Kepemimpinan Tito Karnavian Terburuk dalam Sejarah Polri

Senin, 01/07/2019 16:35 WIB
KontraS merilis hasil kinerja kepolisian selama bulan Juni 2018-Mei 2019 di kantornya, Senin (1/7). (Winna Wijaya/law-justice.co)

KontraS merilis hasil kinerja kepolisian selama bulan Juni 2018-Mei 2019 di kantornya, Senin (1/7). (Winna Wijaya/law-justice.co)

Jakarta, law-justice.co - Kinerja Polri mendapat sorotan Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) selama periode Juni 2018-Mei 2019. Bertepatan dengan peringatan ulang tahun Bhayangkara yang ke-73, KontraS menemukan banyak pekerjaan rumah yang harus dijawab secara baik oleh institusi kepolisian. Temuan itu berdasarkan hasil aduan masyarakat sipil yang telah mereka himpun terutama berkaitan saat tahun politik.

"Pertama, kultur kekerasan masih sering digunakan oleh aparat di lapangan atas nama diskresi yang dimiliki oleh pihak kepolisian. Kami merekomendasikan agar penggunaan diskresi ada evaluasi apakah kebijakan yang diambil sesuai parameter yang ada," kata Yati kepada law-justice.co di Kantor KontraS, Senin (1/7).

Kewenangan diskresi yang dimaksud KontraS yakni polisi membenarkan tindakan yang dilakukan anggota berdasar penilaian sendiri, dengan penekanan untuk tujuan umum. Persoalan diskresi tidak hanya berkaitan dengan proses penyelidikan dan penyidikan sebagaimana yang termaktub dalam KUHAP, tapi juga dalam tingkah laku aparat kepolisian selama di lapangan.

Menurut Yati, parameter itu dapat dilihat melalui ukuran apakah kebijakan yang diambil itu sudah secara proporsional, akuntabel, legal, dan terlihat urgensinya.

Selain itu, Yati menilai kepolisian juga bermasalah terkait dengan netralitas. Kata dia, Polri harus menjaga netralitas sebagai penegak hukum dan pengayom. Sebab polisi sejatinya sebagai pelindung dan pelayanan masyarakat, maka diharapkan agar tidak berat sebelah. Apalagi menurutnya, di tahun politik ini jelas Polri berada di tengah pusaran politik.

"Kepolisian tidak dengan baik menjelaskan keterlibatan mereka di tahun politik ini," jelas Yati.

Tak hanya netralitas, KontraS juga menyoroti bagian kritis polisi lainnya berkaitan penanganan pelaku hoaks dan ujaran kebencian selama tahun politik. Pada bagian ini, polisi menjadi pihak yang dituduh melakukan kriminalisasi terhadap ulama dan oposisi, meski pada faktanya kepolisian juga menerima laporan pidana dan kubu oposisi yang melaporkan politisi pro pemerintah.

Kemudian juga berikatan dengan kebebasan berpendapat yang nyata-nyata dibatasi, seperti pelarangan aksi #2019gantipresiden. Serta tuduhan polisi dengan berdasarkan pasal makar, yang menurut catatan KontraS, parameter yang digunakan tidak jelas.

Kendati dari banyak kasus penyebar hoaks polisi berhasil membuktikan kesalahan para pelaku, namun dalam penggunaan pasal ujaran kebencian dan makar, sepak terjang kepolisian dinilai kontroversial. Hal itu diperparah karena sifat ketentuan atau undang-undang yang mengatur penggolongan tindakan ujaran kebencian yang lentur, tidak jelas, dan multi penafsiran.

Dalam setahun ini, KontraS mencatat sebanyak 643 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh pihak kepolisian. Korban didominasi oleh 33 aktivis, 174 warga sipil, 388 kriminal, 13 jurnalis, dan 40 mahasiswa. Kondisi korban sebanyak 651 tewas, 247 luka-luka, dan 856 ditangkap. Dari berbagai fakta dan realita diatas dapat disimpulkan bahwa periode Polri dibawah kepemimpinan Jenderal. Pol. Tito Karnavian adalah yang terburuk dalam sejarah Polri, lanjut KontraS.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar