Konspirasi Elite di Balik Karhutla dan Korupsi Sumur Bor
Presiden Joko Widodo meninjau kondisi Karhutla (elshinta.com)
Jakarta, law-justice.co - "Kemarin saya lewat sini. Saya lihat api, dan ada motor yang parkir di pinggir jembatan. Langsung saya teriakin,” kata Edy Pratowo, Bupati Pulang Pisau, Kalimantan Tengah.
Ia khawatir kalau dua orang itu adalah pembakar hutan dan lahan. “Saya langsung loncat (pagar jembatan), mengejar mereka,” kata Edy seperti dilansir dari tulisan indepth Tirto.id, Senin (7/10/2019).Edy mengklaim, awalnya api itu cuma membakar sekitar 5 meter persegi, tapi makin besar karena embusan angin. Hingga akhirnya kebakaran meluas hingga lebih dari sekitar 1 hektare lahan di sekitarnya.Saya sebetulnya tak percaya kalau Edy betul-betul meloncati pagar jembatan Tumbang Nusa, yang setinggi dada orang dewasa. Sebab tanah rawa di luar pagar itu lebih rendah daripada jembatan—mungkin jaraknya sekitar satu sampai 1,5 meter.
Dugaan Korupsi Sumur BorSehari sebelum saya bertemu Nasrullah, Kejaksaan Negeri Palangkaraya menggeledah Kantor Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kalteng, terkait dugaan tindak pidana korupsi pembasahan lahan gambut oleh Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui DLH.Surat penyidikan tersebut baru terbit pada 17 September, tiga hari sebelumnya. Kejari mencium ada dugaan korupsi proyek pengadaan sumur bor, yang pada 2018 lalu dipasang di sekitar 3.225 titik dengan nilai satu titik pembuatan sumur bor diperkirakan sekitar Rp3,5 juta.Untuk Palangkaraya sendiri, jumlah titik sumur bor yang diketahui adalah 225 titik beserta kelengkapannya. Sumur bor ini dibangun menggunakan anggaran yang berasal dari APBN anggaran dari BRG Pusat, melalui KLHK dan turun ke DLH Kalteng. Total seluruh pembangunan infrastruktur tersebut adalah Rp84 miliar untuk 2018 dan Rp41 miliar untuk 2019.Penyidikan ini memang masih berlangsung di Palangkaraya, dan belum masuk ke Kabupaten Pulang Pisau tempat Nasrulah dan Edy Pratowo tinggal. Namun, kata Kasi Intel Kejari Palangkaraya Mahdi Suryanto kepada Antara, penyidikan juga tengah dan akan berlangsung di Pulang Pisau, Kapuas, Barito Selatan hingga Katingan.“Di tempat-tempat yang memang ada sumur bor tersebut,” katanya.Namun, sampai sejauh ini, penyidikan Kejari Palangkaraya belum membuahkan nama tersangka.Konspirasi EliteTuduhan seperti analisis Edy soal MPA bukan berita baru. Pemerintah sering kali menuding aktivitas masyarakat yang berladang dengan cara membakar lahan yang menjadi penyebab karhutla awet tiap tahun. Setiap karhutla kambuh, pemerintah selalu mengambinghitamkan masyarakat sebagai akar penyebab kebakaran. Padahal semakin jarang masyarakat yang berladang.Menurut data yang disebutkan oleh Institut Dayaklogi, estimasi keluarga dalam satu desa paling banyak mencapai 600-700 keluarga. Dari jumlah tersebut, hanya sekitar 60 persen yang berprofesi sebagai peladang. Penelitian oleh Herry Purnomo yang terbit di Forest Policy and Economics Journal mengungkap bisnis menguntungkan jual beli lahan di balik kasus karhutla.Ia punya penjelasan lebih runut, tentang kaitan oknum pembakar lahan dari masyarakat yang rupanya dibayar oleh elite, termasuk orang pemerintahan. Aktor pembakar lahan ia kerucutkan menjadi tiga tipe: Pertama, tipe kecil. Ini adalah jenis aktor berskala kecil, misalnya peladang atau masyarakat lokal.Tipe aktor ini tidak memberi dampak signifikan terhadap karhutla. Karena lahan mereka biasanya tidak luas. Tipe menengah: biasanya dilakukan oleh pendatang yang menjadi broker jual beli lahan antara elite lokal dengan pembeli dari kota. Mereka paling sulit dideteksi karena tidak memiliki alamat jelas dan membakar dengan berpindah lahan.“Mereka (menjual lahan) pakai Surat Keterangan Tanah (SKT) lewat kepala desa. Padahal itu ilegal,” jelas Herry Purnomo, peneliti laporan Fire economy and actor network of forest and land fires in Indonesia saat dihubungi Tirto, Rabu (18/9/2019).Pembakaran mereka lakukan untuk menaikkan harga lahan. Ketika masih hijau, lahan hanya dihargai Rp3 juta per hektare. Tapi jika ditebang, harganya naik menjadi $665 (sekitar Rp9 juta) per hektar. Nilainya semakin meningkat ketika dijual saat sudah dibakar, yakni mencapai $856 (Rp11 juta) per hektare.Sementara jika sudah ditanam sawit menjadi $3.800 (Rp53 juta) per hektare. Metode bakar lahan dipilih untuk menghemat modal, dengan membakar, mereka hanya perlu mengeluarkan uang sebesar Rp500 ribu per hektare. Sedangkan jika membuka lahan tanpa bakar, ongkosnya mencapai Rp5,5 juta per hektare.Terakhir adalah aktor elite: Ketika tanah sudah laku, uang penjualan sebagian besar didistribusikan ke elite lokal di Jakarta. Mereka adalah aktor yang bertugas mengatur transaksi tanah. Dalam melaksanakan tugas, elite lokal mendapat imbalan sebesar 68 persen dari pendapatan. Sementara aktor pembakar lahan memperoleh bagian 22 persen, dan elite desa yang mengesahkan dokumen tanah (SKT) mendapat porsi 10 persen. Laporan Purnomo juga menunjukkan pembeli tanah berasal dari Jakarta, Bogor, Surabaya, atau kota besar lainnya.“Ini bisnis yang menguntungkan secara ekonomi,” pungkas Herry.Saya juga sempat bertemu dengan Amir—bukan nama asli—pelaku pembakar lahan yang mengaku sudah tobat. Merunut pada kerangka aktor Purnomo, ia adalah aktor tipe menengah. Kata Amir, lahan yang hijau memang punya harga lebih rendah dari yang sudah dibakar.“Selisihnya bisa [Rp] 4-7 juta, biasanya,” kata Amir.Per hektare, ia pernah mengantongi upah sampai Rp15 juta untuk perusahaan. Ia sendiri berhenti dari profesi ini karena keamanan yang makin terancam.“Peladang kayak saya itu udah makin banyak yang buru. Kadang-kadang ada perusahaan yang bocorin ke polisi supaya kita diawasi,” kata Amir.Namun, ia enggan merinci perusahaan mana saja yang pernah ia tangani.Kaitan Korupsi dan Karhutla Itu NyataKonspirasi elite yang melibatkan kepala daerah juga bukan berita baru. Greenpeace Indonesia mencatat rapi sejumlah kasus korupsi yang berdampak pada berkurangnya jumlah hutan.Di Riau—salah satu provinsi langganan karhutla terparah—misalnya, tiga gubernur Riau yang tertangkap kasus korupsi. Dua di antaranya terkait dengan sumber daya alam.Gubernur Riau Rusli Zainal ditangkap karena korupsi izin kehutanan. Ia mensahkan BKT-UPHHKHT yang sebabkan penebangan hutan alam dan merugikan negara senilai Rp265 M. Ada juga, Gubernur Annas Mamun, yang juga mantan Bupati Rokan Hilir, ditangkap KPK di kawasan Cibubur karena menerima sejumlah uang dari pengusaha terkait alih fungsi lahan. Tak hanya Gubernur, beberapa Bupati pun tak lepas dari praktik korupsi kehutanan.Misalnya Bupati Pelalawan Tengku Azmun Jaafar dijerat KPK karena mengeluarkan izin penggarapan hutan ke sejumlah perusahaan kayu di Riau. Bupati Siak Arwin AS pun diseret KPK karena juga mengeluarkan izin pengelolaan hutan alam untuk dijadikan hutan tanaman industri.Dengan izin itu, pemegang izin bebas membabat hutan dan diambil kayunya dengan alasan pembersihan sebelum dibangun hutan tanaman industri. Terakhir ada Bupati Kampar Burhanuddin Husin yang ditetapkan tersangka dalam kasus dugaan korupsi penerbitan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Hutan Tanaman (IUPHHK-HT) di sejumlah perusahaan, di Kabupaten Pelalawan dan Siak. Korupsi sektor SDA ini tidak hanya di Riau.Berdasarkan temuan Walhi, pemberian izin pelepasan hutan dan perkebunan meningkat tajam sekitar satu tahun menjelang pilkada dan satu tahun setelah pilkada, di banyak daerah. Bahkan, Kepala BNPB Doni Monardo juga sempat menyebut, 80 Persen hutan yang terbakar selalu berubah jadi perkebunan.Mata rantai ini seharusnya tak sulit dilihat dan diputus oleh negara yang punya kekuatan dan kekuasaan. Kecuali, karhutla memang sudah jadi sumber bisnis sekelompok elite, yang menghirup asapnya saja mungkin tidak pernah.
Share:
Tags:
Komentar