Menyingkap Omnibus Law Ala Jokowi dan Sisi Gelapnya

Kamis, 12/12/2019 06:30 WIB
Ilustrasi Omnibus Law (antara)

Ilustrasi Omnibus Law (antara)

Jakarta, law-justice.co - Dalam pidato pelantikannya di Gedung DPR MPR DPD RI pada Minggu 20/10/2019  yang lalu, Presiden Jokowi  menyinggung akan membuat sebuah konsep hukum perundang-undangan yang disebut Omnibus Law.

Segera setelah usai pidato, Presiden Jokowi menginstruksikan kepada Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian untuk bisa menyerahkan draft omnibus law ke Badan Legislatif (Baleg) DPR sebelum tanggal 12 Desember 2019. "Masa sidang DPR yang sekarang ini selesai 12 Desember. Jadi penyerahan sebelum akhir masa sidang.

Kemudian pembahasannya akan disampaikan di rapat berikutnya, pada pertengahan Januari 2020," ujar Sekretaris Menteri Kemenko Perekonomian Susiwijono Moegiarso di kantornya, Jumat (6/12/2019). Sementara konsep draft Omnibus law bergulir di DPR, di luaran banyak orang yang mulai mempertanyakan apa sesungguhnya Omnibus Law itu ?, Target apa yang sesungguhnya ingin dicapai Presiden Jokowi dengan gagasan Omnibus Lawnya ?, Apa tantangan untuk mewujudkannya ? Bagaimana pula sisi gelap yang akan muncul jika ide tersebut diwujudkan sebagaimana keinginannya ?

Mengenal Omnibus Law

Beberapa waktu belakangan ini, publik mendengar frasa ‘omnibus law’ bertubi-tubi dan terus bergaungnya frasa ini menyebabkan kebingungan di kalangan praktisi dan pengamat hukum yang notabene tidak pernah mempelajari atau lulus dari fakultas hukum di negara yang menganut sistem common law.

Secara umum, arti dari omnibus law harus ditelusuri dari omnibus bill. Berikut arti dari omnibus bill menurut Black’s Law Dictionary, 2nd edition: In legislative practice, a bill including in one act various separate and distinct matters, and particularly one joining a number of different subjects in one measure in such a way as to compel the executive authority to accept provisions which he does not approve or else defeat the whole enactment.

Terjemahannya ialah dalam praktek legislatif, sebuah rancangan undang-undang yang mengikutsertakan dalam satu undang-undang isu-isu yang terpisah dan berbeda-beda, dan terutama suatu rancangan yang menggabungkan beberapa subjek dalam satu tindakan di mana otoritas eksekutif didorong untuk menerima pasal-pasal yang ia tidak setujui kalau tidak akan mengagalkan keseluruhan pengundangan tersebut.

Jadi, pada intinya, secara sederhana, dapat dikatakan bahwa omnibus bill yang nantinya akan menjadi omnibus law ketika diundangkan, akan dapat mengatur banyak isu lintas sektor dalam satu dokumen sehingga terjadi yang namanya percepatan perundang-undangan.

Ini akan menjadi terobosan yang sangat unik dalam tatanan hukum Indonesia sebab hingga sekarang, Indonesia terkungkung dengan yang namanya prinsip  yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai principle of the unity of the subject matter, dalam bahasa Jerman disebut sebagai grundsatz der Einheit der Materie, dalam bahasa Perancis disebut sebagai principe de l`unité de la matière, dan dalam bahasa Italia disebut sebagai principio dell`unità della materia.

Di dunia hukum, omnibus law dikenal sebagai UU sapu jagat sebagai sebuah loncatan revolusi hukum. Praktik omnibus law pernah dilakukan Irlandia untuk melakukan perampingan peraturan perundangan yang dilakukan hanya lewat satu UU omnibus menghapus sekitar 3.225 UU. Capaian Irlandia dianggap sebagai rekor dunia praktik omnibus law.

Omnibus law dapat dianggap sebagai UU `sapu jagat` yang dapat digunakan untuk mengganti beberapa norma hukum dalam beberapa UU. Mekanisme ini dianggap lebih efektif dan efisien dalam proses pembuatan dan revisi UU. Saat ini, 62 ribu regulasi yang tersebar di berbagai lembaga membuat pembangunan terhambat. Untuk merampingkannya, perlu dibuat payung hukum dengan UU Konsolidasi.UU Konsolidasi diletakkan sebagai sumber kewenangan Presiden untuk mengeluarkan omnibus terikat kuat dengan UU Konsolidasi yang sudah secara jelas dan tegas mengatur subjek norma-norma yang akan diharmonisasi.

Kewenangan yang muncul dari UU itu akan relatif aman dari kepentingan politik karena UU Konsolidasi telah menjalani proses legislasi antara lembaga-lembaga terkait, sehingga perpres omnibus pun tidak dapat diselewengkan oleh penguasa.Dalam konteks hierarki perundang-undangan inilah eksistensi consolidation law diperlukan guna mengisi celah sistematisasi hukum perundang-undangan.

Sesunggunya gagasan perampingan peraturan sudah digaungkan Kemenkum HAM sejak 2015. Selain itu, para akademisi menyatakan sikap serupa. Dalam Konferensi Nasional Hukum Tata Negara (KNHTN) ke-4 di Jember pada 10-13 November 2017, dimana para pendekar hukum menghasilkan Rekomendasi Jember, yang meminta segera dirampingkan regulasi di Indonesia karena sudah sangat banyak.

Gagasan merampingkan hukum inilah yang kemudian dikonkretkan oleh  Pemerintah Jokowi melalui Omnibus law dengan mengajak  DPR menerbitkan dua undang-undang besar. Pertama, UU Cipta Lapangan Kerja. Kedua, UU Pemberdayaan UMKM.

"Segala bentuk kendala regulasi harus kita sederhanakan, harus kita potong, harus kita pangkas," ucap Jokowi dalam pidato pertamanya setelah dilantik jadi Presiden RI 2019-2024. Jokowi menyebut dua UU ini sebagai omnibus law. Dia menjelaskan maksudnya."Masing-masing UU tersebut akan menjadi omnibus law, yaitu satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU. Puluhan UU yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi sekaligus. Puluhan UU yang menghambat pengembangan UMKM juga akan langsung direvisi," pungkas Jokowi.

Target Omnibus Law Jokowi

Munculnya gagasan Omnibus Law dari Presiden Jokowi tidak lepas dari adanya mimpi untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju. Sehingga untuk mewujudkan Indonesia sebagai negara maju tersebut harus dilakukan langkah-langkah prioritas yang terkait dengan pembangunan sumberdaya manusia, infrastruktur, penyederhanaan birokrasi, transformasi ekonomi, dan penyederhanaan regulasi.

Terkait dengan penyederhanaan regulasi. Salah satu yang presiden tekankan adalah omnibus law, di mana banyak UU dan aturan yang menjadi penghambat, penuh kepentingan, dan segmentasi semata-mata akan dilakukan revisi dan perubahan besar-besaran.Ada dua prioritas UU yaitu cipta lapangan kerja dan UU UMKM. Ketenagakerjaan ini sering menjadi masalah ketika investor memilih  Vietnam karena di sana jarang ada demo atas nama buruh. Di sini bisa dilihat bagaimana buruh dengan kinerja buruk namun memiliki mau yang sangat banyak. Investor pilih yang aman dan nyaman.

UMKM dengan adanya star up memang perlu payung hukum dan juga potensi pajak dan pembinaan yang lebih baik sejatinya bisa menjadi kekuatan ekonomi yang luar biasa.  Lihat saja pedagang kaki lima itu, mereka mandiri, kuat, dan tangguh, perlu pembinaan agar makin memiliki daya saing. Pun warung dan toko kelontong, jangan sampai mati karena waralaba, kalau itu asing apalagi.

Dengan demikian tujuan Omnibus Law  menurut Jokowi, adalah untuk menyederhanakan, memotong, dan memangkas regulasi yang dilihatnya sebagai kendala ekonomi. Jadi kepentingan ekonomi menjadi salah satu alasan utama Jokowi untuk menerbitkan dua UU Besar  melalui Omnibus Law ini.

Sebenarnya pada September 2019 lalu, kebutuhan akan omnibus law ini pernah disinggung atau mungkin bisa juga dikatakan disetujui oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian) Darmin Nasution, Menteri Koordinator bidang Kemaritiman (Menko Kemaritiman) Luhut Binsar Panjaitan, dan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani.

Pada saat itu, ketiganya mengatakan bahwa pemerintah akan merombak 72 UU terkait perizinan investasi dengan skema omnibus law sebagai payung hukum baru. Tujuan perombakan ini adalah untuk mempermudah dan mendorong investasi di Indonesia. Karena banyak pihak menilai bahwa Indonesia memiliki terlalu banyak regulasi.

Menurut data Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham), saat ini Indonesia memiliki 42.688 regulasi mulai dari aturan di tingkat pusat seperti UU, hingga di level daerah seperti daerah (Perda).Kondisi ini bahkan membuat pemerintah sendiri mengakui bahwa Indonesia mengalami “obesitas” regulasi.

Obesitas regulasi ini kemudian berdampak negatif salah satunya terhadap perekonomian Indonesia, yaitu terhambatnya pertumbuhan ekonomi.Selain keperluan untuk mengurangi jumlah regulasi, pemilihan sektor lapangan kerja dan UMKM sebagai target deregulasi ini menjadi penting, mengingat peran sentral keduanya dalam perekonomian Indonesia.

Menurut data Kementerian Kooperasi dan UKM, 99,99 persen dari total pelaku usaha di Indonesia adalah UMKM. Selain itu UMKM juga menyerap sekitar 97 persen tenaga kerja nasional.Kemudian, pada tahun 2018 lalu, 60 persen atau sekitar Rp 8.400 triliun Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia juga berasal dari UMKM.

Tidak berhenti di situ, bahkan menurut Arif Budimanta, Wakil Ketua Komite Ekonomi dan Industri Nasional (KEIN), UMKM menjadi kunci jika Indonesia ingin keluar dari jebakan pertumbuhan ekonomi 5 persen. Bahkan, lanjut Arif, jika memanfaatkan UMKM, ekonomi Indonesia bisa tumbuh lebih dari 7 persen setiap tahunnya.

Pertumbuhan ekonomi ini juga, secara teori, akan berdampak positif pada penyerapan tenaga kerja, di mana menurut pemerintah, setiap 1 persen pertumbuhan ekonomi dapat membuka 350 ribu lapangan kerja baru.Pemerintah sendiri menaikkan target penciptaan lapangan kerja baru dari 10 juta selama 2014-2019, menjadi 12,8 juta selama 2020-2024.

Kebutuhan akan pertumbuhan ekonomi di atas lima persen ini juga berkaitan dengan target pemerintah untuk menjadikan Indonesia sebagai negara maju pada tahun 2045 dengan pendapatan per-kapita mencapai Rp 320 juta per-tahun, PDB US$ 7 triliun, kemiskinan mendekati nol persen, dan Indonesia masuk lima negara dengan perekonomian terbesar di dunia.

Selain kepentingan ekonomi masyarakat dan negara, perbaikan disektor ekonomi ini juga sarat akan kepentingan politik Jokowi itu sendiri.Hal ini berkaitan dengan menurunnya tingkat kepuasan publik terhadap Jokowi, di mana sektor ekonomi, termasuk lapangan pekerjaan dan pertumbuhan ekonomi, menjadi salah satu sektor dengan tingkat kepuasaan terendah.

Keperluan untuk meningkatkan popularitas serta legitimasi periode pemerintahannya yang kedua melalui UU Cipta Lapangan Kerja dan Pemberdayaan UMKM dapat menjadi strategi yang tepat, mengingat kedua UU ini secara langsung mempengaruhi hajat hidup orang banyak.

Jadi melalui Omnibus Law, Presiden Jokowi mengharapkan adanya satu atau dua  undang-undang yang sekaligus mampu merevisi beberapa, bahkan puluhan undang-undang yang menghambat penciptaan lapangan kerja dan  menghambat pengembangan UMKM.

“Masing-masing undang-undang tersebut akan menjadi Omnibus law, yaitu satu undang-undang yang sekaligus merevisi beberapa undang-undang, bahkan puluhan undang-undang. Puluhan undang-undang yang menghambat penciptaan lapangan kerja langsung direvisi sekaligus. Puluhan undang-undang yang menghambat pengembangan UMKM juga akan langsung direvisi sekaligus,” kata Jokowi dalam pidatonya saat acara pelantikan tersebut.

Apa yang dimaksud dari penciptaan lapangan kerja? Untuk mengetahui pengertian penciptaan lapangan kerja yang dimaksud, kita perlu melacak pidato Presiden Jokowi sebelumnya. Dalam salah satu pidatonya Presiden Jokowi mengatakan bahwa seluruh pejabat negara untuk `tutup mata` dalam memberikan izin berusaha pada kegiatan investasi di Indonesia.

Jadi penciptaan lapangan kerja yang dimaksud dalam Omnibus Law, tak jauh-jauh dari persoalan investasi.Logikanya, investasi mendorong pertumbuhuan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menciptakan lapangan kerja. Itulah kiranya yang menjadi target dan sasaran yang ingin dicapai oleh pemerintah Jokowi dengan memunculkan gagasan Omnibus Law pada akhir akhir ini.

Hambatan dan Tantangan Mewujudkan Omnibus Law

Seperti produk UU pada umumnya, omnibus law membutuhkan dukungan dan persetujuan dari DPR. Dukungan ini tidak akan lepas dari bagaimana hubungan sang presiden dengan DPR. Dalam hal ini pembahasan omnibus law tidak akan mudah mengingat dibutuhkannya negosiasi dengan fraksi-fraksi di DPR serta banyaknya isu yang dibahas sekaligus dalam hukum ini.

Selain itu untuk mewujudkan omnibus law, akan banyak sekali peraturan teknis yang mesti disinkronisasi. Padahal di Indonesia amat banyak peraturan teknis dalam bentuk peraturan menteri, keputusan menteri, surat edaran, dan sebagainya. Aturan teknis juga sering tersebar di banyak undang-undang. Sebagai contoh  aturan terkait investasi tidak hanya ada di Undang-undang Penanaman Modal, tapi juga ada di UU terkait lingkungan hidup, ketenagakerjaan, izin, dan sebagainya. Dia berujar pemerintah mesti memiliki satu badan untuk meneliti dan merapikan semua aturan itu.

Belum lagi  proses di Dewan Perwakilan Rakyat yang juga akan sulit. Secara teknis, DPR memerlukan kesiapan dan model pembahasan yang lain dari biasanya. Selain itu proses politik juga dinilai akan menjadi kendala dalam pembentukan omnibus law ini.

Selain itu pemerintah dan DPR harus patuh terhadap asas-asas pembentukan peraturan perundang-undangan baik secara substansi maupun prosedur formal, sebagaimana diatur di dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagaimana diubah dalam UU Nomor 15 Tahun 2019. Pemerintah dan DPR juga perlu membuka partisipasi publik seluas-luasnya serta kelompok terdampak dalam setiap tahap pembahasan peraturan, dan tidak melakukan pembahasan tertutup yang hanya melibatkan segelintir elite.

Selain itu, pembahasan harus dilakukan secara transparan dan akuntabel melalui penyediaan data dan informasi yang mudah diakses pada setiap tahap pembentukan UU. Berikutnya, mengedepankan prinsip yang menopang demokrasi, seperti perlindungan hak asasi manusia, antikorupsi, keberpihakan terhadap kelompok rentan, dan pelestarian lingkungan hidup dalam setiap tahap pembentukan undang-undang.Terakhir, perlu menempatkan pendekatan omnibus law sebagai cara membenahi regulasi secara menyeluruh dan tidak semata-mata bertujuan tunggal dalam rangka mempermudah investasi yang berpotensi mengabaikan kepentingan masyarakat.

Pada akhirnya harus disadari bahwa konsep omnibus law memang belum terlalu dikenal di Indonesia karena belum diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 sebagaimana diubah oleh Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang  Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Lantas, hambatan apa saja yang ada selain karena konsep ini belum diatur hirarkinya dalam tatanan hukum Indonesia?

Salah satunya Omnibus Law akan bersinggungan dengan konsep otonomi daerah. Sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Menjadi Undang-Undang, Indonesia mengenal yang namanya desentralisasi sehingga terdapat pembagian kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Lantas, apabila nantinya terdapat omnibus law, terdapat kemungkinan bahwa ada tekanan dari pemerintah daerah apabila ada pasal-pasal yang merugikan kepentingan pemerintah daerah tertentu.

Selain itu Omnibus Law hanya  akan menjadi obat efektif sementara. Karena terdapat kemungkinan pembuatan berbagai undang-undang baru yang memiliki ciri sebagai suatu omnibus law semakin banyak dan merebak ke berbagai sektor lain, tidak hanya di bidang investasi. Perlu dikaji lebih lanjut bagaimana agar undang-undang yang memiliki ciri omnibus law tidak justru membuat kacau tatanan hukum Indonesia, baik dari segi hirarki maupun materi yang diatur.

Apabila kedua masalah di atas dapat diselesaikan dan diketahui bagaimana cara efektif menanggulanginya, tentu konsep omnibus law dapat berjalan dengan lancar di Indonesia. Karena sudah terlalu lama peraturan-peraturan yang dibentuk di daerah maupun pusat justru saling bertolak belakang dan tidak kondusif bagi iklim investasi di Indonesia. Semoga dengan diperkenalkannya konsep omnibus law ini di Indonesia, semakin banyak progres yang terjadi dalam proses perundang-undangan aturan yang semakin mempermudah investasi di Indonesia sehingga investor asing dan dalam negeri semakin memprioritaskan Indonesia sebagai negara tujuan investasi.

Mewaspadai Sisi Gelap Omnibus Law

Dalam salah satu pidatonya Presiden Jokowi mengatakan bahwa seluruh pejabat negara untuk `tutup mata` dalam memberikan izin berusaha pada kegiatan investasi di Indonesia. Jadi penciptaan lapangan kerja yang dimaksud dalam Omnibus Law, tak jauh-jauh dari persoalan investasi.

Logikanya, investasi mendorong pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi menciptakan lapangan kerja. Karena itu  sudah seharusnya aturan yang menghambat investasi dibabat habis supaya investasi bisa masuk tanpa kendala.

Sampai disini banyak orang yang kadang kadang lupa mengenai dampak negative dari adanya investasi. Karena harus disadari  tidak semua investasi itu berdampak baik bagi masyarakat. Sebagian (bahkan mungkin sebagian besar) investasi justru berdampak buruk bagi masyarakat jikat tidak dikendalikan.

Investasi yang menabrak tata ruang wilayah misalnya, seringkali justru menyebabkan bencana ekologi. Investasi yang menabrak aturan linkungan hidup juga sama dampaknya bagi masyarakat, yaitu bencana ekologi.

Investasi yang menginjak-injak hak asasi manusia (HAM) juga menyebabkan kesengsaraan terhadap buruh, tani, nelayan dan kaum miskin lainnya.Makanya dibayangkan jika aturan-aturan terkait tata ruang, lingkungan hidup dan HAM dinilai menghambat investasi dan harus dibabat oleh Omnibus Law. Kita misalnya, akan melihat jutaan petani akan kehilangan sumber-sumber kehidupannya untuk memperlancar investor di sektor industri. Kita juga akan melihat kerusakan alam yang meluas akibat investasi di industri ekstraktif. Kita juga akan melihat derita kaum buruh karena hak-hakya dirampas oleh para pemilik modal.

Omnibus Law akan memiliki sisi gelap bila aturan-aturan terkait tata ruang, lingkungan hidup dan HAM (termasuk perburuhan), dimasukan dalam katergori aturan yang menghambat investasi. Jika itu yang terjadi, mungkin pertumbuhan ekonomi yang tinggi bisa terjadi tapi dengan mengorbankan manusia dan alam yang tidak ternilai. Omnibus Law pada akhirnya hanya akan menjadi alat  penyingkiran kaum miskin dari golongan nelayan, kaum buruh  dan petani. 

Dalam UU Cipta Lapangan Kerja ala Omnibus Law Jokowi, itu terbagi dalam 11 cluster atau kelompok. Salah satu contohnya adalah cluster penyederhanaan perizinan tanah dan pengendalian lahan. Termasuk yang dinilai pemerintah menghambat investasi, yakni tidak ada lagi mengenai Izin Mendirikan Bangunan (IMB) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL).

Hal tersebut menimbulkan kekhawatiran masyarakat akan isu lingkungan hidup dan simplifikasi permasalahan dengan menganggap enteng soal dampak kerusakan lingkungan hidup serta konsep upah buruh murah yang semakin mempersulit buruh di tengah serbuan buruh impor China yang siap dibayar lebih murah. Belum lagi pemberian insentif pajak murah bagi para investor asing. Lengkaplah sudah dari hulu ke hilir semua proses dan hasil Omnibus Law memang lebih menguntungkan para investor dan kaum kapitalis.

 

Penghapusan IMB tentu berdampak pada Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) yang selama ini sudah berlaku baku berpuluh tahun. Sedangkan Amdal, bagi wilayah yang memiliki RDTR maka tidak lagi diperlukan, atau sesuai dengan Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup nomor 24 tahun 2018 tentang Pengecualian Kewajiban Menyusun Analisis Mengenai Dampak Lingkungan untuk Usaha dan/atau Kegiatan yang Berlokasi di Daerah Kabupaten/Kota yang telah memiliki RDTR maka peluang penyederhanaan perizinan melalui penghapusan AMDAL terbuka lebar.

Sebenarnya yang menjadi hambatan investasi bukan masalah IMB dan AMDAL-nya melainkan lamanya proses perizinan tersebut karena menjadi peluang korupsi bagi aparat yang mengurusnya. Harusnya pemerintah mereformasi dan membersihkan dulu aparat birokrat pelaksananya. Apa gunanya Omnibus Law jika aparatnya masih bermental korup dan setia dengan budaya KKN. Jangan mau menangkap tikus tapi ikut semua rumahnya harus dibakar Pak Presiden!.

 

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar