Menteri Erick Beberkan Modus BUMN Palsukan Laporan Keuangan

Sabtu, 11/01/2020 17:19 WIB
Menteri BUMN, Erick Thohir. (JPNN)

Menteri BUMN, Erick Thohir. (JPNN)

Jakarta, law-justice.co - Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir makin memahami permasalahan yang terjadi pada perusahaan BUMN dengan melihat kasus megaskandal yang terjadi di PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Dia menilai, banyak perusahaan BUMN yang berani melakukan mempercantik laporan keuangan (lapkeu) atau yang dikenal window dressing. Padahal, hal ini jelas dilarang karena masuk kategori penipuan.

Erick bahkan menyebut pelakunya bisa terseret ke kasus pidana. "Hari ini yang sering terjadi di BUMN adalah window dressing lapkeu. Jika window dressing lapkeu itu udah masuk tindakan yang bisa [masuk] kriminal," kata Erick di Jakarta, seperti melansir CNBCIndonesia.com.

Apalagi dengan adanya window dressing, bagian bawah neraca atau bottom line (laba bersih) di laporan keuangan memang keliatan untung. Tapi sebenarnya itu fana, karena perusahaan tidak memiliki kas.

Tak hanya itu, mantan Bos Inter Milan itu pun menegaskan ada BUMN juga yang memakai cara penerbitan surat utang baru, bukan pinjaman ke perbankan.

"Hanya buat bagi bonus aja salah, tapi ini ada lagi yang nerbitin utang baru, mekanismenya enggak pakai bank, tapi surat utang yang lebih mudah. Dibikin proyek, disuntikkan perusahaan enggak visible. Surat utang jatuh tempo 2020 ini fraud bukan? ini kan contoh," tegasnya.

Adapun window dressing memiliki dua pengertian, pertama kondisi yang terjadi di akhir tahun di mana harga-harga saham naik. Kedua, strategi yang digunakan oleh emiten, perusahaan atau manajer investasi untuk memoles laporan keuangan atau portofolio mereka guna menarik hati para investor.

Dengan upaya membuat laporan keuangan perusahaan terlihat lebih baik dari realitas yang ada ini membuat window dressing kerap dikonotasikan negatif lantaran ada potensi memanipulasi angka, data, dan informasi yang tersaji dalam lapkeu.

Fenomena window dressing di BUMN mulai ramai disorot setelah skandal PT Asuransi Jiwasraya (Persero) terkuak ke publik.

Sebelum Erick Thohir memegang jabatannya saat ini, BUMN lain pun pernah melakukan tindakan serupa. Parahnya, ini juga terjadi bukan pada BUMN kecil, melainkan pada laporan keuangan maskapai raksasa, yakni PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) di tahun 2018 silam.

Saat itu, perseroan melaporkan untung US$ 5 juta atau setara Rp 70,02 miliar. Padahal, setelah ada penyesuaian pencatatan, maskapai penerbangan ini merugi US$ 175 juta atau setara Rp 2,45 triliun (kurs Rp 14.004/US$).

Alhasil, total sanksi denda yang harus diterima manajemen PT Garuda Indonesia Tbk (GIAA) saat itu mencapai Rp 1,25 miliar. Sanksi denda tersebut tak hanya diterima oleh Garuda Indonesia sebagai entitas perusahaan, tapi juga pada pengurus perseroan, baik direksi maupun komisaris.

Hal serupa kini terjadi di Jiwasraya. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyatakan laba keuangan PT. Asuransi Jiwasraya (Persero) sejak 2006 semu. Sebab, raupan laba itu diperoleh karena rekayasa laporan keuangan (window dressing). Misalnya pada 2017, perusahaan memperoleh laba Rp2,4 triliun tetapi tidak wajar karena ada kecurangan pencadangan Rp7,7 triliun.

Bukan tidak mungkin, sanksi lebih berat akan tertuju pada Jiwasraya. Apalagi, megaskandal tersebut menyangkut banyak orang. Lebih parahnya juga melibatkan warga negara asing. Jika kasus ini tidak diselesaikan dengan baik, maka kepercayaan dari masyarakat di dunia internasional bisa meluntur.

Jika sudah demikian, serta bayangan semrawutnya kondisi BUMN kini, Erick Thohir harus lebih berhati-hati dalam menyiasati bobroknya akhlak oknum Direksi dan Komisaris yang tidak amanah. Sikat habis Pak Erick!

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar