Kakak Pembina Sang Sponsor Buzzer Jokowi

Kamis, 10/10/2019 06:10 WIB
Pasukan siber atau buzzer (Jakartaberita.com)

Pasukan siber atau buzzer (Jakartaberita.com)

Jakarta, law-justice.co - Akhir-akhir sebuah video ramai menjadi perbincangan di media sosial. Video itu memperlihatkan sosok Ninoy Karundeng seorang pegiat sosial yang ditangkap oleh sekelompok orang karena diduga menjadi penyusup di aksi demonstrasi mahasiswa beberapa waktu yang lalu. Tapi versi lain menyebut Ninoy diculik dan kemudian diinterogasi sampai dengan dipukuli hingga luka lebam disana sini. Ketika di interogasi, Ninoy diketahui sebagai buzzer Jokowi dan mengaku di gaji 3,2 juta/ bulan.

Pasca beredarnya video itu, dunia maya menjadi ramai oleh perbincangan seputar kiprah para buzzer pendukung Jokowi yang sampai sekarang ternyata masih eksis meskipun Jokowi sudah dinyatakan menang oleh KPU dan MK tempo hari.

Menarik untuk ditelusuri, bagaimana sesungguhnya cara kerja buzzer –buzzer ini ? Bagaimana pengalaman pengakuan mereka selama melakoni profesi ini?. Siapa sebenarnya yang menjadi sponsor buzzer ini sehingga setiap saat siap beraksi ?. Bagaimana pula nasib para buzzer itu sekarang setelah kakak pembina mau melepas mereka? Menjadi buzzer yang beradab itu harusnya bagaimana?

Bagaimana para buzzer bekerja ?

Buzzer dalam bahasa Inggris berarti lonceng atau alarm. Di Indonesia mempunyai arti kentongan, alat tradisional digunakan untuk mengumpulkan warga pada saat terdapat pengumuman atau berita penting, seperti bencana. Pada media sosial, buzzer disebut sebagai orang yang memanfaatkan akun media sosial menyebarluaskan informasi, atau berpromosi produk, jasa, kegiatan, bahkan orang atau organisasi.

Buzzer yang memiliki banyak teman atau pengikut (follower) akun medsos, mampu mempengaruhi follower sesuai informasi yang dia sebar, maka dia disebut influencer. Buzzer akan berpromosi secara terus-menerus melalui akun media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, tulisan (mikroblog) hingga video blog (vlog). Buzzer biasanya mempunyai tarif, bukan gratisan. Semakin banyak followernya atau bisa juga influence dan engagementnya bagus, bisa kian mahal harganya.

Ternyata ada fakta mencengangkan soal buzzer yakni sebuah penelitian dari Universitas Oxford dan Institut Internet Oxford, Inggris membuktikan bahwa Indonesia merupakan satu dari 70 negara yang terdeteksi memiliki buzzer.

Penelitian terbaru berjudul “The Global Disinformation Order 2019 Global Inventory of Organised Social Media Manipulation” itu mengungkap aktivitas buzzer politik sebagai penggerak isu politik yang merupakan propaganda dari pihak politikus tertentu, di media sosial Twitter, WhatsApp, Instagram dan Facebook.

Di balik perang tagar, ada peran buzzer politik untuk menaikkan isu menjadi sebuah trending topic. Hal ini senada dengan kesaksian Ranger (bukan nama sebenarnya), seorang buzzer politik kepada IDN Times dalam sebuah wawancara akhir tahun lalu. Dilansir dari IDN Times, Ranger mengakui aktivitasnya di media sosial dilakukan sesuai pesanan pihak tertentu. Perang opini di media sosial untuk memunculkan suatu isu atau propaganda menjadi ladang bisnis para buzzer.

Laporan penelitian yang ditulis oleh Samantha Bradshaw Philip N Howard dari Oxford mengungkap bayaran yang diterima buzzer berkisar antara Rp 1 juta hingga Rp 50 juta. Sementara itu Ranger mengaku, honornya untuk mengerjakan proyek trending topic biasanya dibayarkan bulanan dengan nilai berkisar di atas Rp 4 juta. “Tapi itu mungkin kalau dua tahun terakhir.

Kalau tiga tahun yang lalu, di atas dua, di bawah tiga juta,” tuturnya. Sistem pembayaran dan besarnya upah buzzer diklasifikasi berdasarkan tingkatan. Setingkat supervisor akan dibayar Rp 7 juta per bulan, disertai fasilitas kos atau kontrakan serta uang pulsa. Kemudian, buzzer yang berada di tingkatan mandor dibayar Rp 3 juta per bulan. Untuk kasta terendah itu Rp 300 ribu. Kalau untuk customize, per hari Rp 100 ribu. Orang-orang ini dibayar karena rajin online. Tugasnya hanya untuk menyebar konten.

Laporan tersebut juga menyebutkan bahwa kapasitas buzzer di Indonesia tergolong kapasitas rendah. Kapasitas buzzer yang rendah melibatkan tim kecil yang mungkin aktif selama pemilihan atau referendum tetapi menghentikan kegiatan sampai siklus pemilihan berikutnya.

Laporan itu juga menyebut buzzer di Indonesia disewa secara temporer dan melibatkan lebih banyak dari masyarakat biasa ketimbang organisasi khusus. Sementara itu, Ranger mengaku ada koordinator khusus yang mengatur satu tim. Ranger sendiri mengaku tidak mengetahui siapa-siapa saja orang di dalam timnya. “Memang tidak dibuka. Jadi yang (aku) tahu paling di atasku, itu pasti tahu siapa di atasnya. Tapi kalau untuk ke atasnya lagi, biasanya terlalu banyak layer sih jadi gak bisa sampai ketahuan,” ujarnya.

Dia pun mengatakan interaksi di dalam tim buzzer itu menggunakan sistem satu pintu. “Hanya dari orang satu ke orang ke dua. Kalau mau sampai orang kelima, yang bisa berinteraksi ke orang lima itu hanya orang empat,” tegas Ranger.

Di Indonesia, dalam laporan Oxford itu, buzzer disebut berafiliasi dengan politikus dan partai politik, serta kontraktor swasta. Masing-masing mereka terafiliasi dengan organisasi atau kelompok yang ditemukan bergerak menjadi kelompok buzzer. “Salah satu fitur penting dari kampanye organisasi manipulasi media sosial adalah bahwa pasukan siber (cyber troops) alias buzzer sering bekerja bersama dengan industri swasta, organisasi masyarakat sipil, subkultur internet, kelompok pemuda, peretas (hacker) kolektif, gerakan pinggiran, influencer media sosial dan sukarelawan yang secara ideologis mendukung perjuangan mereka,” papar laporan itu.

Ada 4 cara bagaimana buzzer bergerak: pertama, bot atau akun otomatis yang dirancang untuk meniru perilaku manusia secara online. Kedua adalah manusia itu sendiri. Ketiga, robot, dan terakhir adalah akun yang diretas atau dicuri.Di Indonesia, menurut penelitian Oxford, buzzer lebih banyak yang digerakkan oleh bot dan manusia secara langsung.

Senada dengan itu, Direktur Komunikasi Indonesia Indicator, Rustika Herlambang, menyebut lebih banyak akun manusia dibanding dengan akun robot pada buzzer di Indonesia. Dalam laporan tersebut, ada 5 media sosial yang banyak digunakan oleh buzzer dalam memanipulasi kabar di media sosial yakni Twitter, WhatsApp, YouTube, Instagram, dan Facebook. Dalam kasus di Indonesia, buzzer menggunakan semua media sosial tersebut memanipulasi kecuali melalui YouTube.

Buzzer media sosial yang marak kerap dianggap sebagai penyebar berita bohong (hoaks) atau berita palsu (fake news), turut meningkatkan polemik di dunia maya. Para buzzer akan mengelola akun media sosial, lalu membuat konten serta menyebar melalui akun-akun tersebut. Kata kunci dan hal terpenting bagi buzzer adalah menjalankan tugas sesuai order lalu melaporkan kepada pemesan. Jumlah akun dan seberapa luas sebaran informasi tidak sedemikian perlu. Bahkan berita bohong atau benar, bukan persoalan. Hoaks atau tidak, mereka tidak peduli, yang penting sudah kerja.

Meskipun tim buzzer tidak memilah-milah informasi yang akan disebarnya berdasar fakta kebenaran ataukan bohong, dalam kerja, penilaiannya akan kinerja cukup ketat. Buzzer yang tidak mendapatkan respon dari akun warga net (netizen), setidaknya sebanyak 20 akun lain dan terulang hingga lima kali, maka ia dianggap gagal dan akan sanksinya diberhentikan. Begitu juga dengan buzzer yang tidak memenuhi kuota untuk mengunggah konten.

Siapa dibalik para Buzzer  Jokowi ?

Kalau ditanyakan siapa sebenarnya penyandang dana atau sponsor para buzzer ini mereka umumnya tidak mau mengakuinya. Informasinya tertutup dan seringkali sengaja disamarkan untuk menutupi aktor penyandang  dana yang sebenarnya. Biasanya dana digelontorkan oleh pengusaha atas perintah / persetujuan pihak-pihak yang berkepentingan dalam pertarungan politik.

Selain tokoh-tokoh politik yang berkolaborasi dengan pengusaha, buzzer Jokowi diduga juga disponsori oleh aparat keamanan. Polri pernah dituding membentuk tim buzzer untuk memenangkan pasangan calon presiden dan wakil presiden nomor urut 01 Joko Widodo - Ma`ruf Amin. Tudingan dilayangkan akun Instagram @opposite6890 dalam salah satu video yang dipostingnya. Dalam video tersebut, Polri disebut membentuk tim buzzer yang terdiri dari 100 orang pada setiap Polres di seluruh Indonesia. Gerakan itu disebut dilakukan secara terorganisir di tingkat polres hingga Mabes Polri.

Ratusan orang itu saling mengikuti di Twitter, Facebook, dan Instagram yang berinduk pada satu akun utama yakni @alumnishambar. Akun itu mengunggah informasi berisi tudingan pada 5 Maret 2019, sekitar pukul 02.22 WIB. Dengan isi sebagai berikut: “Setelah Whistleblower mengungkap bahwa Kepolisian adakan pelatihan buzzer. Di mana setiap buzzer harus instal APK Sambhar. Hasil Scan Sambhar keluar Destinasi IP 120.29.226.193. Hasil Scan IP 120.29.226.193 ternyata dimiliki Polri.”

Selain itu, akun tersebut juga mengungkap Destination IP Address @Alumnisambhar dengan alamat 120.29.226.193 yang diketahui bernama Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia Divisi Teknologi Informasi, Jalan Trunojoyo 3, Jakarta Selatan.

Polri pun langsung membantah kabar tersebut. "Tentang @opposite6890 itu bersifat anonim. Artinya, akun itu tidak memiliki kredibilitas, tidak bisa dijadikan sebagai rujukan berita karena yang disebarkan ialah berita bohong. Yang disebarkan ialah tidak benar dan Polri netral," kata Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Dedi Prasetyo saat dikonfirmasi, Ahad, 10 Maret 2019.

Seiring dengan makin intensnya perhatian orang pada kiprah buzzer, pada akhirnya terkuak juga bahwa para buzzer itu ada Pembina yang sekaligus juga sponsornya. Diduga KSP (Kepala Staf Kepresidenan) Moeldoko menjadi salah satu pembinanya. Moeldoko sendiri akhirnya berkomentar mengenai adanya buzzer ini. Dia menyebut buzzer ini berasal dari relawan dan pendukung Jokowi, namun tak ada yang mengomandoi."Jadi memang buzzer yang ada itu tidak dalam satu komando, tidak dalam satu kendali. Jadi masing-masing punya inisiatif, para buzzer tidak ingin idolanya diserang, disakiti, akhirnya bereaksi," kata Moeldoko, Kamis (3/10/2019).

Buzzer Peliharaan Kakak Pembina Digugat ?

Belakangan jagad maya dihebohkan dengan kelakuan para fans fanatik dan pendukung (buzzer) politik dari Presiden Joko Widodo. Kelompok ini dengan fanatiknya rela membela `junjungannya` yang dikritik oleh masyarakat, tentu saja lewat serangan di media sosial. Menurut warganet, ulah buzzer yang membela habis-habisan kebijakan Jokowi ini dinilai membuat sang presiden menjadi anti-kritik.

Pada akhirnya, eksistensi buzzer Jokowi inipun  digugat orang. Inilah untuk pertama kalinya keberadaan para penggonggong dipersoalkan secara serius oleh publik dan media. Termasuk sejumlah media yang selama ini dikenal sebagai pendukung pemerintah. Selama ini para penggonggong hidup bebas merdeka. Mereka bebas menebar kabar bohong, fitnah, dan mem-bully oposisi dan kelompok-kelompok yang kritis terhadap pemerintah. Ada  yang bersembunyi di ruang gelap digital, menggunakan akun palsu. Namun banyak pula yang tampil secara terbuka. 

Mereka tak pernah bisa dijamah. Tidak tersentuh hukum. Percuma saja melaporkan mereka. Dijamin kasusnya tidak akan berlanjut. Dengan posisinya sebagai pendukung rezim penguasa, mereka masuk dalam kelompok manusia istimewa. The Untouchable.

Banyak nama-nama yang diduga menjadi buzzer Jokowi tak pernah diproses hukumnya seperti Ade Armando, Denny Siregar, Abu Janda, Ulin Yusron  dan yang lain lainnya. Khusus tentang Ulin Yusron, orang ini adalah salah seorang simpatisan pasangan capres-cawapres nomor urut 01, Joko Widodo-Ma`ruf Amin. Ia  menyebarkan data pribadi seseorang yang dianggap sebagai pengancam Presiden Jokowi. Ia menyebarkan data orang itu di akun media sosial miliknya.

Merujuk Pasal 58 Undang-Undang No 24 tahun 2013 atas perubahan Undang-Undang No 23 tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan [PDF], pembukaan informasi data kependudukan hanya bisa dilakukan instansi-instansi negara tertentu, contohnya Kemendagri dan Kepolisian. Itu pun hanya dalam konteks pelayanan negara. Artinya, warga biasa seperti Ulin --meski dia termasuk selebritas di jagad Twitter-- jelas tidak termasuk di dalamnya. Sehingga apa yang dilakukan Ulin dengan menyebar data di media sosial itu melanggar UU Adminduk. Hal ini juga diakui Mendagri Tjahjo Kumolo.

Sekedar untuk diketahui, Ulin sebagai selebritas medsos pernah diundang ke Istana Negara bertemu Presiden Jokowi, pada 2 Februari 2016. Pertemuan tersebut membahas persoalan yang sedang aktif dibicarakan di media sosial. Meski pelaku pengancam penggal leher presiden, Hermawan Susanto, telah ditangkap dan ditetapkan sebagai tersangka, tapi Ulin tidak diproses hukum. Padahal, secara gamblang ia telah melanggar hukum sebagaimana diatur dalam UU Administrasi Kependudukan.

Selain Ulin Yusron, buzzer-buzzer Jokowi kebanyakan memang kebal hukum dan karena kebal hukum itu maka mereka bebas menebar hoaks dan fitnah tanpa merasa terbebani oleh kasus hukum yang bakal menjeratnya.

Namun syukurlah akhir-akhir ini situasinya sudah mulai berubah. Keberadaan buzzer-buzzer sakti itu sekarang sudah mulai dipertanyakan. Sebagai contoh Majalah Tempo mulai mempersoalkan keberadaan mereka yang dinilai bisa membahayakan demokrasi. Majalah ini juga secara tegas menuding mereka adalah pendukung Jokowi. Tugas mereka menyebarkan kabar bohong mempengaruhi opini publik dan sikap publik. Tujuan jangka pendeknya mengamankan kebijakan pemerintah.

Tekanan publik dan media terhadap para penggonggong ini kian keras. Dalam pekan ini beredar hasil penelitian perilaku buzzer hasil riset dua orang peneliti dari Universitas Oxford, Inggris.Judulnya: The Global Disinformation Order: 2019 Global Information of Organized Social Media Manipulation. Ditulis oleh Samantha Bradshaw dan Philip N Howard. Hasil penelitian di 70 negara termasuk Indonesia itu, menemukan bukti pemerintah menggunakan buzzer untuk menekan kelompok oposisi dan memecah belah rakyat.

Kecurigaan bahwa para buzzer punya hubungan langsung dengan pusat kekuasaan, sesungguhnya sudah berlangsung lama. Keberadaan mereka yang tak tersentuh hukum, menunjukkan mereka sengaja dipelihara dan dilindungi.Presiden Jokowi diketahui setidaknya pernah dua kali mengundang sejumlah orang yang disebut sebagai pegiat medsos ke istana. Pada 22 Juni 2017 dan kemudian sebulan kemudian pada tanggal 24 Agustus 2017.

Pertemuan pada bulan Agustus berlangsung tertutup. Saat itu mereka hanya disebut sebagai pegiat medsos. Namun dilihat dari nama-nama yang hadir, mayoritas adalah pendukung Jokowi. Konfirmasi adanya hubungan istana dengan para buzzer ini pertama kali dibocorkan oleh situs seword.com yang dikenal sebagai pembela garis keras Jokowi.

Melalui akun fanpage Facebook (2/5/2019) Seword membocorkan pertemuan puluhan orang buzzer dengan seseorang yang disebut sebagai “Kakak Pembina.” Seorang figur pengarah gerak para buzzer pendukung Jokowi. Kuat dugaan yang dimaksud sebagai kakak Pembina ini adalah Moeldoko selaku Kepala Staf Kepresidenan.

Mungkin tepat apa yang dikemukakan oleh tokoh Papua Christ Wamea di akun twitternya. Pemimpin yang berbasis pencitraan pasti memelihara buzzer untuk membohongi rakyat dan memanipulasi fakta sebenarnya. “Pemimpin yang berbasis pada pencitraan pasti memelihara buzzernya,” kata tokoh Papua Christ Wamea di akun Twitter-nya @ChristWamea.

Kata Christ, keberadaan buzzer untuk menopang kelemahan penguasa dalam memberikan kebijakan dan pembelaan terhadap rakyat. “Sebab tanpa buzzer tidak mungkin ada rezim ini,” ungkapnya. Ia meminta rakyat tidak terkecoh buzzer penguasa saat ini yang memberitakan segi positif penguasa. “Jadi publik jangan terkecoh dengan narasi-narasi seperti ini,” papar Christ.

Buzzer Menjadi Musuh Bersama Publik 

Harus diakui, di Indonesia,  buzzer lebih melekat dan lebih dibutuhkan untuk urusan politik. Buzzer kerap menjadi ‘alat’ yang digunakan oleh pemerintah maupun oposisi untuk menyampaikan informasi. Bahkan negara kini juga memiliki buzzer atau yang lebih sering disebut dengan ‘buzzer istana’. Idealnya, seorang buzzer harus tetap netral meski ia harus menjadi ‘suara’ bagi pemerintah untuk menginformasikan isu negara. Sayangnya, mereka justru menjadi musuh publik karena tidak memiliki kemampuan untuk mendengarkan kritik dan aspirasi dari rakyat.

Buzzer pemerintah sudah ada sejak tahun 2014. Buzzer istana seyogyanya bisa menjadi  “mata “dan ‘telinga’ bagi pemerintah untuk menyerap kebutuhan public bukan malah sebaliknya. Tapi yang terjadi justru mereka mematikan informasi-informasi yang dianggap menyerang pemerintah. Karena buzzer yang benar-benar melakoni profesinya untuk menyebarkan informasi, tidak akan mau mematikan informasi yang berbeda.

Kalau seandainya mereka bisa membuktikan bahwa dia bisa menyampaikan, artinya menjadi mulut bagi pemerintah dan menjadi telinganya untuk  mendengarkan. Artinya ketika ada orang berbeda pendapat maka akan dia mendengarkan kemudian merangkul : “ apa nih masalahmu ?. Adanya perbedaan pendapat berusaha ia dengarkan dan mencari akar masalahnya. Sehingga buzzer yang betul kemudian mencari titik temu persoalan untuk dicarikan solusinya. Itulah fungsi buzzer sebagai mata dan telinga Pemerintah.

Perilaku buzzer yang cenderung menyerang dan mematikan pendapat yang bertentangan dengan pemerintah, justru membuat jarak yang semakin jauh antara publik dan pemerintah.Oleh karena itu untuk menertibkan perilaku tipikal buzzer istana yang telah keluar dari relnya kepadanya perlu diberikan tugas untuk mendengarkan. Jadikan mereka telinga pemerintah untuk menyerap aspirasi public, publik jangan dimatikan aspirasinya. Itulah  cara untuk menertibkan buzzer-buzzer bermasalah ini. Bagaimana Pak Jokowi siap menertibkannya atau memang merasa lebih pede kalau terus memelihara buzzer?.

(Ali Mustofa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar