Delapan Mitos Vaksin yang Sebabkan Campak Kembali Mewabah

Minggu, 08/12/2019 20:02 WIB
Ilustrasi (DW)

Ilustrasi (DW)

[INTRO]

Dibandingkan tahun 2018, berdasarkan data Badan Kesehatan Dunia (WHO) jumlah kasus campak bertambah berkali lipat selama tiga bulan pertama 2019.

WHO menyebut data sementara mengindikasikan sebuah `tren yang jelas` di berbagai belahan dunia yang terjangkit campak. Di Afrika, kemunculan penyakit ini meningkat hingga 700%.

Campak terkadang dapat memicu komplikasi penyakit serius, termasuk infeksi paru-paru dan otak. Dampaknya akan sangat fatal.

Secara global, penyakit ini membunuh 140.000 orang di seluruh dunia selama 2018, menurut data WHO. Angka itu muncul walau vaksin telah diperkenalkan ke publik lebih dari 50 tahun lalu.

Menurut WHO, sebelum kemunculan vaksin tahun 1963, epidemi penyakit campak terjadi setidaknya setiap dua hingga tiga tahun sekali. Saat itu, campak disebut menyebabkan 2,6 juta kematian setiap tahun.

Namun WHO mengkalkulasi bahwa selama 18 tahun terakhir vaksin campak telah menyelamatkan 23 juta jiwa. Meski begitu, WHO menyebut tingkat vaksinasi secara global stagnan.

Pertanyaannya, mengapa tingkat vaksinasi penting untuk mengontrol penyebaran campak? Dan, mengapa tingkat vaksinasi itu menurun?

Batas aman

WHO mendaftar pencapaian dan berita bohong yang berkembang tentang vaksin sebagai faktor utama di balik wabah campak yang meluas.

"Secara umum sejumlah kasus campak di sebuah negara dapat secara cepat bertambah menjadi ratusan ribu kasus karena tidak adanya proteksi dari vaksin," demikian pernyataan WHO.

Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) menyebut campak merupakan penyakit yang dapat dicegah dengan vaksinasi yang tepat.

Namun persentase imunisasi awal secara global terhenti di angka 85% dari setidaknya 95% yang dibutuhkan untuk mencegah wabah.

Di Madagaskar misalnya, vaksinasi campak diperkirakan hanya mencapai 58% dari total penduduk.

Ini adalah dampak berbagai mitos tentang vaksin yang telah beredar begitu lama dan tentang luasan wabah yang disebut telah menyempit.

Fenomena tersebut terjadi walau bukti ilmiah menunjukkan sejumlah manfaat vaksinasi.

1. `Vaksin dapat memicu autisme`

Tingkat imunisasi yang menurun di negara Barat selama beberapa dekade terakhir berkaitan dengan ahli bedah asal Inggris, Andrew Wakefield.

Wakefield menyebut vaksin MMR untuk campak, penyakit gondok, dan rubela merupakan penyebab kasus autisme yang meningkat di kalangan anak-anak Inggris.

Pernyataan itu muncul dalam artikel Wakefield yang terbit tahun 1997 di jurnal kesehatan prestisius, The Lancet.

Sejumlah kajian menyangkal hubungan kausalitas antara vaksin tersebut dengan autisme. Belakangan, The Lancet menarik artikel itu. Wakefield juga dicoret dari daftar perkumpulan ahli medis Inggris.

Bagaimanapun, setelah pernyataan keliru Wakefield, tingkat vaksinasi MMR di Inggris turun dari 92% pada 1996 menjadi 84% pada 2002.

Persentase itu perlahan meningkat ke angka 91%, walau masih di bawah batas aman yang dianjurkan WHO yaitu 95%.

2. `Sistem imun anak tidak dapat menanggung banyak vaksin`

Bayi dan balita harus mendapatkan setidaknya 11 vaksin sebelum mereka berusia dua tahun. Namun sejumlah orang tua khawatir sistem imun anak mereka akan mengalami tekanan akibat vaksin tersebut.

Kekhawatiran utama didasarkan pada sistem kerja vaksin yang memasukkan virus atau bakteri penyebab penyakit tertentu ke dalam tubuh.

Para ilmuwan menggunakan versi lain bakteri sehingga tidak benar-benar memicu penyakit.

Tujuan utama vaksin justru mempersiapkan tubuh untuk beraksi saat berkontak dengan `penyakit sesungguhnya`.

"Bayi mengembangkan kemampuan merespons antibodi (zat yang bisa memicu imun tubuh) bahkan sebelum mereka lahir," kata dokter anak asal Amerika Serikat, Paul Offit.

Kajian Offit itu dianggap satu dari sedikit pembuktian ilmiah atas hubungan vaksin dan sistem imun bayi.

"Dalam beberapa jam setelah kelahiran, bayi dapat mengaktifkan imun terhadap vaksin," kata Offit.

3. `Penyakit sudah hilang sebelum vaksinasi`

Argumentasi ini dapat terjadi dan terbukti setara dengan dampak vaksin. Namun argumen itu harus didukung situasi sosial ekonomi yang lebih baik: sanitasi dan nutrisi, misalnya.

Benar bahwa situasi tersebut dapat menurunkan kemunculan penyakit sebelum vaksinasi. Namun percepatan penurunan infeksi penyakit menunjukkan bahwa vaksin memegang peran vital.

Merujuk data Pusat Pencegahan dan Pengawasan Penyakit Amerika Serikat misalnya, jumlah kematian akibat campak menurun dari 5.300 kasus pada tahun 1960 ke angka 450 pada 2012.

Vaksin campak pertama kali tiba di AS tahun 1963.

Namun vaksinasi tidak hanya memperkuat angka bertahan hidup. Secara dramatis vaksinasi juga menurunkan jumlah kasus campak selama periode 1963 hingga 1968.

Ada pula bukti sahih yang menyebut bahwa penurunan angka vaksinasi dapat memicu berkembangnya wabah campak.

Pada dekade 1970-an, di Swedia dan Jepang, terdapat peningkatan kasus kematian akibat penyakit yang bisa dicegah lainnya, yaitu batuk rejan. Penyebabnya, kala itu semakin sedikit anak di negara tersebut yang divaksin.

4. `Mayoritas orang sakit sudah pernah divaksin`

Para penyokong gerakan penolakan vaksin menggunakan argumen ini.

Tidak ada vaksin yang 100% efektif. WHO menyebut vaksinasi yang rutin terbukti hanya manjur terhadap sekitar 85-95% anak.

Setiap orang bereaksi secara berbeda terhadap vaksin. Artinya, tidak semua orang mampu mengembangkan sistem imun yang tangguh.

Jumlah orang yang sakit akibat tidak mendapatkan vaksin lebih tinggi ketimbang mereka yang sakit setelah vaksinasi.

5. `Konspirasi Big Pharma bahwa ada kepentingan bisnis besar di balik vaksinasi`

Ekonom kesehatan di WHO, Miloud Kadar, memperkirakan nilai ekonomi industri vaksin secara global bernilai Rp336 triliun pada tahun 2013.

Pada tahun yang sama, angka itu setara kurang dari 3% nilai pasar industri farmasi.

Beberapa tahun terakhir, produsen vaksin memanfaatkan momentum, terutama perluasan program imunisasi di negara industri seperti China.

Keputusan sejumlah kelompok masyarakat ekonomi atas, seperti pendiri Microsoft, Bill Gates, untuk membiayai penelitian dan pengembangan imunisasi turut memajukan industri vaksin.

Alasan lain adalah setiap orang kini harus mengeluarkan banyak uang untuk mengobati penyakit.

Sebuah kajian tahun 2016 yang dilakukan Johns Hopkins University memperkirakan, setiap US$1 atau Rp14 ribu yang diinvestasikan untuk vaksinasi di 94 negara termiskin di dunia dapat menghemat $16 atau Rp224 ribu biaya asuransi, upah hingga produktivitas yang hilang akibat penyakit dan kematian.

6. `Negara saya tak lama lagi dapat menghilangkan campak sehingga saya tak perlu vaksin`

Meski vaksinasi telah mengurangi dampak penyakit yang dapat dicegah di sejumlah negara, bukan berarti seluruh penyakit itu benar-benar dapat dikontrol secara global.

Sebagian penyakit itu menyebar bahkan menjadi endemik di salah satu bagian dunia. Penyakit itu dapat secara mudah berpindah akibat globalisasi.

Penyakit menular itu juga bisa muncul lagi di negara yang angka vaksinasinya menurun.

Kasus penyakit yang terjadi di Eropa meningkat tiga kali lipat antara 2017 dan 2018, mencapai hampir 83 ribu atau yang tertinggi selama satu dekade terakhir.

7. `Vaksin mengandung racun berbahaya`

Kekhawatiran orang tua lainnya adalah penggunaan formalin, merkuri, dan alumunium dalam vaksin.

Seluruh zat tersebut sangat mematikan jika dikonsumsi pada level tertentu.

Namun jumlah tiga zat itu dalam vaksin tidak mencapai level yang berbahaya. Menurut Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS, 0,5 mililiter vaksin mengandung 25 mikrogram merkuri. Kandungan yang sama juga terdapat dalam 85 gram ikan tuna kaleng.

8. `Vaksin adalah konspirasi Barat`

Keyakinan bahwa vaksin adalah strategi menyerang warga sipil masih terus dipegang sebagian orang.

Di Nigeria bagian utara, upaya menangani polio dihadang keyakinan bahwa vaksin dapat memicu HIV dan menyebabkan kemandulan pada perempuan.

Di kawasan itu, serangan terhadap petugas medis bukan hal yang ganjil.

Keyakinan yang tidak sahih itu juga terdapat di Afganistan dan Pakistan. Dua negara itu, bersama Nigeria, masuk daftar sedikit negara yang masih mengalami endemik polio.

Maret 2011, Badan Intelijen Pusat AS (CIA) menggelar vaksinasi hepatitis B palsu di Pakistan. Tujuan mereka adalah menemukan sampel DNA pimpinan al-Qaida, Osama Bin Laden dan menemukan keberadaannya.

Operasi intelijen itu terungkap dan justru semakin meningkatkan ketidakpercayaan terhadap vaksin di negara dengan tingkat vaksinasi rendah.

Sumber: BBC Indonesia

 

(Liesl Sutrisno\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar