pemerintah tidak mempunyai uang yang cukup untuk membangun infrastruktur sesuai target yang sudah ditetapkan.

Akibatnya, pemerintah terpaksa melibatkan pihak swasta untuk membangun infrastruktur. “Kementerian PU hanya punya 25 persen biaya yang disediakan APBN. Lalu 75 persen lagi dari mana?" kata Thamrin dalam diskusi di Jakarta, Rabu (21/12/2016).

Jika harus meminjam uang dari luar negeri, lanjut Thamrin, pemerintah harus memikirkan bunganya yang sangat besar. Akhirnya, pemerintah melibatkan swasta untuk membangun infrastruktur, seperti bandara dan PLN. Namun, Thamrin khawatir pelibatan swasta justru akan merugikan masyarakat. Sebab, nantinya infrastruktur yang dibangun tersebut akan dikelola swasta yang diyakini akan lebih mementingkan keuntungan daripada pelayanan kepada publik."Yang sudah jelas adalah bandara di Medan, akan dikelola swasta. Harga barang-barang yang dijual di bandara naik. Harga tiket juga disesuaikan. Yang kena masyarakat," ucap Thamrin.

Thamrin meminta Jokowi segera mengoreksi kebijakan dalam pembangunan Infrastruktur. Harusnya, kata dia, kebijakan pemerintah membangun infrastruktur disesuaikan dengan APBN yang dimiliki. "Kalau tidak, ini artinya pembangunan infrastruktur bukan untuk rakyat, melainkan untuk pengusaha," ucap Thamrin.

Mantan staf khusus Kementerian ESDM Said Didu mengkritik model pembangunan infrastruktur rezim Joko Widodo (Jokowi). Dia menilai, selama empat tahun memerintah, Jokowi lebih memprioritaskan pembangunan infrastruktur komersial daripada membangun infrastruktur dasar untuk rakyat.

"Selama ini Jokowi sibuk bangun tol, bangun LRT, MRT, itu untuk kepentingan komersial. Sementara infrastruktur dasar untuk rakyat seperti rumah murah, gedung sekolah, puskesmas, enggak tersentuh. Ada bangun jalan umum, tapi di perbatasan, tidak ada yang lewat. Sementara jalan lintas Sumatera tidak dibangun, padahal sangat dibutuhkan," kata Said dalam diskusi `Visi Misi Indonesia Menang, Kebijakan Prabowo-Sandi untuk Energi, SDA dan Infrastruktur` di Jalan Sriwijaya I, Jakarta Selatan, Jumat (8/2).

Pada akhirnya, lanjut Said, beban pembangunan infrastruktur komersial yang mengabaikan uji kelayakan ini berada di pundak sejumlah BUMN. Utang sejumlah BUMN bidang konstruksi diketahui membengkak lantaraan proyek ambisius ini, sementara rakyat tidak merasakan dampak positif dari pembangunan.

Anggota Komisi V DPR Bambang Haryo mengatakan, dampak pembangunan infrastruktur era Presiden Jokowi tak maksimal.Hal ini salah satunya dilihat dari adanya perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang infrastruktur, Krakatau Steel melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran."Kontraktor kita mati 45.000, UKM yang berkolaborasi jadi koperasi mati 40.000 lebih dalam tempo 3 sampai 4 tahun terakhir. Data semua ada di media, ternyata PHK daripada industri yang mendukung infrastruktur justru terjadi, misalnya Krakatau Steel," ujar Bambang di Gedung DPR, Jakarta, Selasa (9/7/2019) lalu.

Tak pelak, pembangunan infrastruktur era Jokowi menimbulkan banyak anomali yang tercermin dari berbagai hal sebagai berikut:

  1. Banyaknya infrastruktur yang mangkrak, misal bandara Kertajati di Majalengka yang sedianya akan mengembangkan kawasan industri di sekitar bandara. Tapi pada kenyataannya spekulan tanah sudah membeli tanah di sekitar bandara dan menjual dengan harga selangit, akhirnya biaya investasi tinggi sehingga para pengusaha enggan membuka pabrik
  2. Pembangunan trans Papua yang mestinya dirasakan dampaknya oleh warga sekitar dengan berjualan di sekitar proyek ternyata tidak berdampak, malah yang terjadi ilegal logging di sekitar jalan trans papua semakin marak karena bisa mengakses jalan tersebut.
  3. Ribuan perusahaaan konstruksi swasta yang tergabung dalam Gapensi bangkrut, yang seharusnya menikmati kue infratsruktur karena masalah modal dan sinergi BUMN yang mengerjakan proyek proyek besar.
  4. Perusahaan manufaktur dalam negeri, seperti Krakatau Steel terancam bangkrut karena banya baja yang impor dari Cina dengan harga yang lebih murah. Perusahaan manufactur lain juga tidak bisa bersaing dengan barang impor.
  5. PLN dan perusahaan BUMN Konstruksi terancam gagal bayar hutang yang jatuh tempo 2025. karena selama ini mereka mengerjakan proyek penugasan yang investasinya lama untuk balik modal sementara proyek harus dibayar.
  6. Kebijakan bagi-bagi sertifikat SHM Gratis membuat blunder karena nanti tanah itu akan dijual ke spekulan dan spekulan akan menjual ke industri dengan harga tinggi.
  7. Empat Unicorn yang dibanggakan, ternyata investornya dari luar sehingga deviden masuk ke Singapura, dan barang yang dijual e commrce 93% adalah produk import.
  8. Tol laut yang akan dihubungkan antar pulau kurang efisien, karena singgah di beberapa titik sehingga pedagang yang menjual bahan segar dan daging akan membusuk.
  9. Jalan Tol yang harusnya bisa mengurangi cost membuat banyak pengusaha menjerit karena biaya tol besar sehingga kurang efisien
  10. Ekonomi 4.0 kita belum siap, memunculkan lahirnya Fintech yang bermasalah, karena sebenarnya penerapan 4,0 mestinya ke sektor pangan agar lebih efisien.

Bagaimana arah kebijakan pembangunan infrastruktur  Jokowi 5 tahun mendatang, apakah akan terjadi anomali lagi ?. Sepertinya akan demikian. Dan kalau ini terjadi tentunya akan memunculkan serangkaian pertanyaan, infrastruktur itu dibangun untuk kepentingan siapa ?

Mengancam Kedaulatan Negara

Menurut penilian Bank Dunia,pembangunan infrastruktur di Indonesia terlalu bergantung pada BUMN sehingga membuat perusahaan negara kebingungan mencari dana. Oleh karena itu Pemerintah kemudian banting stir cari pendanaan ke mancanegara untuk alternative pendanaannya.  Salah satu pendanaan adalah mengandalkan investasi dari China.

Pada waktu digelar Konferensi Asia Afrika di Bandung tanggal 23 April 2015 lalu,Presiden Jokowi memastikan bahwa Tiongkok akan ikut berinvestasi dalam proyek infrastruktur di Indonesia. Dari situs Sekretariat Kabinet disebutkan, proyek infrastruktur yang menggandeng Tiongkok antara lain pembangunan 24 pelabuhan, 15 bandar udara (bandara), pembangunan jalan sepanjang 1.000 kilometer (km), pembangunan jalan kereta api sepanjang 8.700 km, serta pembangunan pembangkit listrik berkapasitas 35.000 megawatt (MW).

Tak cuma itu, Tiongkok juga akan terlibat dalam pembangunan jalur kereta supercepat Jakarta-Bandung dan Jakarta-Surabaya. Sayang, pemerintah tak menyebutkan nama proyek berikut besaran nilai proyek.

Pengamat kebijakan publik Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Agung Prabowo, menilai keputusan menggandeng Tiongkok harus dipertanyakan. "China memang luar biasa. Tapi, apakah mereka unggul dalam pembangunan pelabuhan, jalan, jalur kereta, pelabuhan, dan bandara? Itu harus dijelaskan," ujarnya.

Menurut dia, selama ini, beberapa pengadaan barang dan jasa yang melibatkan China acap kali bermasalah. Salah satunya adalah proyek program percepatan pembangunan pembangkit listrik bertenaga batubara, gas, dan energi terbarukan atau fast track programme tahap I. Pembangkit listrik yang dibangun Tiongkok dalam proyek ini tak bisa berproduksi maksimal lantaran banyak komponen usang. Selain itu, pada kasus pengadaan transjakarta, banyak unit yang rusak dan berkarat.

Satu hal yang patut diwaspadai sebenarnya adalah model investasi dari China yang mensyaratkan adanya ketentuan yang merugikan kedaulatan Indonesia. Karena model investasi yang diberi nama turn key project itu mensyaratkan adanya komponen investasi yang semuanya berasal dari China selain peralatan untuk operasionalnya juga tenaga kerjanya harus dari China bahkan termasuk pekerja kasarnya. Lebih mengkhawatirkan lagi kalau skema pendanaan proyek proyek infrastruktur itu dengan cara berhutang yang bisa menjebak negara penerimanya.

Fenomena tersebut tidak mengada ada karena memang sudah banyak contohnya. Beberapa negara banyak yang sudah terjebak utang dari China yang berakibat tergadainya kedaulatan negaranya.Berdasarkan Peneliti di Institute dor Fevelopment of Economics and Finance (Indef)  negara-negara yang mengandalkan utang untuk membangun infrastruktur adalah Angola, Zimbabwe, Nigeria, dan Sri Lanka.

Utang yang menjadi penopang pembangunan infrastruktur di negara tersebut nampaknya tidak semua memberikan hasil positif. Ada beberapa negara di antaranya justru berujung pada kegagalan alias bangkrut. Zimbabwe  misalnya,negara ini  sejak 1998 telah mengirim pasukan dan membeli peralatan dari China untuk membantu Presiden Laurent Kabali melawan pemberontak Uganda dan Rwanda.Untuk membiayai semua aktivitas tersebut, Zimbabwe harus berutang kepada China dengan akumulasi nilai hingga saat ini mencapai US$ 4 juta atau Rp 54,8 triliun (kurs Rp 13.700).

Namun, akibat tak bisa mengelola utangnya dengan baik, Zimbabwe tidak bisa membayar utang dan akhirnya harus mengikuti keinginan negeri tirai bambu tersebut dengan mengganti mata uangnnya menjadi yuan sebagai imbalan penghapusan utang. Hal itu berlaku sejak 1 Januari 2016 setelah tidak mampu membayar utang jatuh tempo pada akhir Desember 2015

Kegagalan atau bangkrut juga dirasakan Nigeria di mana model pembiayaan melalui utang yang disertai perjanjian merugikan negara penerima pinjaman dalam jangka panjang. China mensyaratkan penggunaan bahan baku dan buruh kasar asal China untuk pembangunan infrastruktur di Negeria.Mereka membangun proyek infrastrukturnya lewat utang, akhirnya mereka tidak bisa bayar utang. Banyak beberapa negara, di antaranya Angola dan Ziambabwe telah mengganti nilai mata uangnya.

Untuk Sri Lanka juga sama kondisinya tidak mampu membayar utang yang akhirnya pemerintahannya melepas Pelabuhan Hambatota sebesar Rp 1,1 triliun atau 70% sahamnya dijual kepada BUMN China.Begitu juga halnya dengan Pakistan, yang terjerat hutang ke China.

China sekarang ini memang menjadi pemodal infrastruktur terbesar di Afrika, melampaui ADB, Komisi Eropa, Bank Investasi Eropa, Korporasi Keuangan Internasional, Bank Dunia, dan negara-negara yang tergabung dalam organisasi G8.

Masalah yang membelit pembangunan infrastruktur juga bukan melulu berputar pada pendanaan yang bersumber dari utang superjumbo. Ini juga menyangkut kedaulatan Indonesia sebagai sebuah negara. Pola bangun-jual infrastruktur ke swasta dan atau asing, jelas-jelas tidak bisa dianggap sebagai perilaku bisnis biasa.

Apa yang terjadi pada Sri Langka, Zimbabwe, Pakistan, dan Tibet mestinya jadi pelajaran amat berharga bagi kita semua. Zimbabwe bahkan terpaksa mengganti mata uangnya menjadi yuan, karena tidak mampu membayar utangnya kepada China yang agresif membangun infrastruktur di sana. Jika tidak hati hati menerima utangan dari China untuk pembangunan infrastruktur maka nasib Indonesia bisa jatuh seperti negara negara yang disebutkan diatas. Dimana kegagalan dalam membayar utang bisa membuat tergadainya kedaulatan negara.

Bisa Tersungkur ?

Mau diakui atau tidak, proyek infrastruktur di Indonesia ternyata berkualitas rendah dan tidak memiliki kesiapan. Bukan itu saja, proyek  yang jadi kebanggaan Presiden Joko Widodo itu juga tidak terencana secara matang. Penilaian itu tidak mengada ada karena berdasarkan catatan kritis bank dunia yang dimuat dalam Dalam laporan bertajuk Infrastructure Sector Assessment Program yang dirilis pada Juni 2018.

Masih dari laporan tersebut, Bank Dunia menjelaskan proyek infrastruktur Indonesia tidak diprioritaskan berdasarkan kriteria atau seleksi yang jelas. Reputasi proyek di Indonesia berkualitas rendah dan tidak direncanakan dengan baik.  Berbekal kajian Bank Dunia ini, mau tidak mau kita memang harus  sependapat bahwa proyek kebanggaan Jokowi  memang asal-asalan.

Sebetulnya, tanpa adanya laporan Bank Dunia itu pun, rakyat sudah lama punya pendapat senada. Sebagai konsumen (khususnya pengguna jalan), yang pertama rakyat rasakan adalah tarif tolnya mahal sekali. Kesan mahal kian nyata saat dibandingkan dengan tol yang dibangun era Presiden-presiden sebelumnya. Di kalangan supir truk, bahkan sempat tenar istilah "Tol Jokowi" untuk merepresentasikan kelewat mahalnya tarif jalan-jalan tol yang dia bangun.

Selain itu, di kalangan rakyat diam-diam bersemayam kekhawatiran sekaligus ketakutan. Pasalnya, rakyat tau persis, pembangunan infrastruktur yang jor-joran itu dibiayai dari utang. Inilah yang menjelaskan mengapa utang yang dibuat rezim Jokowi bertambah Rp1.600 triliun hanya dalam tempo kurang dari empat tahun.

Kendati syahwat menjaring utang sudah gila-gilaan, toh tetap saja Pemerintah babak-belur dalam membiayai proyek-proyek infrastruktur yang superambisius. Itulah sebabnya, Pemerintah menugaskan BUMN untuk mengambil alih beban tersebut. Karenanya boleh dikatakan pengerjaannya full diserahkan kepada BUMN-BUMN. Akibatnya, puluhan ribu pengusaha konstruksi nasional terkapar. Mereka gulung tikar karena tidak kecipratan pekerjaan.

Kalau pun anak-anak bangsa ini mendapat remah-remah proyek sebagai subkontraktor, tidak berarti senyum mereka bisa terkembang lebar. Pasalnya, term pembayaran dari perusahaan pelat merah selaku main contractor sering telat, hingga berbulan-bulan. Kalau sudah begini, tentu sangat menganggu cash flow perusahaan. Ujung-ujungnya sama juga, bangkrut!

Selain suntikan modal, BUMN juga diberi akses yang lebih mudah dalam menjaring pinjaman dari bank dengan suku bunga rendah. Karena sifatnya penugasan Pemerintah, bank-bank BUMN pun menggerojok kredit tanpa uji kelayakan yang jelas. Akibatnya, jumlah utang BUMN melesat tinggi sekali. Pada saat yang, hantu non-performing loan (NPL) menyergap neraca bank BUMN dalam bentuk angka-angka yang mengerikan.

Jumlah utang  BUMN, khususnya BUMN karya mendapat penugasan membangun infrastruktur terus meroket dari tahun ke tahun. Data Kementerian BUMN menyebut, sampai September 2018 (unaudited) jumlahnya mencapai Rp5.271 triliun. Jumlah utang tersebut mencakup Dana Pihak Ketiga (DPK) bank BUMN. Sisanya  berupa penerbitan surat utang allias obligasi berjumlah Rp2.994 triliun. Artinya, utang ke bank-bank BUMN mencapai Rp2.277 triliun. Piutang ribuan triliun ke BUMN karya yang cash flow-nya acak-kadut inilah yang membuat para petinggi bank pelat merah kebat-kebit karena ancaman meroketnya NPL.

Penugasan membangun infrastruktur menjadi biang keladi gawatnya utang BUMN. Beban utang PT Waskita Karya (Persero) Tbk, PT Hutama Karya (Persero), PT Wijaya Karya (Persero) Tbk, hingga PT Adhi Karya (Persero) Tbk adalah para korban ganasnya nafsu membangun infrastruktur yang serampangan dari Jokowi.

Masalah pendanaan ini bertambah parah manakala dikaitkan dengan adanya pinjaman dana dari mancanegara khususnya China yang akan  jatuh tempo pembayaranny. Kalau tidak mampu membayar bisa saja nasib Indonesia sama dengan negara lain seperti Sri Lanka, Pakistan atau negara negara di benua Afrika.

Kini setelah periode pertama pemerintahannya yang masih menggenjot infrastruktur yang tersisa sekarang adalah bayang kegagalan karena terbelit hutang. Lebih lebih setelah infrastruktur yang dibangun itu ternyata tidak mampu menghasilkan pendapatan sesuai yang diharapkan.Sebagai contoh tol trans Jawa, dibangun tanpa proses perencanaan yang matang. Akibatnya, di luar libur panjang tol trans Jawa sepi. Di luar hari libur panjang, jalan tol sepi dan cenderung kosong melompong sehingga tidak mencapai target pendapatan.

Demikian juga pembangunan atau perluasan sejumlah bandara yang kini minim kegunaannya, seperti penambahan parkir pesawat VIP di Bandara Ngurah Rai, Bali menjelang pertemuan IMF-Bank Dunia tahun lalu. Total dana yang digunakan mencapai Rp 2,2 triliun. Kemudian bandara Kertajari, Jawa barat dan bandara Silangit yang sepi penumpang. Padahal bandara tersebut baru saja dibangun dengan dana miliaran rupiah.

Lalu ada pembangunan jembatan Pulau Balang di Kaltim yang menelan biaya Rp 1,4 triliun. Jembatan ini berpotensi mangkrak karena jalan akses untuk jembatan ini belum ada. Ada lagi jalur LRT Palembang dalam daftar infrastruktur yang tak direncanakan dengan baik. Sejak diresmikan tahun 2018 lalu, LRT pertama di Indonesia itu hanya menangguk pendapatan 10 persen dari biaya operasional yang harus dikeluarkan yang mencapai Rp 10 miliar per bulan.

Akhir akhir ini tersiar kabar pula bahwa pembangunan proyek kereta api cepat Bandung-Jakarta yang digarap investor dari China terhenti pelaksanaannya. Menurut Plt Dirjen Bina Konstruksi Kementerian PUPR Danis Sumadilag,penghentian dilakukan karena sistem manajemen konstruksi tidak aman dilanjutkan. Menurut Danis, penghentian ini diambil untuk menghindari kecelakaan kerja sebab selama proses kontruksi dilakukan, K3 PUPR menemukan indikasi yang berpotensi membahayakan keselamatan, kesehatan pekerja dan lingkungan.

Tetapi menurut Mantan Sekretaris Menteri BUMN Said Didu, ia memperkirakan proyek KA Cepat Jakarta-Bandung akan mangkrak.Dia pun menjabarkan, dua alasan mendasar proyek itu akan mangkrak. Pertama, dia menjelaskan bahwa investor China sadar bahwa proyek itu sudah tidak layak."Investor China makin sadar bahwa tidak layak sehingga minta tambahan konsesi untuk bangun KA Cepar Jakarta-Surabaya lewat lintas selatan," kata dia.

Alasan kedua, Said menilai bahwa BUMN tidak punya kemampuan untuk melanjutkan. Terakhir, dia menyebut banyak masalah teknis di proyek tersebut. "Banyak masalah teknis dan hukum yang selama ini diabaikan," kata dia.

Sepertinya tidak perlu menunggu lama, pembangunan infrastruktur tanpa perhitungan yang jelas itu sudah kelihatan besar sekali kerugiannya dan akan menjadi beban berat bagi anggaran publik di masa yang akan datang. Di sisi lain, pembangunan infrastruktur yang utilisasinya minim jelas-jelas adalah bentuk pemborosan dan inefisiensi.

Ke depan, perencanaan dan eksekusi proyek infrastruktur di lapangan tentu perlu dibenahi. Yaitu mencari sumber pendanaan baru yang lebih murah, tapi minim risiko.Kehadiran sumber pendanaan seperti ini, menjadi penting apalagi di era tingkat bunga acuan tinggi baik di global maupun domestik.

Selanjutnya, pemerintah tak boleh menutup mata kepada BUMN yang sudah `diambang jurang`. Bila perusahaan pelat merah sudah tak sanggup menanggung proyek, maka jangan dipaksakan. Tak ketinggalan, pemerintah juga harus lebih `melek` memilih proyek mana yang perlu dibangun segera dan tidak.

Kini dengan potret pembangunan  infrastruktur yang babak-belur seperti ini, bisa mengancam ketidakstabilan ekonomi karena utang dan kebangkrutan. Jika masalah ini tidak bisa dikelola dengan  baik bisa menimbulkan gejolak dimasyarakat yang berujung pada ketidakstabilan politik dan akhirnya mampu menjatuhkan kepemimpinan nasional.

Karena sejatinya, infrastruktur yang menjadi kebanggaan rezim saat ini tak ubahnya istana pasir. Di tangan seniman andal, sebuah istana pasir yang indah dan mengagumkan memang bisa diwujudkan. Tapi, namanya juga istana pasir, maka sedikitnya saja air mengguyur, akan ludes terhambur.Itu baru  air yang datang mengguyur. Bagaimana jika yang datang itu air bah atau tsunami yang kekuatannya begitu massif dan terstruktur ?. Bisa jadi pemimpin negeri yang juga petugas partai ini bisa akan segera tersungkur kah?

Impeachment Presiden Jokowi?

Dari berbagai fakta dan analisa di atas, banyak orang yang meramalkan akan seperti apa nasib pemerintahan Jokowi pada 6 bulan ke depan. Bayangkan ketika ekonomi negara nyungsep dan utang negara menumpuk, tiba-tiba datang wabah virus Corona yang membuat situasi ekonomi nasional dan internasional semakin sulit. Ada prediksi pertumbuhan ekonomi bisa jatuh ke angka 4% saat ekonomi krisis karena wabah Corona.

Namun ajaibnya, entah dapat uang dari mana, tiba-tiba Menkeu, Sri Mulyani mengatakan bahwa kerugian Jiwasraya akan ditangalangi oleh uang negara. Padahal uang negara ditilep oleh kolusi para pebisnis hitam dengan oknum pejabat negara. Logika dari mana justru pakai uang rakyat untuk menutup kerugiannya. Lantas apa yang harus dilakukan saat kinerja Presiden justru bisa membahayakan stabilitas ekonomi negara dan kelangsungan hidup rakyat banyak.

Jika menurut konstitusi Presiden hanya bisa di-impeachment jika terlibat korupsi, terlibat pengkhianatan, terlibat penyuapan, kejahatan besar yang bisa diancam pidana lebih dari 5 tahun, dan perbuatan tercela. 

Dalam konteks keadaan darurat legal reasoning untuk membuat rezim regeling yang bersifat khusus adalah, harus ada sifat bahaya atau dangerous threat sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Pasal 12 UUD NKRI Tahun 1945, disertai oleh kebutuhan reasonable neccesity, dan kegentingan waktu limid time sebagaimana diatur dalam Pasal 22.

Nah berdasar pada kondisi di atas dan jika dikaitkan dengan tuntutan berbagai elemen masyarakat agar Presiden dapat mengambil kebijakan yang tidak memberatkan rakyat banyak. Seperti misalnya tidak mencabut subsidi listrik, gas dan menolak kenaikan tarif BPJS Kesehatan bagi rakyat miskin. Jika tuntutan rakyat itu tidak dipenuhi Jokowi maka bisa berpotensi membahayakan kelangsungan lembaga-lembaga demokrasiyang mewakili kepentingan rakyat dan mengancam kewibawaan Presiden sebagai The Sovereing Power atau The Sovereing Executif berdasarkan logika hukum tata negara darurat. Jadi nasib Presiden Jokowi berada di tangan rakyat dan para wakilnya di lembaga demokrasi MPR, DPR dan DPD.

 

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar