PBHI: Jaksa Agung tidak Pernah Serius Selesaikan Pelanggaran HAM

Rabu, 29/01/2020 18:30 WIB
Ketua PBHI Totok Yuliyanti dan Direktur Program PBHI Julius Ibrani saat melaporkan Arief di Gedung MK (Foto: Januari Husin)

Ketua PBHI Totok Yuliyanti dan Direktur Program PBHI Julius Ibrani saat melaporkan Arief di Gedung MK (Foto: Januari Husin)

law-justice.co - Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI) mengecam pernyataan Jaksa Agung ST Burhanuddin pada 16 Januari lalu, tentang peristiwa Semanggi I dan Semanggi II yang disebut bukan termasuk pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat. PBHI menilai, Kejaksaan Agung (Kejagung) tidak pernah serius menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu.

Jaksa Agung Burhanuddin mengatakan hal tersebut saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi III DPR RI. Ia merujuk pada hasil rekomendasi Panitia Khusus Semanggi I dan II yang dibentuk DPR periode 1999-2004.

Pernyataan tersebut dorespon oleh Komisi Kejaksaan dengan mengeluarkan Surat Rekomendasi Nomor B-23/KK/01/2020 pada 21 Januari. Komjak meminta Kejagung serius dalam menyelesaikan masalah HAM berat masa lalu. Salah satunya dengan aktif membentuk UU Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR).

PBHI menilai, rekomendasi tersebut tidak punya peran signifikan mengingat sudah 16 tahun Jaksa Agung tidak pernah meneruskan penyelidikan yang telah selesai diselidiki oleh Komnas HAM. Menurut Kejaksaan, kendala dalam penuntasan kasus pelanggaran HAM adalah ketiadaan Pengadilan HAM ad hoc dan alat bukti yang belum cukup dari Komnas HAM.

“Kejaksaan Agung memang tidak pernah serius. Tidak ada langkah solutif yang ditawarkan, tidak juga membuka peluang penyelesaian,” kata Sekretaris Jenderal Julius Ibrani kepada Law-justice.co.

Selain itu, kata Julius, publik tidak bisa berharap dengan RUU KKR karena tidak masuk dalam Prolegnas 2020.

“Padahal pemenuhan hak korban pelanggaran HAM masa lalu adalah mendesak dan harus segera, mengingat sebagian besar dari Korban sudah uzur dan sakit-sakitan, bahkan ada yang sudah wafat” ujar Julius.

PBHI mempertanyakan kembali komitmen Presiden Joko Widodo dalam penegakan hukum dan HAM. Pada periode pertama Presiden Jokowi memasukkan agenda penuntasan kasus pelanggaran HAM berat dalam Nawacita dan RPJM 2015-2019.

“Sampai detik ini PBHI belum melihat ada usaha sedikitpun dari Presiden Jokowi untuk hal ini. Terlebih lagi ia mengangkat Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan, padahal diduga terlibat atas pelanggaran HAM Berat,” ucap Julius.  

Julius mengatakan, PBHI mendesak Jokowi untuk mengeluarkan Keputusan Presiden untuk membentuk pengadilan HAM ad hoc. PBHI juga mendorong DPR untuk segera menyelesaikan pembahasan RUU KKR agar Kejaksaan Agun bisa segera menyelesaikan masalah pelanggaran HAM berat masa lalu.

(Januardi Husin\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar