Henry Subiakto, pengamat publik

Media Utama Jangan Coba-coba Lawan Netizen

Jum'at, 11/10/2019 13:16 WIB
Berbagai media massa di Indonesia (Kompasiana.com)

Berbagai media massa di Indonesia (Kompasiana.com)

Jakarta, law-justice.co - Sejak dulu media massa itu powerful. Beritanya memiliki kekuatan untuk mengkritik, memframing, bahkan bisa menghancurkan reputasi siapapun.

Namun, media juga bisa mempopulerkan orang, membangun reputasi, hingga memuja muja atau glamourising seseorang atau apapun. Media Massa adalah kekuatan penyeimbang dan pengontrol eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Bahkan, masyarakatpun bisa dia garap tanpa mampu membalas pada media.

Ibarat sebuah kekuasaan Media telah menjadi kekuatan yg bisa mengoreksi siapa saja tapi dirinya tidak bisa dikoreksi oleh kekuatan dari luar. Yg bisa mengontrol media hanyalah pemiliknya atau para pemasang iklan yg mempengaruhi hidup matinya media. Di luar itu semua bisa jadi sasaran interogasi dan agenda setting media. Sehingga media jadi kekuatan tersendiri sebagaimana power atau kekuasaan yg lain yg juga tends to corrupt.

Di era digital, terjadilah perubahan. Tatkala semua anggota publik bisa memiliki perangkat smartphone maka semua orang bisa jadi "wartawan". Semua orang bisa memiliki medianya sendiri. Dengan smartphone  semua orang bisa jadi pengamat, komentator, hingga executor. Mereka itulah netizen yg jumlahnya tak terbatas mengikuti jumlah penduduk yg aktif menggunakan smartphone.  

Netizen adalah sekumpulan "warga internet" (citizen of the net), yang di dalamnya ada yang pasif maupun yang sangat aktif terlibat dalam komunitas maya. Mereka saling kontrol, saling mengisi dan saling berbagi informasi. Mereka  berkomunikasi itu biasanya digerakkan oleh kepedulian dan solidaritas  saat nenghadapi sebuah persoalan. Netizen bisa memproduksi pesan hingga cercaan yang memenuhi dunia maya. Merekalah yg menulis di Facebook, mengisi twitter, meramaikan instagram, WhatsApp dan lain lain. Merekalah yang  menshare apa saja yg dianggap menarik. Netizen memang tudak tunggal, tidak monolitik, dia bisa terbelah bahkan terfrakmentasi mengikuti orientasi politik dan sosial. Kendati tidak satu, netizen adalah kekuatan besar, bahkan sangat besar.

Netizen itu bergerak tanpa aba aba, tapi bisa menyerang, membuli siapa saja yg dianggap melanggar norma. Netizen adalah makhluk digital yang memiliki logika sendiri dan tidak takut pada siapapun. Siapapun yang mengusik mereka, mengusik kebenaran mereka, "mengusik" tokoh mereka secara tidak pantas, bisa "dihabisi" pasukan "sosro birowo" netizen ini. Jumlah mereka yg banyak dan selalu ada, seakan tidak pernah tidur. Mereka adalah keniscayaan yg memiliki loyalitas pada pemimpin atau apa yg dianggap kebaikan. Orang yang sok berkuasa, apakah itu  elite politik, hingga  pemilik media ataupun juga media massa itu sendiri, kalau dulu mereka itu powerful, dihadapan netizen bisa jadi bulan bulanan dan bahan bulian.

Netizen bisa menggempur lewat opini, menyerang lewat meme, menusuk lewat informasi, hingga menghack aplikasi. Majalah Tempo sempat jadi sasaran netizen yg tidak terima dengan cover majalah itu yg menggambarkan bayangan presiden sebagai pinokio. Pemberitaan yang dianggap tak etis itu berakibat serangan netizen pada aplikasi Tempo untuk berlangganan maupun untuk membaca langsung down. Hilang dari playstore.

Sekarang media massa harus hati hati. Jika mereka berperilaku melupakan etika dan melukai perasaan bersama netizen, tidak mustakhil mereka akan jadi sasaran "amuk" komunikasi warga net yang aktif menjaga "moralitas" maya.

Kalau media mainstream merasa mampu lewat pemberitaannya  lalu melawan mereka kaum netizen yg sering juga disebut sebagai buzzer, maka genderang  perang justru bisa membunuh media yg bersangkutan. Kekuatan besar netizen, dan kebenaran berdasar jumlah dukungan hingga kekuatan netizen yang bisa membuat gerakan uninstall media yg dianggap mencederai mereka, mencederai netizen Justru bisa menjadi kuburan bagi media media konvensional yang nekad menghadapi kekuatan netizen.

Orang-orang media konvensional harus sadar bahwa dunia telah berubah. Masyarakat yg dulu disebut audience, sekarang telah menjelma menjadi netizen yg bisa membuat berita sendiri, memiliki media sendiri. Memiliki pandangan sendiri, hingga kebenaran sendiri.

Dulu media itu eksklusif. Hanya yg menguasai kertas koran yg bisa nulis isinya, hanya yg muncul di TV dan Radio yg bisa pengaruhi orang banyak. Sekarang smartphone adalah media yg dimiliki semua orang. Smartphone menghantarkan pemiliknya muncul di smarphone milik orang lain. Mass Communication yg dulunya powerful, sekarang tergusur oleh Mass Self Communication. Pesan komunikasi tidak  lagi dikuasai dan disebarkan segelintir orang, di ruang ruang redaksi, melainkan sekarang dikuasai banyak orang dan disebarkan lewat orang per orang. Person to person, self to self. Itulah fenomena Mass self Communication di era 4.0 ini

Masyarakat adalah sumber hidup media, karena merekalah audiens media. Tapi masyarakat  itu telah metamorfosis menjadi netizen yang tak hanya jadi audiens pasif tapi sangat aktif bahkan sekaligus juga jadi pesaing dalam economy of attention, mereka  punya media, dan mereka juga memproduksi pesan, yg bisa mengroyok, menggiring  opini, memviralkan "keburukan" media yg dianggap bermasalah, hingga sekaligus ajakan uninstall atau unsubscribe media  yg mencoba melawan netizen.

Dengan kondisi seperti sekarang, media massa tidak bisa lagi jumawa seenaknya sendiri. Kalau mereka dalam pemberitaannya dianggap mencederai orang banyak atau netizen, maka tak mustakhil media  akan dihajar bahkan bisa ditenggelamkan oleh aktivitas dan sensitivitas netizen.  

Peringatan untuk media manapun agar lebih ketat memberlakukan etika, check and recheck hingga berkomitmen pada objektivitas. Media tidak lagi, powerful, dan untouchable. Mereka sekarang diawasi oleh netizen yg siap memberi sanksi dan mengeksekusi media jika dipandang bertentangan dengan kebenaran digital versi mereka.

Media konvensional harus membaca dan menghargai  gerak dan kehendak netizen. Hindari bertabrakan dengan logika kebenaran dan suara hati netizen. Mereka bukan lawan media konvensional. Kalau media harus berhadapan dengan netizen, sama saja dengan pertentangan antara taksi konvensional melawan Grab Car dan Go Car. Sama halnya Travel Thomas Cook bersaing dengan AirBnB dan platform travel digital yg lain.

(Editor\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar