Sumanto Al Qurtuby:

Penceramah Katrok dan Pengkhotbah Koplak di Masyarakat

Sabtu, 15/02/2020 00:01 WIB
Ilustrasi (iStock)

Ilustrasi (iStock)

[INTRO]

Kenapa ada cukup banyak penceramah katrok & pengkhotbah koplak di masyarakat? Menurutku, ada beberapa faktor dan kemungkinan yang menyebabkan merebaknya golongan "spesies" ini:

Pertama, si penceramah bisa jadi, akibat kurang bacaan bergizi, hanya membaca dan mengetahui sejumlah teks, ajaran, dan wacana keagamaan. Lalu mereka pikir, anggap, asumsikan, dan simpulkan teks, ajaran, dan diskursus keagamaan yang mereka tahu itu sebagai agama itu sendiri.

Kedua, si penceramah bisa jadi cukup banyak bacaannya. Tetapi hanya bacaan yang sesuai dengan pandangan, selera, dan kepentingannya saja, baik kepentingan politik, idologi, maupun ekonomi.

Oleh karena itu, mereka pilah-pilah dan pilih-pilih mana bacaan (termasuk ayat kitab suci dan teks-teks fundamental agama) yang menguntungken dan mana yang merugiken daripada dirinya. Itulah sebabnya, misalnya, mengapa para makelar dan tengkulak Hizbut Tahrir yang diupak-upek cuma "khilafah" saja. Seolah-olah dunia runtuh dan "mbrodoli" tanpa si khilafah.

Tentu saja bacaan yang sesuai dengan pandangan, selera dan kepentingan serta dianggap menguntungkan itu mereka gelembungkan, sementara yang tidak sesuai dengan pandangan, selera dan kepentingan serta dipandang merugikan, mereka kubur dalam-dalam, tenggelamkan di empang, disimpan di freezer, ditaruh di lemari dan digembok, atau dihanyutken lewat wasilah banjir.

Ketiga, si penceramah tadi bisa jadi hanya bisa membaca dan mengerti artinya saja tetapi tidak mengetahui aneka ragam interpretasi serta seluk-beluk dan konteks sosio-historis bacaan yang mereka baca.

Membaca dan mengerti bacaan itu memang sulit tetapi lebih sulit lagi memahami dan mengerti dimensi sosio-historis dan kemajemukan interpretasi atas bacaan itu. Untuk bisa mengerti kompleksitas dan pluralitas bacaan itu tidak gampang, butuh ilmu tersendiri dan harus dipelajari dengan seksama, serius, telaten, dan hati-hati. Kalau hanya cuap-cuap saja sih, keledai juga bisa.

Keempat, si penceramah bisa jadi hanya belajar agama atau ilmu keagamaan tertentu saja tetapi tidak pernah mempelajari secara serius agama dan ilmu keagamaan lain. Hal ini bisa berdampak pada sikap "overdosis fanatisme" yang bisa menjerumuskan "domba-domba Allah" atau "onta-onta Allah".

Kelima, munculnya penceramah koplak itu bisa jadi akibat adanya atau produk dari masyarakat koplak, yaitu sejenis spesies pekok minus akal-sehat, pengkhayal akut, penggemar barang instan cepat saji, atau pecinta dunia perklenikan.

Jika tak ada umat koplak, maka tak mungkin ada penceramah koplak; jika tak ada "onta koplak" atau "domba koplak", maka tak mungkin ada penceramah dan pengkhotbah koplak; dan jika tak ada pemilih koplak maka tak mungkin ada pejabat koplak. Begitu seterusnya.

Hanya "umat koplak" yang bisa diiming-imingi dan dibuali dengan ompol onta, minyak urapan dari surga, bidadari bahenol nan cantik jelita, atau banjir sebagai kumpulan air mata malaikat, dan sebangsanya.

Jabal Dhahran, Jazirah Arabia

Sumanto Al Qurtuby, Antropolog Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

 
 
 

(Liesl Sutrisno\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar