Kasus Gereja di Karimun

Gusdurian: Pemerintah Jangan Terus Berdalih Kondusivitas

Senin, 10/02/2020 17:00 WIB
Membludaknya jamaah sholat ied di Jatinegara hingga memadati dua ruas jalan di sebelah kiri dab kanan Gereja Koinonia (Foto: Law-justice.co/Robinsar Nainggolan)

Membludaknya jamaah sholat ied di Jatinegara hingga memadati dua ruas jalan di sebelah kiri dab kanan Gereja Koinonia (Foto: Law-justice.co/Robinsar Nainggolan)

law-justice.co - Kasus penolakan pembangunan rumah ibadah lagi-lagi terjadi di Indonesia. Kali ini, sekelompok orang yang mengatasnamakan dirinya Forum Umat Islam Bersatu (FUIB) menolak renovasi Gereja Katolik Santo Joseph Tanjung Balai, Kabupaten Karimun, Provinsi Kepulauan Riau. Jaringan Gusdurian menilai, itu merupakan kasus intoleransi yang serius. Pemerintah dan aparat keamanan diminta jangan lagi menghambat pembangunan rumah ibadah dengan dalih kondusivitas dan harmoni sosial.

Pada Kamis (6/2/2020) sekelompok orang mendatangi gereja Katolik Santo Joseph dan mendesak proses renovasi dihentikan. Mereka meminta pihak gereja menunggu hasil putusan sidang di PTUN Tanjungpinang, terkait dengan Ijin Mendirikan Bangunan (IMB) gereja yang terbit pada tanggal 2 Oktober 2019 lalu. Akibat kejadian tersebut, salah seorang panitia renovasi gereja sempat dibawa ke Polres Karimun dan diperiksa.

Aksi protes terhadap gereja tersebut sudah 3 kali terjadi sejak tahun 2013. Protes keras juga pernah disampaikan pada saat peletakan batu pertama renovasi gereja, pada 25 Oktober 2019. Warga menilai, pembanguna gereja tidak sesuai dengan adat warga setempat.

"Kasus di Karimun menambah catatan merah kehidupan toleransi di Indonesia. Belum lama ini, kasus perusakan bangunan ibadah terjadi di Minahasa dan Banyuwangi. Persoalan kehidupan beragama ini merupakan isu nasional yang harus diletakkan dalam kerangka nasional pula, bukan semata sebagai dilihat dalam perspektif daerah itu semata," kata Koordinator Jaringan Gusdurian Alissa Wahid.

Menurut catatan Jaringan Gusdurian, pemerintah dan aparat keamanan seringkali menggunakan dalih kondusivitas dan harmoni sosial sebagai instrumen penyelesaian kasus intoleransi pendirian rumah ibadah. Dalam kasus gereja Katolik di Karimun, polisi sempat datang ke lokasi gereja dan meminta panitia menghentikan aktivitasnya demi alasan kondusivitas.

"Kebebasan berkeyakinan dan menjalankan ibadah adalah hak seluruh warga negara yang dijamin konstitusi. Pemerintah sebagai penyelenggara negara harus hadir dan menjamin amanat konstitusi yang telah diatur di Pasal 28E UUD 1945 berjalan sebagaimana mestinya," ucap Alissa.

Terkait kejadian tersebut, Jaringan Gusdurian melalui siaran pers yang diterima redaksi, meminta pemerintah dan masyarakat Indonesia untuk melakukan 5 hal berikut ini:

1. Pemerintah daerah maupun pemerintah pusat untuk teguh menegakkan konstitusi dengan menjamin hak berkeyakinan dan beragama semua warga. Termasuk dalam hal pendirian tempat ibadah.

2. Penyelenggara pemerintahan, baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif untuk mengevaluasi atau mencabut Surat Keputusan Bersama (SKB) 2 Menteri yang selalu dijadikan dalih pembenaran kelompok yang menyerang rumah ibadah agama lain.

3. Meminta pemerintah mengevaluasi mekanisme pendirian rumah ibadah dan memfasilitasi agar umat beragama di Indonesia bisa mendapatkan fasilitas ibadah secara mudah.

4. Meminta kepada pemerintah daerah dan perangkatnya untuk menempatkan persoalan kehidupan beragama dalam kerangka nasional sehingga tidak terjebak melihatnya sebagai masalah lokal. Pemerintah harus mencegah konflik horisontal tanpa mengorbankan keadilan.

5. Mengajak seluruh masyarakat untuk berupaya membangun kehidupan bernegara dan berbangsa yang multikultur sesuai semboyan Bhinneka Tunggal Ika, berbeda-beda tapi satu juga.

(Januardi Husin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar