Komunitas Kristen Mennonite, Amerika, dan Islam

Sabtu, 07/09/2019 19:32 WIB
Komunitas Mennonite di Amerika (Learn Religions)

Komunitas Mennonite di Amerika (Learn Religions)

law-justice.co - Belum lama ini saya menulis sebuah buku berjudul Among the Believers: Kisah Hidup Seorang Muslim Bersama Komunitas Mennonite Amerika. Buku yang diberi pengantar oleh Profesor Lawrence Yoder dari Eastern Mennonite Seminary ini merupakan hasil dari pergumulan saya selama kurang lebih dua tahun (2005-2007) bersama komunitas Kristen Mennonite Amerika di kota Harrisonburg, Negara Bagian Virginia, ketika saya mengambil program master di bidang “transformasi konflik dan studi perdamaian” di Eastern Mennonite University’s Center for Justice and Peacebuilding.

Selama kurang lebih dua tahun itu, saya tinggal serumah bersama keluarga Mennonite dan bergaul dengan komunitas Mennonite baik di gereja, kampus, dan tempat-tempat publik lain.

Pengalaman saya bersama komunitas Mennonite ini memberi pelajaran yang berharga buat saya—pelajaran tentang “sisi lain” dunia Amerika. Dalam pandangan sebagian kaum Muslim dan sejumlah ormas keislaman di Tanah Air, Amerika sering digambarkan sebagai negara sekuler yang pro-kebebasan, anti-Islam, dan gemar perang. Di tengah tuduhan sebagian publik Muslim tentang Kristen dan Amerika yang membenci dan memusuhi Islam, pengalaman saya tinggal bersama komunitas Mennonite justru menunjukkan sebaliknya.

Berdiri pada abad ke-18, Mennonite—yang diambil dari nama pembaharu “Kristen Anabaptis” berkebangsaan Belanda di awal abad ke-16, Menno Simons (1496-1561)—adalah komunitas Kristen “illiberal” dalam pemahaman keagamaan dan wawasan teologinya (lihat studi John Roth, Beliefs: Mennonite Faith and Practice). Akan tetapi menariknya mereka mempunyai visi dan spirit kemanusiaan, forgiveness, rekonsiliasi, toleransi dan perdamaian yang sangat kuat melintas batas etnis, bangsa, budaya, dan agama.

Mennonite adalah komunitas keagamaan yang sangat taat dan saleh yang selalu berpegang teguh pada nilai-nilai fundamental agama Kristen dan “tradisi Bibel”. Mennonite menentang gagasan dan praktek sekularisme-liberalisme, anti alkohol, anti seks bebas, mengecam pornografi dan pornoaksi, mengutuk praktek homoseksual, dlsb yang mereka anggap sebagai “budaya Hollywood” yang meracuni masyarakat Amerika. Akan tetapi pada saat yang bersamaan mereka tetap toleran-pluralis dalam membangun hubungan keagamaan dengan komunitas agama lain.

Ini menunjukkan bahwa “konservatisme” dan “fundamentalisme” yang Mennonite pegang itu bersifat “ke dalam”. Karena itu Mennonite adalah contoh dari komunitas agama yang konservatif di satu sisi tetapi terbuka di pihak lain.

Saya ingin menamakan ini sebagai “konservatisme inklusif”—sebuah kombinasi pemahaman keagamaan yang unik dan paradoks. Berbeda dengan “konservatisme eksklusif” yang sangat tertutup dan tidak mau membuka diri, berdialog, berkomunikasi dan berinteraksi dengan komunitas di luar mereka, “konservatisme inklusif” bersifat terbuka dengan kebudayaan dan unsur-unsur luar (the otherness). Tidak seperti kelompok “konservatif eksklusif” yang apriori dengan “yang lain” dan bahkan sering underestimate terhadap kultur dan agama lain, kelompok “konservatif inklusif” dalam banyak hal tidak demikian.

Selain kesalehan individual, karakteristik fundamental komunitas Mennonite adalah “kesalehan sosial”. Pengikut Mennonite tidak hanya saleh dalam hal “ibadah individual” yakni aktivitas ritual yang berorientasi pada “keselamatan diri” kelak di akhirat seperti sembahyang, ibadah Minggu dlsb akan tetapi mereka juga saleh dalam hal “ibadah sosial” seperti aksi-aksi solidaritas kemanusiaan untuk membantu orang lain yang membutuhkan  apapun agama, etnis, bangsa dan ideologi mereka. Relief dan servicetelah menjadi salah satu “trade mark” Mennonite.

Spirit cinta-kasih ini begitu kuat dalam tradisi Mennonite. Dan doktrin cinta-kasih itu bukanlah ungkapan verbal kosong melompong tak berisi melainkan dipraktekkan dalam tindakan nyata dan diorganisasikan dalam bentuk lembaga-lembaga sosial yang bertebaran di komunitas ini seperti Mennonite Central Committee (MCC). MCC yang memiliki cabang di berbagai belahan dunia ini telah menggelontorkan milyaran dollar guna membantu para korban bencana, baik bencana alam (tsunami, banjir, gunung meletus, badai dlsb) maupun “bencana politik” (korban perang).

Di Indonesia, MCC juga telah mengeluarkan uang milyaran rupiah untuk membidani proses rehabilitasi dan recovery Aceh pasca-tsunami, membantu membangun rumah-rumah para korban Gunung Merapi (baik Muslim maupun Kristen), mendorong proses rekonsiliasi Kristen-Muslim di Maluku, dan masih banyak lagi.

Lebih lanjut Mennonite, khususnya Mennonie Amerika, adalah kelompok keagamaan yang memiliki karakter kuat dalam memegang prinsip pacifism, yakni sebuah paham antikekerasan—apapun jenisnya—dan pro pada usaha-usaha pembangunan perdamaian (peacebuilding) dalam menyelesaikan masalah-masalah konflik, khususnya konflik komunal yang melibatkan dua atau lebih kelompok/grup yang bertikai. Komitmen pada proses pembangunan perdamaian, gerakan antikekerasan, forgiveness dan rekonsiliasi ini tidak hanya mereka wacanakan seperti umumnya dilakukan banyak orang tetapi betul-betul mereka implementasikan dalam tindakan nyata.

Bersama Quaker dan Brethern, Mennonite adalah penyokong apa yang disebut “historic peace churches” yang kontra terhadap segala jenis tindakan kekerasan baik domestik lebih-lebih kekerasan berdimensi politik-keagamaan. Mennonite juga menjadi eksponen utama gerakan anti-perang di Amerika. Para tokoh Mennonite sering memobilisir massa untuk berdemonstrasi di Gedung Putih guna menentang “program perang” AS di Afghanistan, Irak, dan negara lain, sambil mengadvokasi pentingnya menyelesaikan kekerasan secara damai.

Tidak seperti sebagian orang-orang Kristen militan-konservatif yang bangga dengan simbol “salib dan pedang” seperti didoktrinkan Santo Agustinus, kaum Mennonite lebih suka “salib dan bunga.” Jika sebagian kaum Kristen bangga dengan simbol burung elang yang berani dan gagah perkasa, Mennonite lebih memilih merpati yang lembut dan rukun. Sangat menarik untuk disimak banyak sekali lembaga-lembaga Mennonie yang menggunakan simbol burung merpati ini. Burung merpati memang simbol perdamaian, kerukunan, harmoni, dan kejujuran sekaligus. Tidak pernah saya menyaksikan “burung dara” ini berkelai satu sama lain.

Komitmen Mennonite pada peacemaking and nonviolence movements ini dibentuk oleh “their historical experience, their close reading of biblical tradition, and their evolving spiritual response to the world around them”. Demikianlah pernyataan sarjana dan rabbi Yahudi Amerika terkemuka Marc Goppin dalam karyanya, Between Eden and Armageddon: The Future of World Religions, Violence, and Peacemaking (Goppin 2002: 164). Saya kira Professor Gopin benar.

Spirit dan filosofi nirkekerasan yang dilakukan Mennonite dibentuk oleh, dan produk dari, berbagai faktor: (1) “respons spiritual” atas pluralitas lingkungan sekitar, (2) pembacaan atas tradisi biblikal terutama mengenai sepak terjang Yesus yang antikekerasan dan penuh cinta-kasih kepada umat manusia, serta (3) pengalaman sejarah kelompok agama ini yang penuh penderitaan sejak dari Eropa sampai Amerika. Sudah banyak buku yang mengisahkan kisah pilu perjalanan mereka: dikucilkan dari komunitas, dituduh sekte sesat, dilecehkan sebagai “orang kuno” yang tidak mau beradaptasi dengan modernitas dan seterusnya.

Pengalaman sejarah Mennonite sebagai kaum minoritas tertindas yang terpinggirkan dalam sejarah kebudayaan manusia turut memberi kontribusi pada dontrin dan filosofi nirkekerasan, forgiveness, rekonsiliasi, dan perdamaian yang menjadi trade markkelompok agama tradisi Anabaptis ini. Memang menjadi pertanyaan besar: kenapa sebuah komunitas yang mengalami “sejarah gelap” demikian panjang kemudian berubah menjadi “anti-kegelapan”? Bagaimana proses transformasi dari “komunitas tertindas” ke “komunitas pemaaf dan pendamai” itu terjadi?

Dalam banyak hal, orang atau kelompok yang tertindas atau teraniaya, atau mengalami praktek penindasan, kemudian berubah menjadi “kelompok penindas” yang bengis karena adanya dorongan balas dendam. Bahkan pembunuhan, dalam masyarakat tertentu, bisa menjadi suatu perbuatan yang sangat mulia. Inilah yang disebut—dalam literatur antropologi—“honor  killings,” yakni pembunuhan demi menjaga martabat keluarga atau kelompok/etnis tertentu. Dalam literatur agama juga dikenal “mati syahid” atau “perang suci” demi membela atau mempertahankan sesuatu yang mereka anggap sakral: agama, tanah, keluarga, dlsb. Tetapi Mennonite tidaklah demikian. Meskipun sejarah mereka penuh kegetiran sebagai “kaum teraniaya” (the oppressed), mereka tidak berubah menjadi sekte agama militan-radikal laiknya kaum “islamis-teroris”.

Akhirul kalam, umat Mennonite Amerika adalah sebuah kelompok agama yang unik dan menarik untuk dikaji dan dicontoh sekaligus. Mereka adalah minoritas agama disana. Jumlah pengikut Mennonite di Amerika kurang dari 400,000 (total pengikut Mennonite di seluruh dunia, menurut survei Mennonite World Mission tahun 2006, sekitar 1,3 juta). Sementara penduduk Amerika lebih dari 300 juta jiwa. Jadi hanya sekitar 0,3% saja dari total penduduk negara adi daya itu. Jumlah umat Islam di Amerika jauh lebih banyak dari Mennonite.

Meskipun dari segi jumlah mereka minoritas akan tetapi dari segi peran di sektor publik dan pembangunan wacana, mereka tidak bisa dipandang minoritas lagi. Banyak ide dan wacana yang dikembangkan Mennonite Amerika dicontoh oleh komunitas lain, tidak hanya di Amerika saja tetapi juga di berbagai negara. Contoh kecil adalah tentang konsep peacebuilding, trauma healing, restorative justice, reconciliation, dan conflict transformation. Beberapa konsep ini telah “dikloning” oleh banyak orang dari berbagai kawasan: dari Afrika Barat sampai Amerika Latin, dari Kanada sampai Filipina.

Ideologi “pacifisme” yang diusung Mennonite—bersama Quaker, Brethren in Christ, dan kelompok pacifis lain—juga turut mengibarkan nama pengikut Menno Simons ini. Di saat dunia sedang dilanda konflik antarnegara, antaretnis, antaragama, antarkelompok dan seterusnya, spirit “pacifisme” yang antikekerasan dan pro-perdamaian ini seperti air hujan di tengah musim panas yang kering kerontang. Pacifisme menjadi simbol “perlawanan kultural” atas ideologi perang dan kekerasan yang didengungkan oleh sejumlah orang dan kelompok militan-radikal. Pula, di tengah masyarakat yang saling membenci dan memusuhi, spirit forgiveness dan rekonsiliasi yang diusung Mennonite terasa sangat menyejukkan. Oleh karena itu tidaklah berlebihan jika saya katakan bahwa Mennonite, dalam banyak hal, seperti oase di padang pasir yang gersang.

Sumber: laman Sumanto Al Qurtuby, Antropolog Budaya di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi

 

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar