Warga Dilaporkan Polisi Karena Mempertahankan Lahan dari Tambang

Jum'at, 16/08/2019 13:38 WIB
Posko perlawanan yang didirikan warga, menjaga lahan-lahannya dari upaya penyerobotan pihak perusahaan. (Foto: Jatam)

Posko perlawanan yang didirikan warga, menjaga lahan-lahannya dari upaya penyerobotan pihak perusahaan. (Foto: Jatam)

Jakarta, law-justice.co - Sebanyak tiga warga di Kecamatan Wawonii Tenggara, Konawe Kepulauan, Sulawesi Tenggara dilaporkan ke polisi di tengah pembekuan izin tambang di kawasan tersebut. Laporan ini dibuat oleh pihak perusahaan PT Gema Kreasi Perdana karena menganggap warga menghalang-halangi proses pertambangan.

Warga bertahan di atas lahannya. Mereka yang telah mengelola tanah tersebut selama puluhan tahun itu berkeras tak memberikan lahannya untuk pembuatan jalan tambang perusahaan.

Seperti dilansir Kompas, pada pengujung Juli 2019 siang, tiga warga Kecamatan Wawonii Tenggara, yaitu Wa Ana (37), Amin L (55), dan Labaa (78), memenuhi panggilan Polda Sultra terkait adanya laporan PT Gema Kreasi Perdana (GKP). Ketiganya menjawab sedikitnya 14 pertanyaan penyidik terkait tuduhan menghalangi proses pembuatan jalan tambang perusahaan.

Wa Ana mengatakan, selama ini ia tidak pernah menghalangi atau mengganggu proses pembuatan jalan tambang yang dilakukan perusahaan. Akan tetapi, bersama beberapa warga lainnya, ia menjaga agar lahan miliknya tidak diganggu orang atau perusahaan.

"Lahan saya itu berdekatan dengan lokasi milik Pak Amin dan Pak Labaa. Itu tanah warisan dari orang tua yang sudah dikelola sejak 35 tahun. Jadi kaget sekali tiba-tiba ada panggilan, karena itu lahan kami sendiri," urai Wa Ana seperti dilansir dari Kompas.

Lahan seluas satu hektar milik Wa Ana, di Desa Sukarela Jaya itu ditanami jambu mete, kelapa, pala, cengkeh, juga beberapa tanaman lainnya. Selain menjadi penopang keluarga, ia tidak ingin menjual tanah tersebut karena merupakan warisan dari orang tua.

Amin L (55) menuturkan hal serupa. Lahan seluas sekitar satu hektar miliknya telah dikelola puluhan tahun lamanya. Selain itu, ia juga rutin membayar pajak selama bertahun-tahun.

Saat dipanggil oleh pihak kepolisian, menurut Amin, ia kaget bukan kepalang. Sebab, ia merasa tidak pernah menghalangi proses pembuatan jalan yang dilakukan perusahaan.

"Memang pernah dulu didatangi orang perusahaan minta tanah 20 meter. Tapi saya tidak mau karena kalau sudah ada jalan tambang, akan ganggu tanaman yang lain. Saya ini orang tidak sekolah, tidak tahu apa-apa. Lahan itu satu-satunya sumber pendapatan keluarga,” kata ayah delapan anak ini.

Mando Maskuri, dari Front Rakyat Sultra Bela Wawonii menuturkan, pada 10 Juni lalu, alat berat dari PT GKP berusaha melakukan penyerobotan lahan milik Labaa untuk pembuatan jalan. Bersama keluarganya, Labaa lalu berusaha untuk menghalangi alat berat tersebut masuk ke dalam lokasi lahan.

Setelah itu, warga pemilik lahan lalu berusaha menjaga lahan agar tidak dilakukan penyerobotan. Setiap hari warga berada di lokasi dan meninggalkan semua pekerjaan. Selama itu, aktivitas warga sangat terganggu.

Selanjutnya, tambah Mando, warga dituduh melakukan penghalangan proses kegiatan pertambangan. Mereka dilaporkan dengan melanggar dengan sangkaan merintangi kegiatan pertambangan, seperti diatur dalam Pasal 162 Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batubara.

"Lalu tiba-tiba ada panggilan untuk datang ke kepolisian. Padahal warga hanya menjaga lahan milik sendiri. Tambang di Wawonii ini sementara dalam pembekuan. Kami berharap agar pemerintah pusat turun tangan menyelamatkan pulau kecil ini dari kepungan tambang," tambah Mando. Bersama sejumlah organisasi lain, mereka melakukan advokasi dan pengawalan penolakan warga terhadap tambang di Wawonii.

Direktur Operasional PT GKP Bambang Murtiyoso menjelaskan, pihaknya memang melaporkan ketiga warga tersebut karena dianggap menghalangi proses pembuatan jalan tambang yang sedang dilakukan. Terlebih lagi, lahan yang dikelola warga tersebut adalah lahan hutan di mana perusahaan telah memiliki Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan (IPPKH) sejak 2010. Area tersebut adalah area hutan konversi.

"Mereka pasang tenda, tali rafia, bahkan bermalam setiap hari sehingga kami tidak bisa lewat. Kami sudah delapan kali bertemu dengan mereka. September 2018 kami mulai lakukan pertemuan dialog internal untuk memberi pengertian, sampai beberapa kali tapi mereka keras kepala sekali. Akhirnya kita laporkan saja ke pihak kepolisian karena kami tidak tahu lagi harus persuasif seperti apa," kata Bambang.

Menurut Bambang, pihaknya telah melaporkan tindakan warga tersebut sejak Januari 2019. Hanya saja, baru ditindaklanjuti dengan pemanggilan pada Juli ini.

Sedangkan Melky Nahar, Kepala Kampanye Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) yang ikut mengawal kasus ini menyampaikan, ketiga warga tersebut sesungguhnya hanya mempertahankan hak ketika ada upaya penyerobotan yang dilakukan perusahaan. Terlebih lagi, selama ini ketiga warga tersebut tidak pernah setuju untuk melakukan jual beli lahan milik mereka.

"Ini kenapa kepolisian tiba-tiba beri surat undangan klarifikasi? Ini untuk kepentingan siapa? Apakah ini murni konteks penegakan hukum? Atau jangan-jangan untuk menjamin kepentingan perusahaan supaya aktivitasnya tetap berjalan tanpa ada gangguan masyarakat," ucap Melky.

Konflik warga dengan perusahaan tambang di Wawonii bukan kali ini terjadi. Sejak beberapa bulan lalu, aksi warga menolak tambang terus bergulir. Ribuan warga turun melakukan aksi selama beberapa waktu meminta agar izin tambang dicabut.

Seperti dilansir dari laporan Kompas, pemerintah Provinsi Sultra berjanji untuk menghentikan aktivitas tambang dan mencabut izin. Di pulau seluas 1.514 kilometer persegi itu, terdapat 18 Izin Usaha Pertambangan (IUP). Dalam perjalanannya, tiga IUP di pulau kecil ini telah habis masa berlakunya.

Belakangan, dari 15 IUP yang tersisa, Pemprov Sultra hanya mencabut sembilan izin yang kebetulan telah habis masa berlakunya. Sementara itu, enam izin hanya dibekukan dengan alasan untuk dilakukan kajian mendalam. Menurut pemerintah, pembekuan izin tetap berlaku hingga saat ini. Akan tetapi, pembekuan dianggap lemah karena hanya memo.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar