Revisi UU Ketenagakerjaan: Perusahaan Untung, Buruh Buntung

Kamis, 03/10/2019 18:28 WIB
Aksi demo buruh tolak revisi UU Ketenagakerjaan (Ayobandung.com)

Aksi demo buruh tolak revisi UU Ketenagakerjaan (Ayobandung.com)

Jakarta, law-justice.co - Kemarin, Rabu (2/10/2019), buruh mengadakan aksi unjuk rasa untuk menolak revisi Undang-undang (UU) Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Penolakan tersebut bukan tanpa alasan. Melansir dari CNN Indonesia, Kamis (3/10/2019), Ketua Asosiasi Serikat Pekerja (ASPEK) Indonesia Mirah Sumirat mengungkapkan penolakan dilontarkan sebab berbagai informasi yang dihimpun buruh menunjukkan poin yang akan dimasukkan dalam revisi berpotensi merugikan pekerja.

Beberapa informasi yang didengarnya dari media maupun sumber dari pemerintahan menyebutkan salah satu poin yang akan dimasukkan dalam revisi menyangkut penghapusan hak pesangon pekerja. Poin lain, perluasan sektor pekerjaan yang dapat dialihdayakan (outsourcing) dan perpanjangan penyesuaian upah minimum dari satu tahun menjadi dua tahun sekali.

Lalu, berdasarkan informasi yang diterimanya, jangka waktu pekerja kontrak juga akan diperpanjang dari paling lama dua tahun menjadi lima tahun, serta perluasan penempatan tenaga kerja asing di dalam negeri.

"Dari poin-poin yang saya sampaikan, itu akan merugikan sekali buruh di Indonesia. Kami dapat apa dari itu," katanya.

Mirah mengaku belum menerima draf resmi rancangan revisi tersebut. Namun, ia meyakini revisi itu akan dilakukan mengingat tidak ada asap kalau tidak ada api.  Salah satunya, pernyataan Menteri Ketenagakerjaan Hanif Dhakiri yang menilai UU Ketenagakerjaan saat ini terlalu kaku seperti kanebo kering sehingga menyebabkan investor enggan masuk.

Karenanya UU Ketenagakerjaan perlu direvisi.  Menurutnya, berbagai informasi terkait revisi yang dilontarkan oleh pemerintah maupun media bertujuan untuk mengetes reaksi pasar. Terlebih, ia juga mengalami krisis kepercayaan terhadap pemerintah yang kerap menerbitkan peraturan secara sepihak.

"Kami pernah menanyakan kepada Kementerian Ketenagakerjaan melalui biro hukum katanya mereka sudah buat (draf revisi UU Ketenagakerjaan) tetapi draf itu tidak pernah diberikan kepada kami, `disimpen` atau disembunyikan," katanya.

Sampai saat ini, Mirah menilai UU Ketenagakerjaan belum perlu direvisi karena isinya masih sesuai dengan kebutuhan. Ia juga khawatir apabila revisi dilakukan malah nantinya akan membuat aturan tentang ketenagakerjaan semakin carut-marut.

"Untuk situasi saat ini, pemerintah selalu membuat peraturan yang memberatkan pekerja atau buruh, tidak perlu ada revisi UU 13/2003," tegasnya.

Alih-alih merevisi UU Ketenagakerjaan, Mirah lebih memilih pemerintah membenahi aturan pelaksananya.  Misalnya, Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan.

Menurutnya aturan tersebut bertentangan dengan UU Ketenagakerjaan. Pasalnya, PP 78/2018 mengatur kenaikan upah minimum berdasarkan formula inflasi dan pertumbuhan ekonomi.

Padahal, sesuai UU Ketenagakerjaan besaran kenaikan upah minimum juga harus mempertimbangkan tingkat kebutuhan hidup layak yang direkomendasikan oleh dewan pengupahan.  Kalaupun harus ada revisi, pemerintah sebaiknya membuka ruang komunikasi dengan melibatkan seluruh pihak yang berkepentingan, termasuk kalangan buruh.

"Revisi juga harus mencakup keseluruhan bukan parsial. Artinya, pasal per pasal benar-benar dikaji, bukan perubahan pasal per pasal sesuai keinginan pihak tertentu seperti keinginan pengusaha atau pemerintah atau keinginan serikat pekerja," tegasnya.

Buruh Belum Siap Perubahan

Pengamat Ketenagakerjaan dari Universitas Gajah Mada Susilo Andi Darma menilai reaksi negatif serikat pekerja terhadap revisi tersebut mencerminkan ketidaksiapan pekerja Indonesia dalam menghadapi pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel. Mereka, menurutnya, juga mengambil momen dari serangkaian demo yang dilakukan untuk menolak pengesahan sejumlah undang-undang.

"Buruh kita (Indonesia) tidak siap. Kita saat ini sudah ketinggalan. Pengusaha saat ini ingin satu rangkai pekerjaan dikerjakan oleh satu orang. Sekarang, satu rantai masih dikerjakan oleh beberapa orang. Kalau revolusi terjadi, rasionalisasi pekerja pasti terjadi," tuturnya.

Sepengetahuannya, draf resmi revisi UU Ketenagakerjaan belum ada, baik berupa naskah akademis maupun rancangan undang-undang. Artinya, informasi yang beredar mengenai isi revisi uu tersebut tidak bisa dipertanggungjawabkan.

"Bisa saja teman-teman buruh mendapatkan informasi dari sumber yang tidak bisa dipercaya dan mereka tidak hati-hati," jelasnya.

Menurut Susilo, UU Ketenagakerjaan perlu direvisi untuk menyesuaikan dengan perkembangan revolusi industri 4.0.  "Dalam revolusi industri 4,0, banyak praktik kerja di lapangan yang belum bisa diakomodasi dalam UU13/2003. Misalnya, driver Gojek, dikatakan mitra tidak bisa, dikatakan pekerja mereka tidak mau. Dalam praktiknya, bukan hubungan mitra dan bukan hubungan pekerja," jelasnya.

Selain itu, UU Ketenagakerjaan juga sudah beberapa kali digugat di tingkat Mahkamah Konstitusi (MK) di mana sejumlah pasal dianggap bertentangan dengan Undang-undang Dasar 1945 sehingga dianggap tidak berkekuatan hukum.

"Dalam hal ini, dapat dilakukan revisi sebagian atau terhadap pasal-pasal yang telah di judicial review tersebut," jelasnya.

Sesuai Zaman

Senada, Pengamat Ketenagakerjaan Tadjudin Nur Effendi juga menilai UU Ketenagakerjaan perlu direvisi untuk menyesuaikan dengan perubahan zaman.

"Kalau tidak ada perubahan UU, mereka-mereka yang tidak bisa mengikuti perkembangan teknologi akan terdampak dan akan dibuang," jelasnya.

Hubungan pekerja dengan perusahaan juga akan mengarah kepada hubungan kerja yang saling menguntungkan (smart partnership). Dalam hal ini, buruh tidak lagi menduduki posisi sebagai obyek perusahaan, yang bergantung kepada kebijakan gaji perusahaan.

Menurut ia, fleksibilitas pasar tenaga kerja seharusnya tidak perlu dikhawatirkan selama angkatan kerja memiliki keahlian. Untuk itu, setahunya, revisi UU Ketenagakerjaan akan mengatur tentang pemberian jaminan peningkatan keahlian bagi pekerja.

"Pabrik-pabrik yang ingin mengubah teknologi harus memberikan pelatihan ketrampilan kepada pekerjanya sehingga kalau ketrampilan ditingkatkan mereka bisa kerja lagi," ucapnya.

Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah perlu mengatur agar perusahaan mau menjalankan ketentuan tersebut dengan cara mengubah undang-undang.

"Misalnya, perusahaan yang memberikan pelatihan itu akan diberikan insentif pajak. Di UU 13/2003 belum ada atau kurang tentang itu," ucapnya.

Pemberian ketrampilan juga dilakukan apabila perusahaan ingin melakukan Pemutusan Kerja (PHK) kepada karyawan. Pelatihan tersebut harus bisa menjadi modal bagi karyawan untuk mencari pekerjaan di tempat lain.Sebagai gantinya, besaran pesangon pegawai bisa ditekan.

"Itu yang saya dengar ketika saya ngobrol-ngobrol dengan orang-orang dari Kementerian Ketenagakerjaan," jelasnya.

Menurutnya. fleksibilitas pasar tenaga kerja pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing Indonesia di mata investor asing. Apabila semakin banyak investasi yang masuk maka pintu lapangan kerja akan semakin terbuka lebih lebar.

Lebih lanjut, ia menyayangkan sikap antipati buruh terhadap perubahan UU Ketenagakerjaan. Setahunya, revisi undang-undang baru sebatas rencana, belum ada pembicaraan lanjutan maupun draf resmi untuk diberikan penilaian maupun memicu perdebatan.

"Mereka harusnya berbicara langsung ke Kementerian Ketenagakerjaan atau ke pemerintah langsung untuk tahu pasal-pasal mana yang diubah. Datang dong. Ini kan berbicara di luar dan dikipas-kipas sama orang," ucapnya.

(Regi Yanuar Widhia Dinnata\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar