Lawan Hukum, Pensiunan TNI Gugat Presiden Jokowi

Senin, 10/02/2020 20:15 WIB
Jaket Denim Presdiden Jokowi (Ist)

Jaket Denim Presdiden Jokowi (Ist)

Jakarta, law-justice.co - Seorang pensiunan TNI berinisial CN menggugat Presiden Joko Widodo melalui Kantor Pengacara Sam and Partner terakit dugaan perbuatan melawan hukum.

Dalam keterangan tertulisnya Pengacara Penggugat menyampaikan bahwa alasan gugatan itu disampaikan karena masih menjadi Anggota TNI aktif dan menjabat sebagai Kasi Undang Kumdam IV/Dip, sekitar tahun 2007, ia sempat diberhentikan dari jabatan oleh atasannya tanpa alasan dan dasar yang jelas. Dia pun lantas mengugat ke Pengadilan Negeri Semarang.

“Oleh karena Pengadilan Militer belum memiliki perangkat Hukum Tata Usaha Militer maka apa yang diperjuangkan Penggugat hingga hari ini tak dapat keputusan keadilan hukum yang jelas dan pasti,” pungkas Advokad Kondang, Sam di Kantornya, Jakarta Barat.

Penggugat sebenarnya mengetahui bahwa objek perkara yang diajukannya di Pengadilan Negeri Semarang tersebut merupakan Keputusan Tata Usaha Militer dan merupakan kewenangan Pengadilan Militer untuk memeriksa dan mengadilinya (kompetensi absolut).

Namun karena belum operasionalnya Pengadilan Tata Usaha Militer, Penggugat berpedoman jika Pengadilan Tata Usaha Militer Tinggi belum operasional karena adanya kekosongan hukum, maka Pengadilan Negeri yang berwenang untuk memutus dan mengadilinya. Namun, pada akhirnya sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung RI gugatan Penggugat tetap diputus NO (Niet Ontvankelijke Verklaard) karena Pengadilan Negeri Semarang tidak berwenang mengadili perkara tersebut.

Bahwa belum operasionalnya Pengadilan Tata Usaha Militer tersebut menyebabkan hak Penggugat untuk menguji tindakan atasannya menjadi sia-sia, padahal tidak menutup kemungkinan Surat keputusan tentang pemberhentian Penggugat dari Jabatan Kasi Undang Kumdam IV/Dip bisa saja dibatalkan karena tidak berdasar, cacat prosedur dan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Kemudian Penggugat memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan gugatan dalam perkara ini.

Sebelumnya Pemerintah RI bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah membuat UU No 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Kemudian disahkan dan diundangkan pada tanggal 15 Oktober 1997 di Lembaran Negara Republik Indonesia (LNRI) No 84 Tahun 1997 yang mengatur tentang Hukum Acara Tata Usaha Militer. 

Kemudian berdasar Pasal 353 UU No 31 tahun 1997 yang mengatur tentang Peradilan Militer, dimana UU ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Khusus Hukum Acara Tata Usaha Militer, penerapannya diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat lambatnya 3 (tiga) tahun sejak undang undang ini diundangkan. 

Alasan penundaan penerapan Hukum Acara Tata Usaha Militer yang dijelaskan dalam Pasal 353 adalah untuk mempersiapkan pelaksanaan kedua kewenangan tersebut di atas, yakni menyiapkan kemampuan tenaga hakim serta penataan kelembagaan dan administrasi peradilannya, pemerintah perlu melakukan persiapan yang cukup guna kemapanan terselenggaranya peradilan perkara pidana dan perkera sengketa Tata Usaha Angkatan Bersenjata (TNI) sebaik-baiknya.

Pelaksanaan ketentuan tentang Hukum Acara Tata Usaha Militer, penerapannya perlu diatur dengan Peraturan Pemerintah selambat-lambatnya 3 (tiga) tahun sejak undang-undang ini diundangkan, dimana UU No 31 Tahun 1997 diundangkan pada tanggal 15 Oktober 1997 maka untuk waktu 3 (tiga) tahun berikutnya jatuh pada tanggal 14 Oktober 2000. Hingga saat ini sudah terlampaui lebih dari 19 (sembilan belas) tahun. 

Peraturan Pemerintah untuk memberlakukan Peradilan Tata Usaha Militer seharusnya diterbitkan pada era pemerintahan terdahulu, namun meskipun Presiden yang memimpin pemerintahan silih berganti tetapi sampai dengan gugatan ini diajukan di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, tidak ada niat baik dari Pemerintah RI yang dipimpin oleh Presiden untuk mewujudkannya sehingga hak hak Prajurit TNI, mantan prajurit TNI dan setiap warga negara yang menjadi korban kesewenang-wenangan keputusan pejabat TNI tidak terlindungi. 

Bahwa dengan tidak diterbitkannya Peraturan Pemerintah sebagai landasan operasional Hukum Acara Tata Usaha Militer sampai saat gugatan ini diajukan, mengakibatkan tidak ada lembaga peradilan yang berwenang mengadili sengketa tata usaha militer. Hal ini menyebabkan terlanggarnya hak asasi Penggugat untuk diperlakukan sama di depan hukum (equality before the law). 

Di depan hukum diatur dalam perinsip prinsip dasar negara hukum, antara lain Pasal 27 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan:
“Segala warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan. Pasal 28D ayat(1) UUD 1945 yang menyatakan:
Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum. (beritabinangun)

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar