Motif di Balik Mereka yang Melakukan Aksi Bom Bunuh Diri

Jum'at, 07/06/2019 17:39 WIB
Aksi bom bunuh diri menyerang pos polisi milik Polsek Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (3/6). (Foto: tempo.co)

Aksi bom bunuh diri menyerang pos polisi milik Polsek Sukoharjo, Jawa Tengah, Senin (3/6). (Foto: tempo.co)

law-justice.co - Senin lalu, 3 Juni 2019, kembali aksi terorisme kembali terjadi. Seorang laki-laki yang diduga membawa bom, meledakkan diri di depan pos polisi Tugu Kartasura milik Polres Sukoharjo, Jawa Tengah. Beruntung tidak ada korban dalam ledakan ini, kecuali pelaku sendiri yang mengalami luka parah dan segera dibawa ke rumah sakit. 

Kejadian bom bunuh diri ini bukanlah yang pertama kali di Indonesia. Tahun lalu, di Surabaya, pelaku yang merupakan satu keluarga, meletakkan bom di tiga gereja, dan menewaskan ratusan korban. Mengapa seseorang rela berkorban nyawa demi menghilangkan nyawa orang lain? Apa yang mendorong mereka melakukan hal itu? Demi apa dan siapa sebenarnya?

Banyak orang berpendapat bahwa individu-individu tersebut melakukan tindakan ekstrem itu demi mendapatkan predikat sebagai pahlawan atau teroris. Namun di balik semua itu, ada proses psikologi yang disebut penyatuan jati diri dengan kelompok.

Harvey Whitehouse, peneliti dari Universitas Oxford, menjelaskan bahwa penyatuan jati diri berperan besar dalam mendorong seseorang untuk rela mati demi kelompok dan keyakinan agama mereka.

Perasaan itu muncul karena adanya pengalaman berbagi dalam setiap peristiwa dengan melibatkan emosi secara mendalam dan membentuk keinginan untuk hidup dan mati bersama, kata Bill Swann, psikolog sosial dari Universitas Texas yang pertama kali mencetuskan teori ini.

Penjelasan itu berbeda dengan teori-teori sebelumnya yang menjelaskan bahwa motivasi seseorang berperilaku ekstrem adalah identitas kolektif, permusuhan dengan lawan, kedekatan psikologis dengan kerabat, dan pengaruh gangguan mental.

Whitehouse dan timnya dari Centre for Anthropology and Mind melakukan penelitian terhadap sejumlah kelompok militan, seperti kelompok fundamentalis Islam, dan kelompok garis keras lainnya, seperti suporter bola, klub bela diri, milisi suku, dan kelompok sipil bersenjata.

Mereka melakukan pengamatan langsung di lapangan, survei, dan wawancara dengan kelompok yang sejumlah anggotanya tewas saat bertempur demi kepentingan kelompok, seperti kelompok sipil bersenjata di Libya dan tentara yang bertugas di Afghanistan dan Irak.

Studi mengungkapkan, persamaan pandangan bahwa setiap anggota kelompok adalah saudara sehidup semati yang harus berbagi kebersamaan dalam setiap peristiwa memunculkan keinginan melindungi satu sama lain yang dapat mendorong pengorbanan diri.

Untuk itu, Whitehouse berkata bahwa memahami munculnya rasa persaudaraan di dalam kelompok ekstrem terlihat lebih masuk akal daripada menyalahkan pemahaman ekstrem sebuah agama dalam usaha untuk menciptakan respons antiterorisme yang lebih efektif.  Kekerasan dan pemaksaan juga tidak akan menyelesaikan masalah terorisme, tetapi justru bisa menjadi bumerang.

Menurut Whitehouse, cara efektif yang bisa dilakukan adalah mengetahui apa atau siapa yang mereka perjuangkan, serta mengapa mereka melakukannya.

Setelah itu, deradikalisasi akan berhasil apabila mampu menghilangkan perasaan bersaudara di dalam kelompok militan, dan hal itu akan sangat membantu dalam proses pendampingan.

Peran orangtua dan keluarga, serta lingkungan lain seperti sekolah, pekerjaan, dan pemimpin agama, akan membantu mereka bangkit dengan motivasi hidup baru.

"Hanya dengan memahami munculnya komitmen dalam kelompok, kita bisa mendapatkan kepercayaan dan kerja sama, sekaligus membatasi kemungkinan untuk munculnya konflik antar kelompok," kata Whitehouse, dikutip dari Sciencedaily, Senin (5/3/2018).

Studi ini juga menyarankan untuk meningkatkan dinamika psikologis kelompok demi tujuan-tujuan yang damai di daerah yang hancur pasca aksi kekerasan, termasuk sejumlah wilayah di Libya. (NatGeoInd)

(Winna Wijaya\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar