ICJR: Pembatasan Media Sosial Harus Berlandaskan Hukum

Kamis, 23/05/2019 16:45 WIB
Ilustrasi (Hit Brother)

Ilustrasi (Hit Brother)

law-justice.co - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) mempertanyakan tindakan pemerintah yang membatasi akses penggunaan media sosial seperti Instagram, Facebook, Twitter, Whatsapp dan Line yang diberlakukan sejak Rabu (22/5).

Dalam rilis yang diterima redaksi law-justice.co, ICJR menyatakan inisiatif pemerintah tersebut tidak perlu dilakukan karena bertentangan dengan hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, serta kebebasan berekspresi.

Hal itu sudah diatur dalam Pasal 28F UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.

Selain itu, ICJR juga menyatakan, bahwa pembatasan penggunaan media sosial tanpa pemberitahuan sebelumnya adalah tidak tepat.

Pasal 4 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No.12 Tahun 2005, memberikan kewenangan kepada negara dalam keadaan darurat. Kondisi darurat dapat terjadi karena beberapa faktor, seperti penyebab yang timbul dari luar (eksternal) atau dalam negeri (internal) seperti ancaman militer/bersenjata atau tidak bersenjata seperti terror bom dan keadaan darurat lainnya.

Berdasarkan dua alasan di atas, ICJR merekomendasikan tiga hal kepada pemerintah, yaitu:

Pertama, pemerintah harus benar-benar mengkaji batas-batas yang jelas mengenai kebijakan pembatasan akses terhadap media sosial dan aplikasi messaging, agar tidak membuka peluang terjadinya pengurangan hak dan kepentingan yang lebih luas, seperti hak untuk berkomunikasi.

Kedua, apabila ada suatu keadaan darurat yang menyebabkan pembatasan terhadap HAM tertentu sebagimana diatur dalam ICCPR, maka presiden harus membuat penentapan secara resmi bahwa negara dalam keadaan darurat, melalui keputusan presiden.

Ketiga, jika suatu keadaan tidak termasuk keadaan darurat namun pemerintah merasa perlu untuk menetapkan suatu kejadian tertentu yang menyebabkan pembatasan HAM, maka tindakan tersebut seharusnya merupakan tindakan hukum yang diumumkan oleh pejabat hukum tertinggi di Indonesia, yaitu jaksa agung. Dengan demikian, kebijakan yang diambil pemerintah merupakan kebijakan hukum dan bukan kebijakan politis.

(Reko Alum\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar