Saat Rakyat Muak Tak Percaya Pada Polisi,Jaksa & Hakim,Terus Apa?

Sabtu, 30/11/2019 08:00 WIB
Ilustrasi Fakta Penegakan Hukum yang Adil Sulit Diraih Rakyat yang Jatuh Bangun Berjuang Mencari Keadilan (LPM Arena)

Ilustrasi Fakta Penegakan Hukum yang Adil Sulit Diraih Rakyat yang Jatuh Bangun Berjuang Mencari Keadilan (LPM Arena)

Jakarta, law-justice.co - “Bagiku beginilah bunyi keadilan: keadilan tidaklah sama dan tidak akan menjadi sama.” (Frederick Nietzche, dalam Thus Spoke Zarathustra)

“Yang namanya polisi, jaksa, apalagi peradilan, saya tidak pernah percaya!” katanya kecewa. Ungkapan kekecewaan ini disampaikan oleh seorang ibu yang bernama Agustina Munawar atau biasa dipanggil bu Titin pada suatu sore di kantor law-justice.co beberapa waktu yang lalu. Lalu siapakah Titin ? Titin adalah anak dari istri kedua almarhum Munawar yang merupakan sala satu keluarga ahli waris pemilik lahan seluas seluas 12,5 hektar yang sekarang dikuasai oleh Agung Podomoro group. Dilahan seluas 12,5 hektar itu  kini berdiri sebuah “kota mini” atau nama kerennya superblock, Podomoro City namanya.

Tanah yang sekarang berdiri Podomoro City itu sejatinya adalah milik almarhum Munawar bin Salbini, seorang tentara yang bertugas di bagian intelijen pada masa pemerintahan Orde Lama. Namun berkat kepiawaian seorang mafia tanah yang bernama Lieo Nam Kiong atau Leo, akhirnya tanah itu berpindah tangan sehingga dikuasai oleh Agung Podomoro Group hingga sekarang.

Untuk mendapatkan kembali haknya, Titin  dan saudara-saudaranya telah berjuang mati-matian antara lain dengan mengajukan gugatan melawan Agung Podomoro sejak tahun 2001. Pada akhirnya Putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat  menyatakan bahwa tanah seluas 12,5 hektar tersebut adalah milik ahli waris almarhum Munawar bin Salbini. Putusan PN Jakarta Barat itu kemudian diperkuat oleh putusan Peninjauan Kembali (PK) dari Mahkamah Agung (MA) yang menyatakan bahwa sertifikat yang dimiliki oleh Agung Podomoro Land tidaklah sah. Artinya, sertifikat yang asli masih tetap berada di tangan ahli waris.

Tetapi aneh dan ajaibnya, Putusan PN Jakbar dan PK MA bahkan tak pernah dilaksanakan oleh Badan pertanahan Nasional (BPN). Malah sebaliknya, BPN menerbitkan sertifikat-sertifikat baru yang dimiliki oleh beberapa pihak, meskipun tanah tersebut tidak pernah diperjualbelikan kepada orang lain.

Atas ketidakadilan ini,  tentu saja Titin tidak tinggal diam. Ia  kemudian melaporkan kasusnya ini ke polisi dengan harapan mendapatkan keadilan. Tapi nyatanya hanya kegagalan demi kegagalan yang dialaminya. Pengalaman buruk tersebut akhirnya menimbulkan rasa sakit hati dan benci yang mendalam bagi Titin, terhadap bobroknya penyelenggara negara di Indonesia. Sampai kemudian ia menyatakan tidak lagi percaya kepada polisi, jaksa dan peradilan. “Yang namanya polisi, jaksa, apalagi peradilan, saya tidak pernah percaya!” katanya kecewa.

Untuk diketahui bahwa polisi, jaksa dan pengadilan (hakim) merupakan insan-insan penegak hukum.  Mereka adalah  orang atau otoritas negara yang diberi wewenang menurut undang-undang untuk menegakkan hukum, menciptakan ketertiban dan memenuhi rasa keadilan oleh semua pihak. Selain  polisi, jaksa, dan hakim, advokat juga bagian dari penegak hukum karena menurut undang-undang diberi kekuasaan untuk menegakkan kepastian hukum, keadilan, kemanfaatan dan menciptakan ketertiban sosial dalam masyarakat.

Kembali kepada kasus Titin, bahwa apa yang dialami oleh Titin dan saudara-saudaranya bisa jadi menjadi potret “telanjang” tentang keadaan penegakan hukum di Negara kita.  Sebuah gambaran kasat mata betapa hukum dan keadilan yang begitu mahal dan langka dirasakan oleh warga bangsa khususnya mereka yang tidak mempunyai cukup uang dan kekuasaan.

Tentunya bukan hanya Titin dkk yang mengalami nasib malang seperti itu tetapi ada ribuan bahkan mungkin jutaan yang mendapatkan perlakuan yang sama. Disinyalir penyebab utama dari kondisi ini adalah moral aparat penegak hukum yang sudah jatuh sehingga telah memutuskan urat malunya.  Aparat penegak hukum yang tidak bermoral inilah yang menyebabkan hukum berada dalam posisi yang inferior, tidak mempunyai keunggulan dan tidak dapat dipercaya oleh para pencari keadilan pada umumnya.

Nilai keadilan dan kepastian hukum terdegradasi dan tidak memiliki kekuatan yang bisa diandalkan ketika hukum tidak `dikendarai` oleh aparat penegak hukum yang bermoral baik dan dapat dipercaya.  Sejak kapan sebenarnya aparat penegak hukum itu terdegradasi moralnya sehingga menyebabkan hukum yang berkeadilan belum bisa tegak di Indonesia?. Mengapa aparat penegak hukum mengabaikan nilai keadilan dan moralitas sehingga membuat hukum menjadi inferior dan meragukan kehendak baik para pencari keadilan pada umumnya ?

Sudah Lama Terjadinya

Sesungguhnya wajah penegakan hukum yang terjadi pada hari ini merupakan hasil dari rentetan panjang praktek penegakan hukum di Indonesia  yang tidak berkeadilan. Praktek penegakan hukum yang tidak berkeadilan itu sudah berlangsung  sejak  lama. Boleh dikata hukum itu sendiri sudah lama lenyap sejak tahun 1965, ketika kejahatan kemanusiaan terjadi dan tak satupun yang dapat dimintai pertanggung-jawabannya.

Pada masa Orba berkuasa hukum dibuat oleh penguasa sendiri untuk memenuhi  kepentingan dirinya. Aturan itu yang membuatnya dengan gampang membonsai partai politik, membunuhi siapa saja dan melarang kegiatan yang dianggap membahayakan kekuasaaannya. Sudah menjadi kelaziman saat itu kalau hukum digunakan hanya untuk ‘dalih’ pemenuhan kepentingan penguasa.

Saat dirinya jatuh maka Soeharto pun secara mahir dilindungi oleh hukum pula. Tak ada pengadilan untuknya dan tak ada keadilan bagi korban-korban kejahatannya. Jika kemudian hukum mau ditegakkan maka itu seperti sebuah lamunan belaka. Ada  jutaan nyawa melayang begitu saja tanpa ada yang tahu siapa penanggung jawabnya.

Sasaranya bisa berurutan dengan nama beragam: kiri, Islam radikal, teroris, sesat dan penghambat pembangunan. Semua orang yang mendapat label itu bisa dipenjara, dicabut haknya dan dibunuh tanpa peradilan sebagaimana mestinya. Sebutannya untuk zaman sekarang adalah kriminalisasi atau dicari-cari kesalahannya. Kriminalisasi telah berjalan secara massal, sistematis dan memakan jutaan korban nyawa.

Kejahatan kemanusiaan itu berlangsung karena dukungan banyak kalangan dilingkaran penguasa. Aparat hukum dan pengadilan telah jadi tumpuan untuk operasi kekejian itu: pembantaian massal, hukuman kolektif hingga ditetapkanya seorang jadi tersangka. Orang awam sudah terlanjur curiga bahwa urusan hukum itu akan menghabiskan banyak biaya dan belum tentu keadilan akan didapatnya. Mereka diajari oleh sejarah dan kenyataan yang gelap bahwa hukum itu terlampau sering disalah-gunakan oleh pemegang kuasa. Hukum bisa bertukar peran jadi alat pembayaran dan barter kepentingan diantara pemegang kuasa.

Bahwa hukum dan keadilan telah menjadi barang mahal di negeri  ini sudah bisa dirasakan bersama. Secara implisit “hukum dan keadilan” saat ini telah berubah menjadi suatu komoditas yang dapat diperdagangkan kepada semua orang yang berminat membelinya. Ironisnya tidak sedikit bagian dari masyarakat kita sendiri yang berminat sebagai pembelinya.

Keadilan dan kepastian hukum seolah-olah tidak bisa diberikan secara gratis kepada seseorang jika disaat yang sama ada pihak lain yang menawarnya. Di negeri ini, meminjam argumentasi Drs. M. Sofyan Lubis, SH, law enforcement atau penegakan hukum diibaratkan bagai menegakkan benang basah dengan kata lain “sulit dan susah untuk diharapkan”.

Selain itu, penegakan hukum juga dirasakan tebang pilih alias hanya menyasar rakyat yang tidak berdaya. Masih ingat kita kasus nenek Minah yang di hukum penjara hanya gara gara mengambil 3 biji kakao di kebon orang kaya. Masih ingat kita kasus  Erwansyah remaja putus sekolah usia 17 tahun, yang dituntut hukuman 1 tahun 2 bulan karena mencuri sandal jepit di sebuah rumah dekat kediamannya.

Pada waktu yang bersamaan di ruang sidang lainnya masih di Pengadilan Negeri yang sama seorang pejabat pemerintah daerah yang didakwa atas kejahatan korupsi senilai 1,5 Miliar karena menilep dana program pembangunan desa, dituntut oleh JPU 1 tahun penjara. Ada juga kasus korupsi milyaran  yang dilakukan oleh kader sebuah partai tapi tidak diproses sebagaimana mestinya.

Cerita tentang dua kisah semacam diatas telah sering kita dengar di rimba belantara hukum tanah air kita. Perlakuan yang berbeda (anequal treatment) terhadap para terdakwa atas suatu perkara yang sama atau jenis perkara yang berbeda secara kualitas namun diperlakukan secara sama dan sederhana dengan perkara yang biasa. Demikian sama halnya dengan cerita Erwansyah yang nyolong sendal plus pakaian yang dituntut JPU penjara 1 tahun 2 bulan dan pejabat yang nilep uang rakyat Rp.1 Miliar yang dituntut JPU cuma 1 tahun penjara.

Masing-masing aparat penegak hukum memang mempunyai pertimbangan yang berbeda tergantung selera. Yang jelas cerita Nenek Minah dan Erwansyah hanyalah gumpalan kecil dari reruntuhan gunung es ketidakadilan yang setiap waktu menyergap dalam perasaan kita. Kalau sudah begitu rasanya keadilan itu lebih mudah didapatkan dengan cara purba.

Ketika zaman dimana individu di masyarakat yang mendapatkan aib atau serangan dari orang lain maka orang itu sah dan adil bila melakukan pembalasannya secara individual terhadap orang yang menimbulkan aib atau serangan itu kepadanya. Penegakan hukum dan penjatuhan sanksi tidak lain dari pada luapan rasa marah yang sangat hebat dari orang yang telah diganggu hak-haknya.

Dalam eskalasi yang lebih ekstrem, pembalasan terhadap orang lain yang masih satu kelompok (klan) meskipun bukan dia pelaku kejahatannya atau orang yang menyerang tadi maka tetap dianggap sah dan adil sesuai prinsip pembalasan yang dipercaya membawa nilai pemulihan atas pelanggaran hukum yang telah dilakukan tersangka. Hutang darah dibalas dengan darah sehingga balasannya setimpal dengan akibat perbuatannya.

Tetapi di zaman kemajuan yang serba modern ini keadilan justru semakin langka. Penegakan hukum hanya menyasar orang yang tidak punya kuasa. Hukum tumpul keatas tajam kebawah sudah menjadi praktek keseharian sehingga sudah dianggap biasa biasa saja. Alhasil apatisme kepada penegakan hukum semakin merajalela. Orang menjadi enggan untuk melaporkan masalah hukum kepada aparat. Mengapa?  

Karena pengalaman seringkali terjadi , hari ini kehilangan ayam kalau lapor nanti malah bisa kehilanagan sapi, begitu adagium yang sering terdengar ketika orang mengadukan perkaranya. Agaknya sudah lama  terjadi defisit kepercayaan dalam penegakan hukum sejak jaman Orba bahkan mungkin saja sejak Indonesia merdeka. Dan karenanya  tiap orang akan berusaha menghindar dari urusan hukum dan dunia hukum pada umumnya.

Warisan wajah penegakan hukum sejak jaman Orba bahkan jauh di era sebelumnya ini sepertinya suda mendarah daging sehingga tetap saja mewarnai penegakan hukum sampai pemerintah yang sekarang berkuasa. Wajah penegakan hukum pemerintah sekarang dinilai mirip mirip dengan apa yang terjadi pada masa Orba berkuasa. Kondisi ini telah menyebabkan munculnya krisis kepercayaan masyarakat pada penegakan hukum yang berkeadilan di Indonesia.

Bahwa telah terjadi krisis kepercayaan pada dunia penegakan hukum di Indonesia sudah sejak lama terendus oleh LSI (Lembaga Survei Indonesia). Berdasarkan hasil survey tujuh tahun lalu, LSI menyatakan bahwa kondisi kepercayaan masyarakat kepada penegakan hukum sangat memprihatinkan sehingga membuat kita semua mengeluas dada. Hasil survei yang diakukan kepada 1.200 responden di 33 provinsi di Indonesia, kepuasan masyarakat terhadap hukum di Indonesia berada pada titik terendah dan ini sangat memprihatinkan kita semua.

Dewi Arum peneliti LSI mengungkapkan bahwa terdapat empat faktor penyebab merosotnya kepuasan publik terhadap penegakan hukum di Indonesia. Menurutnya, hal pertama ialah rendahnya kepercayaan publik akibat tindakan aparat hukum sendiri untuk bertindak adil ketika menyelesaikan kasus yang ditanganinya."42,2 persen publik yang percaya bahwa aparat hukum akan bertindak adil dalam mengusut dan mengadili sebuah perkara.

Sedangkan 46.7 persen tidak percaya bahwa aparat hukum akan bertindak adil dalam menangani perkaranya. “Mayoritas mereka cenderung percaya bahwa proses hukum yang dilakukan aparat mudah diintervensi oleh kepentingan tertentu, soal materi misalnya,” kata Dewi dalam konferensi pers LSI tentang "Publik Menilai Wibawa Hukum Berada Pada Titik Terendah" di Kantor LSI, Jalan Pemuda, Rawamangun, Jakarta  (7/4/2013).

Yang kedua, Dewi menjelaskan publik marah karena politisi banyak yang melakukan praktik korupsi daripada mengurusi rakyatnya. Ketiga, pembiaran penegak hukum atas kasus amuk massa isu primordial."Di Indonesia, seringkali terjadi kasus kekerasan yang dilakukan oleh satu kelompok terhadap kelompok lain, karena hanya perbedaan identitas atau keyakinan. Kesan `ketidakberdayaan` negara dalam menghadapi kekerasan komunal ini memunculkan pesimisme terhadap penegakan hukum," lanjutnya.

Alasan keempat ialah, lemahnya kepemimpinan nasional dalam menegakan hukum secara konsisten. Menurut Dewi, sikap inkonsisten pemimpin nasiona juga menjadi penyebab merosotnya wibawa hukum."Wibawa hukum perlu ditegakkan kembali, karena publik merasa tak nyaman. Sebanyak 48,6 persen publik menyatakan khawatir dengan masa depan penegakan hukum di Indonesia," lanjutnya.

Sebenarnya terjadinya  penegakan hukum yang tidak berkeadilan itu merupakan pintu masuk (entry point) bagi lahirnya delegitimasi negara. Pada akhirnya kita akan melihat hancurnya sebuah kekuasaan negara atau kekuasaan yang memerintah berlangsung akibat tekanan-tekanan yang saling bersaing (kontradiksi) yang tanpa sadar diciptakan sendiri oleh penguasa negara.

Pada titik ini bukan saja pantas masyarakat pada umumnya dan individu pada khususnya kembali menggunakan cara-cara purba untuk menyelesaikan persoalan kejahatan disekelilingnya. Bila ini meluas maka praktik seperti penyerangan suatu kelompok masyarakat kepada kelompok masyarakat lainnya, aksi premanisme oleh sekelompok orang, pola kriminalitas sadis di kota-kota besar, konflik dan curiga yang berkepanjangan di beberapa daerah sampai aksi pemboman di lokasi tertentu adalah benih fasisme yang sadar tidak sadar telah disemai oleh negara.

Hukum dan Urgensi Moralitas

Bagaimanapun hukum itu membutuhkan moralitas aparat penegak hukumnya. Karena pada hakekatnya, hukum hanya disebut hukum kalau di dalamnya mengandung aspek keadilan dan moralitas. Tanpa keadilan dan moralitas hukum tidak layak disebut sebagai hukum. Menurut Hans Kelsen hukum adalah bagian dari moral.

Tentang hal itu Hans Kelsen (1978:72) menegaskan bahwa, Jika dikatakan bahwa hukum, menurut sifatnya, memiliki muatan moral atau merupakan nilai moral; maka kita dapat menegaskan dengan pernyataan ini  bahwa hukum berlaku dalam lingkup moral, bahwa tatanan hukum merupakan    bagian dari tatanan moral, bahwa hukum adalah moral dan karenanya berdasarkan sifatnya, ia harus adil.

Dengan demikian jelas bahwa, menurut Hans Kelsen hukum yang mengandung tatanan moral itu dalam dirinya sendiri mesti bersifat adil. Hukum dan penegakan hukum mesti berlaku adil karena mengandung muatan moral di dalamnya. Karena itu, hukum dan moralitas tampaknya memiliki keterkaitan yang tidak bisa diabaikan.

Hukum yang adil dan mengandung muatan moral juga membutuhkan aparat penegak hukum yang bermoral tinggi. Moral aparat penegak hukum sangat penting agar hukum tetap superior dalam sebuah negara hukum Oleh karena itu, sebaik apa pun hukum kalau tidak dijalankan oleh aparat yang bermoral tinggi tidak akan berguna dalam upaya untuk mencapai tujuan-tujuan hukum.

Urgensi moralitas adalah istilah yang dipakai untuk menunjukkan bahwa aspek moral sangat mendesak dibutuhkan. Pertanyaannya mengapa moralitas urgen atau mendesak dibutuhkan? Pertanyaan ini terkait dengan kelekatan antara aspek moral dengan manusia itu sendiri. Karena aspek moral itu paling diutamakan dan nomor satu dalam penegakan hukum.

Tanpa moral aparat yang baik hukum akan inferior dan berada pada titik yang memalukan. Moral aparat yang baik membuat hukum superior dan kredibel.Moral selalu terkait dengan aspek manusiawi, karena hanya manusia yang  bisa membuat distingsi antara yang baik dan buruk (jahat). Kemampuan akal budi dan hati nurani memampukan manusia untuk melakukan yang baik dan menolak berbuat jahat dan yang tidak adil serta merugikan hak-hak orang lain.

Moralitas merupakan diskusi yang manusiawi karena manusia dalam pergumulan sejarah peradabannya selalu mengarahkan diri pada kebaikan agar disebut sebagai manusia beradab. Sebagai makhluk rasional, manusia berupaya merefleksikan kebaikan sebagai bagian yang mesti ada dan melekat dalam diri manusia. Moralitas tidak saja melekat dalam diri manusia tetapi aspek moral tersebut mesti sanggup ditunjukkan manusia dalam setiap tugas dan profesinya, termasuk sebagai aparat penegak hukum.

Hukum membutuhkan aparat penegak hukum yang bermoral agar bisa superior dan memenuhi rasa keadilan bagi semua pihak. Karena  aparat penegak hukum itu ibarat pengemudi yang menjalankan kendaraan bernama hukum. Agar kendaraan tersebut bisa berjalan dengan baik sesuai dengan tujuan yang diinginkan oleh semua pihak maka seorang pengemudi membutuhkan kondisi kendaraan yang baik dan lingkungan, jalan yang layak untuk dilalui kendaraan tersebut.

Demikian juga, aparat yang bermoral membutuhkan struktur hukum, budaya hukum dan substansi hukum yang baik agar bisa menegakkan hukum yang minimal memenuhi rasa keadilan semua pihak. Selain itu, lingkup penegak hukum juga mesti mendukung bagi bertumbuh dan berkembangnya moralitas aparat yang baik agar mampu mempertahankan diri sebagai aparat penegak  hukum  yang baik dan bermoral tinggi.

Namun, tidak dapat disangkal adanya keterbatasan dasariah yang  terkandung dalam hukum karena dibuat oleh otoritas berwenang yaitu manusia yang terbatas secara kodrati, juga keterbatasan masyarakat untuk menyelami dan menyadari manfaat adanya hukum dalam mengatur tertib hidup bersama.

Moralitas aparat penegak hukum sangat urgen dibutuhkan dalam penegakan hukum sebagai upaya mencapai keadilan, sebab hukum akan menjadi semakin baik kalau dijalankan oleh aparat yang bermoral tinggi. Hukum pada hakekatnya tidak dapat dipisahkan dari aspek moralitas, sebab aspek moralitas membuat hukum semakin superior dan kredibel sebagai sarana untuk mencapai tujuan-tujuan hukum termasuk mencapai keadilan.

Memisahkan moral dari hukum berarti memisahkan kendaraan dari pengemudi. Hukum tidak mungkin dapat berjalan tanpa sang pengemudi yang baik yang mampu menjalankan kendaraan (baca: hukum) tersebut sesuai dengan tujuan-tujuan yang dikehendaki oleh semua pihak. Oleh karena itu, hukum secara substansial mesti mengandung keadilan dan moralitas, selain karena kandungan isi hukumnya yang bermoral juga karena aparat yang menjalankan hukum tersebut memiliki integritas moral yang tinggi dan otentik.

Mendamba Penegak Hukum Yang Bermoral

Hukum yang mengarahkan diri pada keadilan membutuhkan  aparat penegak hukum yang bermoral dan berintegritas tinggi. Aparat penegak hukum yang bermoral tersebut diharapkan dapat menegakkan hukum sebaik mungkin sebagai upaya mencapai tujuan-tujuan hukum termasuk untuk mencapai keadilan. Tanpa aparat penegak hukum yang bermoral, sebaik apapun hukum dibuat dapat saja sia-sia (nirmakna) karena tidak mampu memenuhi rasa keadilan dan kepastian hukum bagi semua pihak.

Oleh karena itu, kiprah aparat penegak hukum yang baik sangat dibutuhkan agar hukum tetap superior, tidak mudah diperjualbelikan dan tidak berada di bawah penindasan kepentingan politik dan ekonomi. Sesungguhnya superioritas hukum dalam sebuah negara hukum terletak pada konsistensi aparat penegak hukum untuk berpegang teguh pada aspek moralitas demi menegakkan keadilan dan kepastian hukum.

Konsistensi aparat penegak hukum dapat menciptakan keunggulan (superioritas) hukum untuk lebih responsif dan mampu menuntaskan berbagai persoalan hukum. Hukum yang superior tersebut tidak berlaku diskriminatif karena hukum tersebut berlaku adil bagi semua warga negara tanpa memandang posisi, jabatan atau status sosial tertentu. Hukum yang superior tersebut tidak boleh disalahgunakan untuk kepentingan-kepentingan yang menyesatkan hukum karena hukum adalah sarana memperjuangkan keadilan bagi semua pihak.

Hukum yang superior tersebut harus tetap dilindungi oleh benteng kokoh bernama moralitas aparat penegak hukum.  Semua aparat penegak hukum harus memiliki komitmen yang teguh agar hukum tetap dijaga keluhurannya sebagai sarana untuk mencapai keadilan sosial. Moralitas aparat yang kokoh, otentik dan kredibel dibutuhkan sebagai upaya untuk membangun kembali hukum yang dipercaya dan dihargai oleh semua pihak.

Oleh karena itu, jika moralitas aparat penegak hukum semakin baik, maka hukum akan semakin superior dan kredibel dalam upaya untuk memenuhi tujuan-tujuan hukum termasuk upaya untuk mencapai keadilan. Moralitas aparat penegak hukum sangat menentukan ke mana arah kepastian hukum dan keadilan akan bermuara. Saat ini penegak hukum yang bermoral itu sudah demikian langka sehingga berimbas pada mahalnya keadilan bagi para pencarinya.

Para penegak hukum belum memiliki integritas yang tinggi, belum bekerja secara profesional menurut kode etik aparat penegak hukum, dan belum memiliki moralitas dan kepribadian sebagai aparat yang konsisten dalam penegakan hukum seperti diharapkan oleh semua pihak. Selain itu, ketidaktegasan aparat penegak hukum untuk mengikuti prosedur hukum juga telah turut menyebabkan hukum menjadi tidak adil terhadap para pelanggar hukum yang memiliki status sosial tinggi, misalnya, atau mereka yang memiliki akses terhadap hukum.

Di lain pihak hukum yang dijalankan oleh aparat penegak yang tidak konsisten tersebut bahkan menindas masyarakat biasa yang tidak mempunyai akses terhadap hukum. Bagi mereka yang tidak memiliki akses terhadap hukum, keberadaan hukum bahkan menjadi begitu tegas dan cenderung diskriminatif. Masyarakat pencari keadilan tentu merasa tidak puas dan merasa ditindas oleh hukum yang diskriminatif tersebut.

Perasaan tidak puas masyarakat beralasan karena dalam negara hukum setiap warga negara sama dan sederajad di hadapan hukum. Rasa tidak puas tersebut melahirkan sikap pesimis masyarakat terhadap hukum dan aparat penegak hukum. Keraguan dan ketidakpercayaan masyarakat membuat hukum semakin tidak berdaya dan tidak mampu memenuhi rasa keadilan publik dan tidak dapat merespon persoalan-persoalan hukum yang semakin kompleks dalam masyarakat. Superioritas hukum semakin dipertanyakan keberadaannya dan moralitas aparat penegak hukum semakin disangsikan oleh masyarakat

Pertanyaannya, mengapa banyak terjadi penyimpangan dalam penegakan hukum oleh aparat penegak hukum ?. Pada dasarnya  penyimpangan penegakan hukum oleh aparat yang menyebabkan hukum menjadi inferior merupakan kasus yang terjadi ketika aparat penegak hukum menyalahgunakan wewenang.

Penyalahgunaan wewenang tersebut terkait sangat erat dengan aspek ketegasan dan integritas aparat untuk mengutamakan kepentingan keadilan dan kebenaran di atas kepentingan pribadi dan pertimbangan keuntungan ekonomis apa pun. Seorang aparat penegak hukum yang bermoral akan selalu mempertimbangkan secara matang dan bertanggungjawab sebelum menentukan suatu keputusan. Setiap keputusan yang diambil adalah keputusan yang bermoral.

Omnibus Law, Hukum Progresif dan Political Will Penguasa

Harus diakui, fenomena ketidakadilan hukum di Negara ini terus terjadi. Munculnya berbagai aksi protes terhadap aparat penegak hukum di berbagai daerah, menunjukkan sistem dan praktik hukum kita memang sedang bermasalah. Menurut Ahmad Ali (2005), supremasi hukum dan keadilan hukum yang menjadi dambaan masyarakat tak pernah terwujud dalam realitas riilnya. Keterpurukan hukum di Indonesia malah semakin menjadi-jadi. Kepercayaan masyarakat terhadap law enforcement semakin memburuk.

Gambaran ini yang disebut Satjipto Rahardjo sebagai bentuk krisis sosial yang menimpa aparat penegak “hukum” kita. Berbagai hal yang muncul dalam kehidupan “hukum” kurang dapat dijelaskan dengan baik. Keadaan ini yang kurang disadari dalam hubungannya dengan kehidupan hukum di Indonesia (Rahardjo, 2010:17). Praktik-praktik penegakkan hukum yang berlangsung, meskipun secara formal telah mendapat legitimasi hukum (yuridis-formalistik), namun legitimasi moral dan sosial sangat lemah.

Ada diskriminasi perlakuan hukum antara mereka yang memiliki uang dan yang tak memiliki uang, antara mereka ada yang berkuasa dan yang tak punya kekuasaan. Keadilan bagi semua hanyalah kamuflase saja. Namun, realita hukum terasa justru dibuat untuk menghancurkan masyarakat miskin dan menyanjung kaum elit. Penegak hukum lebih banyak mengabaikan realitas yang terjadi di masyarakat ketika menegakkan undang-undang atau peraturan.

Akibatnya, penegak “hukum” hanya menjadi corong dari aturan. Hal ini tidak lain adalah dampak dari sistem pendidikan hukum yang lebih mengedepankan positifisme. Penegak hukum seperti memakai kacamata kuda yang sama sekali mengesampingkan fakta sosial. Inilah cara ber”hukum” para penegak hukum tanpa nurani dan akal sehat.

Karena itu, di tengah keterpurukan praktik ber”hukum” di negara kita ini yang mewujudkan dalam berbagai realitas ketidakadilan hukum, terutama yang menimpa kelompok masyarakat miskin. Sudah saatnya kita tidak sekedar memahami dan menerapkan hukum secara legalistic-positivistic, yakni cara ber”hukum” yang berbasis pada peraturan hukum tertulis semata (rule bound), tapi perlu melakukan terobosan hukum, yang dalam istilah Satjipto Raharjo (2008), disebut sebagai penerapan hukum progresif.

Dan salah satu aksi progresivitas hukum, adalah berusaha keluar dari belenggu atau penjara hukum yang bersifat positivistik dan legalistik. Dengan pendekatan yuridis-sosiologis, diharapkan selain akan memulihkan hukum dari keterpurukannya, juga yang lebih riil, pendekatan yuridis-sosiologis diyakini mampu menghadirkan wajah keadilan hukum dan masyarakat yang lebih substantif.

Untuk itu diperlukan penegak hukum yang berintegritas dan berkomitmen tinggi untuk melakukan penegakan hukum. . Artinya polisi, jaksa, dan hakimnya juga harus benar-benar bersih terutama pimpinannya.  Karena penegak hukum yang bersih merupakan modal yang sangat kuat dalam penegakan hukum yang didambakan. Ibaratnya menyapu ruangan yang kotor tentulah dengan sapu yang bersih.

Oleh sebab itu pula Penegak hukum mesti memiliki integritas kepribadian yang baik dan jujur. Kejujuran adalah hal yang paling penting untuk dikembangkan dalam pembinaan sumber daya aparat penegak hukum, karena kejujuran tidak ada modulnya. Kejujuran sangat dipengaruhi oleh otentisitas dan integritas seseorang. Sebagai konsekuensi, pemerintah dengan sendirinya dituntut untuk meningkatkan kemampuan sumber daya aparat penegak hukum sesuai dengan bidang tugasnya, kesejahteraannya, termasuk menentukan sikap dan perilakunya,agar mampu berpikir dengan baik dan benar.

Peningkatan kemampuan sumber daya aparat tersebut bertujuan agar mampu memutuskan perkara yang melahirkan rasa puas dan memenuhi rasa keadilan masyarakat, karena masyarakat Indonesia sangat merindukan kehadiran aparat penegak hukum yang benar-benar memiliki moral dan kepribadian yang bisa diandalkan untuk menegakkan keadilan.

Sementara itu bagi lembaga pendidikan hukum, agar dapat mendidik para mahasiswa hukum dengan sikap yang baik karena keteladanan merupakan salah satu cara untuk menanamkan moralitas yang baik. Sistem rekrutmen untuk menjadi aparat penegak hukum juga harus dilakukan dengan objektif dan sungguh-sungguh tanpa ada suap-menyuap.

Sistem rekrutmen yang baik, akan melahirkan aparat penegak hukum yang kredibel dan memiliki integritas kepribadian serta moral yang baik. Terhadap lembaga-lembaga penegak hukum, agar dapat menciptakan kondisi yang kondusif bagi bertumbuh dan berkembangnya aparat penegak hukum yang bermoral tinggi. Kondisi yang baik tersebut bisa tercipta kalau aparat penegak hukum yang menjadi pemimpin (atasan) lembaga atau institusi tersebut menjadi teladan bagi para bawahannya.

Setiap anggota aparat penegak hukum tetap bertahan dan berkomitmen terhadap moral individunya, sehingga menjadi sumbangan yang berarti bagi keberlangsungan moralitas kolektif dalam sebuah institusi penegak hukum. Selain itu, dalam institusi penegak hukum, mesti ada jadwal yang teratur bagi pelatihan-pelatihan yang bersifat meningkatkan profesionalitas aparat penegak hukum, dan kegiatan-kegiatan rohani yang menjadi bekal moral bagi penegak hukum.

Diatas semua yang dikemukakan tersebut, ada peran sentral yang bisa dimainkan oleh pucuk pimpinan negeri ini yaitu mendorong aparat penegak hukum yang bersih dan peduli pada penegakan hukum yang berkeadilan. Hal ini bukan berarti seorang Presiden harus mengintervensi penegakan hukum melainkan wujud dari komitmen dari seorang Presiden dalam upaya menegakkan hukum yang berkeadilan. 

Seorang Presiden bisa menggunakan kekuasaannya untuk mempengaruhi penegakan hukum yang berpihak pada keadilan untuk semua warga Negara. Seorang presiden harus mempunyai sikap yang jelas jika melihat adanya penegakan hukum yang tidak berkeadilan dan tidak boleh bersikap netral.  Ketegasan sikap dan kebijakan seorang pemimpin Negara  merupakan wujud dari political will dalam penegakan hukum dan ini akan berpengaruh signifikan pada integritas dan moralitas aparat penegak hukum yang ada di bawahnya.  Kecuali ia memang menjadi bagian dari masalah penegakan hukum itu sendiri maka selesailah perkaranya.

Ironisnya justru di saat penegakan hukum compang camping, Presiden justru fokus membuat kodifikasi hukum baru Omnibus Law, sebagai upaya menyederhanakan berbagai peraturan dan undang-undang dengan alasan untuk menggenjot masuknya investasi asing dan menciptakan banyak lapangan kerja maka perlu banyak aturan dan UU yang dihapus lalu disederhanakan dan disatukan dalam UU baru yang lebih simpel dan fokus.

Pertanyaannya adalah mau berapa aturan pun disatukan dan berapa banyak Omnibus Law dibuat tapi jika mental aparatnya masih rawan korupsi dan aparat penegak hukumnya masih suka KKN, maka program Omnibus Law itu bisa saja menjadi lahan baru bagi oknum pejabat untuk melakukan berbagai pungutan baru dengan alasan ini UU baru maka pelaksanannya juga bisa jadi kelinci percobaan untuk peluang usaha KKN versi terbaru.

Seharusnya Presiden tidak hanya fokus kepada membenahi aturan dan UU saja namun juga bagaimana mereformasi satu generasi para aparat penegak hukum kita dari semua unsur penegak hukum. Potong satu generasi ini harus dilakukan segera sebab aparat penegak hukum yang sekarang, mayoritas sudah terkontaminasi perilaku buruk terlibat dalam KKN karena mau menegakkan hukum tetapi memakai sapu yang kotor.   

Kesimpulannya rejim saat ini lebih suka dengan pola dan kinerja uji coba daripada memastikan bahwa law enforcement yang adil dan transparan sudah berjalan dengan maksimal dan terpercaya. Kasihan nasib rakyat seperti Bu Titin di atas, yang sudah sangat muak, apatis dan tak tahu lagi harus mengadu ke siapa untuk mendapatkan pertolongan keadilan atas nama penegakan hukum yang sudah berbau KKN. Sampai kapan rakyat terus menjadi korban ketidakadilan dari aparat penegak hukumnnya sendiri?

 

(Ali Mustofa\Roy T Pakpahan)

Share:




Berita Terkait

Komentar