Saat Jiwasraya Buka Kotak Pandora, `Borok` BUMN Terbuka Lebar

Jum'at, 31/01/2020 08:38 WIB
5 Tersangka Korupsi Jiwasraya. (cnbcindonesia)

5 Tersangka Korupsi Jiwasraya. (cnbcindonesia)

Jakarta, law-justice.co - Dugaan tindak pidana korupsi yang terjadi pada perusahaan asuransi PT Asuransi Jiwasraya (Persero) membuka tabir segudang masalah di tubuh perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Sederet masalah mulai terkuak ke permukaan yang memperlihatkan banyak kelemahan dari sisi tata kelola perusahaan (GCG).

Sebagai perusahaan asuransi, bisnis yang dijalankan Jiwasraya sebenarnya ketat dengan regulasi yang boleh dibilang "mengekang".

Pasalnya bisnis asuransi punya tanggung jawab besar dalam mengelola dana masyarakat, khususnya para nasabah.

Namun faktanya, Jiwasraya mengalami gagal bayar atas produk JS Saving Plan yang dipasarkan kepada nasabah lewat bank alias bancassurance.

Tak tanggung-tanggung, Menteri BUMN Erick Thohir, di hadapan Panja Komisi XI DPR menyebutkan Jiwasraya punya kewajiban bayar klaim nasabah senilai Rp 16 triliun.

Tak Sampai di sana, akibat kesalahan dalam pengelolaan dan penempatan investasi, Jiwasraya mengalami kekurangan solvabilitas (kemampuan membayar kewajiban) hingga Rp 28 triliun.

Pengamat industri asuransi, Hotbonar Sinaga sempat mengatakan Jiwasraya terlalu berani menjanjikan return tinggi kepada para nasabah.

Dengan menjanjikan return dua kali lebih besar dari deposito, Jiwasyara dipaksa mencari produk-produk dengan return tinggi.

"Di sini Jiwasraya terlalu berani menjanjikan return yang saya dengar hampir dua kali lipat dari bunga deposito. Mereka harus mencari investasi yang menghasilkan jauh di atas bunga deposito. Salah satunya melalui reksa dana saham atau investasi di saham itu sendiri," kata Hotbonar beberapa waktu lalu.

Kejaksaan Agung (Kejagung) lalu ikut terjun menyelidiki kasus Jiwasraya. Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ada kesalahan dalam pengelolaan investasi di Jiwasraya.

Kejagung bergerak, lima orang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini. Kelima tersangka tersebut, yakni Dirut PT Hanson International Tbk (MYRX) Benny Tjokrosaputro, Komisaris Utama PT Trada Alam Minera Tbk (TRAM) Heru Hidayat.

Kemudian Direktur Keuangan Jiwasraya Jiwasraya periode Januari 2013-2018 Hary Prasetyo, Direktur Utama Jiwasraya periode 2008-2018 Hendrisman Rahim dan mantan Kepala Divisi Investasi dan Keuangan Jiwasraya Syahmirwan.

Puluhan orang diperiksa sebagai saksi, sejumlah kantor digeledah dan 800 rekening efek dibekukan karena kasus ini. Proses hukum masih terus berlangsung.

Sementara itu, di Bilangan Senayan, para wakil rakyat tak mau ketinggalan untuk ikut ambil bagian.

Atas nama pengembalian dana nasabah, Komisi VI DPR membentuk Panita Kerja (Panja) yang khusus mencari tahu masalah ini dan rapat Panja baru saja dimulai kemarin, Rabu (29/2/2020).

Sederet Perusahaan BUMN yang Bermasalah

Jiwasraya sebenarnya tak sendirian, tetapi kasus ini bak membuka kotak pandora. Semua keburukan mulai terbongkar keluar, dan Menteri BUMN Erick Thohir tak sungkan untuk mengusut semua perusahaan BUMN yang bermasalah.

Asabri

Setelah Jiwasraya, dalam waktu yang hampir bersamaan PT Asabri (Persero) juga memendam masalah yang hampir sama dengan Jiwasraya terutama berkaitan dengan nilai investasi (bukan gagal bayar).

Akibat penyusutan nilai investasi, rasio solvabilitas Asabri mengalami tekanan. Risk Base Capital (RBC) atau rasio kecukupan modal berbasis risiko Asabri tercatat minus 571% dan butuh dana hingga Rp 7,26 triliun untuk mengembalikan RBC mencapai kondisi ideal sesuai regulasi yakni 120%.

Masalah Asabri memang belum sampai ke ranah hukum dan Panja di DPR, tapi kasus ini menambah deretan BUMN bermasalah yang sebelumnya tak tampak ke permukaan.

Itu dua BUMN dari sektor jasa keuangan yang bobroknya sudah mulai terbuka ke permukaan.

Publik pun sempat menyoroti kinerja BUMN asuransi sosial lain yakni PT Taspen (Persero) yang juga mengalami penurunan nilai investasi saham. Hanya saja kinerja Taspen baik karena membukukan kenaikan laba bersih.

Krakatau Steel

Sebelum ada kasus Jiwasraya, borok di PT Krakatau Steel Tbk (KRAS) juga terangkat ke permukaan.

Lilitan utang yang menghimpit perusahaan, hampir saja membuat produsen baja pelat merah ini gulung tikar.

Tak main-main nilai utang sempat disebutkan lebih dari US$ 2,2 miliar atau kurang lebih sekitar Rp 30 triliun lebih (jika menggunakan kurs Rp 14.000/US$).

Direktur Utama KRAS Silmy Karim menceritakan utang ini sebagian besar berasal dari kebutuhan dana untuk menutupi investasi perusahaan di masa lampau.

Namun, terjadi mismatch antara investasi dan realisasi yang terjadi, meski investasi besar tapi tak menghasilkan keuntungan bagi perusahaan.

"Jadi kalau ditanya utang buat apa, ya satu buat investasi, tetapi investasi tersebut tak menghasilkan tambahan penjualan dan juga keuntungan. Kemudian ada pembayaran utang menggunakan utang. Mismatch lah," kata Silmy.

Edan! Uang Rp 30 triliun tanpa hasil dan bentuk. Publik kemudian hanya bisa menggerutu dan bertanya, ke kantong siapa uang-uang tersebut larinya?

Cerita selanjutnya, Selasa (28/1/2020), KRAS mengumumkan sudah menyelesaikan proses restrukturisasi utang senilai US$ 2 miliar atau setara Rp 27,22 triliun (asumsi kurs Rp 13.611/US$) kepada 10 bank. Ini merupakan restrukturisasi utang terbesar yang pernah ada di Indonesia.

Garuda Indonesia

Lanjut ke PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA), pergantian manajemen yang dilakukan beberapa waktu lalu tentu bukan akhir cerita. Kinerja Garuda sempat terseok-seok bertahun-tahun.

Rugi bertahun-tahun, tiba-tiba Garuda bisa mencetak untung pada kuartal III-2018. Rupanya ada rekayasa dalam laporan keuangan Garuda. Kecurigaan publik mulai muncul, ada yang tak benar dalam pengelolaan Garuda.

Puncaknya terjadi ketika lima direksi Garuda Indonesia dipecat oleh Erick Thohir karena kedapatan menyelundupkan Motor Harley Davidson dan Sepeda Brompton di pesawat Airbus yang baru di beli perseroan.

Selanjutnya, cerita berkembang. Sengkarut dalam pengelolaan bisnis Garuda terbuka satu-persatu.

Pos Indonesia

Tak ketinggalan, satu BUMN lagi yang sedang di ujung tanduk adalah PT Pos Indonesia, meskipun tak tercatat dalam bukunya ada kerugian.

Merujuk pada laporan keuangan tahunan Pos Indonesia, laba bersih memang selalu dicatat. Setidaknya sejak tahun 2012, laba demi laba terus menghiasi halaman laporan keuangan.

Teranyar, pada tahun 2018 Pos mencatat laba bersih sebesar Rp 127 miliar atau turun dari posisi 2017 yang sebesar Rp 355 miliar.

Tapi tunggu dulu. Dalam catatan arus kas, sejatinya kinerja Pos tidak bagus-bagus amat.

Tengok saja arus kas perusahaan kerap kali tercatat negatif. Sepanjang periode 2012-2018, perusahaan pos nasional tersebut hanya mampu membukukan arus kas positif sebanyak tiga kali. Sisanya berwarna merah alias negatif.

Teranyar pada tahun 2018, arus kas tercatat minus Rp 293 miliar.

Sebagai informasi, arus kas merupakan catatan uang riil yang keluar-masuk perusahaan selama menjalankan aktivitas bisnis selama satu tahun pencatatan. Saat nilainya negatif, artinya lebih banyak uang keluar daripada yang masuk.

Untuk sebagian industri, arus kas negatif tidak selalu menggambarkan kegiatan bisnis yang tidak sehat. Contohnya pada sektor konstruksi, dimana pembayaran memang biasanya dilakukan belakangan dan seringkali berbeda tahun pencatatan.

Namun untuk industri jasa pengiriman yang biasanya pembayaran dilakukan di depan, arus kas negatif menandakan model bisnis yang tidak efisien.

Dampaknya, posisi kas Pos Indonesia cenderung mengalami penurunan. Bahkan pada tahun 2018, posisi kas hanya sebesar Rp 2,64 triliun atau terendah sejak tahun 2012.

Andaikan tidak ada subsidi pemerintah atas Public Services Obligation (PSO) sejatinya Pos Indonesia seringkali mengalami kerugian.


Sumber: cnbcindonesia.com

(Ade Irmansyah\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar