Nasrudin Joha:

Manuver Busuknya Politisi Demokrasi

Sabtu, 09/11/2019 13:40 WIB
Surya Paloh dan Sohibul Iman (Tempo)

Surya Paloh dan Sohibul Iman (Tempo)

Jakarta, law-justice.co - Nasdem bertemu PKS, menjajaki koalisi dengan PAN dan bicara mengusung Anies Baswedan di tahun 2024. PKS juga tak merasa risih berpelukan dengan Nasdem, yang dahulu umat menyebutnya sebagai partai pro penista agama.

Pasca pengumuman kabinet Jokowi, polaritas parpol mengalami perubahan. PKS dan PAN tak lagi mesra dengan Gerindra.

Sebaliknya, Gerindra ‘mesra’ dengan PDIP, makan nasi goreng bersama dan akhirnya kehangatan itu berbuah jatah Menhan dan menteri KP untuk Gerindra.

Sementara hubungan Gerindra dan PKS semakin jauh, semakin renggang, hingga soal remeh Wagub DKI pun tdk pernah diselesaikan oleh Gerindra – PKS.

Kemelut ‘rebutan’ DKI 2 ini telah membuat Gerindra bermanuver mengirim 4 orang nama usulan pengganti Sandy, sementara PKS terpaksa gigit jari : Wapres lewat, Wagub pun tidak.

PKS juga tak punya platform ideologi yang jelas. Setelah dahulu ‘bersalah’ mengusung Jokowi dan sampai pada pucuk tahta walikota solo, kini PKS juga berwacana mengusung Gibran, anak Jokowi. Padahal, umat ini paham bagaimana jejak Jokowi n the gank.

DPD PKS Surakarta menyatakan ketertarikannya mendukung Gibran Rakabuming Raka dalam Pilwalkot Solo 2020.

PKS merupakan partai dengan 5 kursi di DPRD Surakarta atau terbanyak kedua setelah PDIP. Jika PKS berkoalisi dengan PDIP, maka potensi Kemenangan didepan mata.

Yang lebih menyakitkan, partai-partai ini (khususnya PKS dan Nasdem) sudah bicara tentang Pilpres 2024.

Padahal, Pilpres baru saja digelar. Bau Amis darah 700 anggota KPPS, korban aksi 21-22 Mei, ceceran darah dua mahasiswa Kendari, masih begitu terngiang dibenak umat.

Adapun partai koalisi Jokowi sibuk berpesta membagi jatah menteri. Sementara anggota dewan, yang berada di DPR RI, berlagak sok kritis, sok membela rakyat pada isu BPJS, ikut berdeklamasi membela rakyat dan videonya diviralkan agar mengelabui hati rakyat.

Partai tak punya platform ideologi, tak punya nilai-nilai perjuangan, tak punya konsep baku untuk membela rakyat.

Jika berkuasa, mereka menindas rakyat. Jika kalah, tak kebagian kursi menteri, mereka sibuk mengikrarkan diri sebagai oposisi.

Di satu daerah partai bertarung dan saling menikam, di daerah lain berpelukan mesra karena mengusung paslon yang sama.

Sungguh, koalisi partai layaknya menggunakan jasa PSK. Mana yang lebih mengantarkan pada orgasme kekuasan, itulah yang dipilih sebaga mitra koalisi.

Tak ada beda partai dalam kubangan lumpur demokrasi, baik yang mengaku partai Islam apalagi partai sekuler.

Mereka semua gemar korupsi, alasan saja yang beda. Mereka semua juga haus kekuasaan dan tak punya visi jelas memikirkan kesejahteraan rakyat.

Mereka tak punya ide, tdk punya konsep, bagaimana mengatur dan mengelola sumber daya alam, distribusi barang dan jasa, mekanisme kepemilikan, dan hal lain yang menjamin kesejahteraan rakyat.

Mereka, juga tdk punya konsep baku bagaimana mendidik dan menjaga keamanan rakyat.

Prinsipnya, umat ini hanya akan diberi pepesan kosong jika masih mempercayai demokrasi. Semua partai dan politisi Demokrasi dengan latar apapun, akan menjadi Machiavelli sejati.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar