Andy Fefta Wijaya, Ketua Jurusan Administrasi Publik FIA UB, Pakar Kebijakan dan Manajemen Publik

Pemilu 2019 Belum Terwujud Demokrasi Kualitatif

Rabu, 17/04/2019 11:20 WIB
Siswa miskin (Ilustrasi). (Foto: Merdeka.com)

Siswa miskin (Ilustrasi). (Foto: Merdeka.com)

Jakarta, law-justice.co - Hari ini 17 April 2019, Indonesia menyelenggarakan pesta demokrasi memilih Presiden dan Wakil Presiden beserta anggota Legislatif ditingkat Nasional (DPR), Provinsi dan Kab/Kota (DPRD), serta anggota DPD (Dewan Pimpinan Daerah). Masyarakat akan memberikan suaranya berdasarkan preferensinya masing-masing untuk calon-calon yang dapat dianggap mewakilinya nanti dalam menyalurkan aspirasinya.

Demokrasi suara (vote) ini merupakan demokrasi kuantitatif yaitu pemenangnya ditentukan berdasarkan hasil perhitungan suara nanti. Kandidat yang mendapatkan suara terbanyak maka akan terpilih menjadi Presiden, wakil Presiden dan anggota Dewan. Namun tidak secara otomatis demokrasi kuantitatif ini menjamin terwujudnya demokrasi kualitatif. Demokrasi kuantitatif belum tentu linear dengan demokrasi kualitatif.

Demokrasi kualitatif berhubungan dengan tujuan kemana Negara dan bangsa ini akan dibawa. Tercapai tidaknya demokrasi kualitatif ini ditentukan oleh hasil pilihan yang diputuskan oleh pemilih (voter) dalam demokrasi kuantitatif.

Apabila demokrasi kuantitif menghasilkan pemimpin dan anggota-anggota dewan yang tidak secara penuh mempunyai ‘political will’ yang kuat untuk mewujudkan tujuan demokrasi kualitatif maka demokrasi kuantitatif tersebut telah kehilangan arah bersama, karena oknum-oknum demokrasi kuantitatif lebih memikirkan kepentingan politik dirinya sendiri dan kelompoknya bukan kepentingan masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Kepentingan masyarakat Indonesia secara keseluruhan telah dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945 yaitu terwujudnya keadilan dan kesejahteraan umum.

Apabila rasa ketidakadilan semakin dirasakan oleh masyarakat maka demokrasi kualitatif tidak terwujud. Apabila masih banyak ditemukan masyarakat Indonesia yang tidak sejahtera maka demokrasi kualitatif tidak terwujud. Demokrasi kualitatif tidak seperti demokrasi kuantitatif yang ditentukan oleh jumlah agregat/keseluruhan dari pilihan individu. Namun demokrasi kualitatif melihat dari sudut kualitas isunya yang menyangkut kesejahteraan dan keadilan umat.

Keberpihakan terhadap si miskin merupakan isu kualitas demokrasi yang tidak bisa dinisbikan oleh siapapun. Walaupun si miskin jumlahnya lebih sedikit daripada yang tidak miskin, sehingga diatas kertas apabila berdasarkan demokrasi kuantitatif jelas suara simiskin akan kalah dibandingkan dengan non miskin. Namun secara kualitatif isu kemiskinan tidak akan ditolak oleh si mayoritas vote.

Data BPS menunjukkan persentase kemiskinan di Indonesia menjadi 9,66 % per September 2018 merupakan penurunan persentase dari angka-angka sebelumnya. Namun perlu diingat jumlah angka kemiskinan per maret tahun 2019 ini sebanyak 25,95 juta jiwa masih sama dengan jumlah angka kemiskinan di tahun 1993 yaitu sebanyak 25,9 juta jiwa. Jadi penurunan persentase itu lebih banyak dikarenakan faktor bertambahnya jumlah penduduk, namun perlu hati-hati dalam melihat persentase ini karena secara riil Jumlah penduduk miskinnya tetap sama sejak 26 tahun yang lalu.

Inilah yang dinamakan dosa kita bersama termasuk rezim ini dan rezim-rezim sebelumnya yang belum bisa menghapus masyarakat miskin di bumi pertiwi. Padahal berapa jumlah dana yang sudah digelontorkan untuk simiskin sudah ribuan triliun sejak 26 tahun yang lalu. Pada RAPBN 2019 ini untuk pos kemiskinan saja dianggarkan 381 trilliun rupiah oleh kementerian keuangan dengan target persentase kemiskinan turun menjadi 8,5 persen.

Apabila anggaran ini sebesar 381 triliun diberikan saja langsung ke 25,9 juta masyarakat miskin, maka per kepala si miskin akan mendapatkan dana kemiskinan sebesar Rp 14,7 juta per orang. Sehingga persentase masyarakat miskin langsung tuntas menjadi 0 persen atau tidak ada lagi masyarakat miskin.

Mengingat dana tersebut disalurkan dulu melalui program dan kegiatan pemerintah, maka dana kemiskinan tersebut akan terbagi-bagi dengan peruntukkan seperi dana aparatur, pendamping dan stakeholder lainyya, lalu dana bahan dan dana sarana pendukung lainnya untuk mensukseskan program-program kemiskinan tersebut. Belum lagi kebocoran dari penggunaan dana kemiskinan tersebut akibat inefisiensi ataupun korupsi. Sehingga secara otomatis dana langsung yang diterima si miskin kalau dihitung-hitung sangat kecil dari total dana yang digelontorkan.

Berdasarkan catatan diatas maka pencapaian tujuan kesejahteraan rakyat belum sepenuhnya terwujud, sehingga tesis bahwa demokrasi kuantitatif tidak selinear demokrasi kualitatif bisa diterima dalam konteks ini.

Belum lagi catatan masalah ketidakadilan. Ada beberapa hal yang dirasakan menciderai rasa keadilan sebagian masyarakat. Dampak dari penerpaan UU IT telah menyebabkan kekuatiran sebagian masyarakat dalam beropini dan berpendapat, karena bisa dipermasalahkan secara hukum. UU IT ini juga dirasakan mengecilkan ruang kebebasan berekspresi dan berdemokrasi bagi sebagian masyarakat.

Ancaman kriminalisasi berita hoax dan ujaran kebencian seperti yang menimpa penyanyi Ahmad Dani membuat masyarakat semakin terbelenggu oleh kekuatiran salah canda, salah ucap, salah ketik dan salah copas. Perasaaan perlakuan ketidakadilan juga disuarakan dalam hal kriminalisasi ulama dan kasus novel. Beberapa kasus korupsi yang belum terselesaikan obligator kasus KLBI/BLBI, Bank Century, SKK Migas, Hambalang, PON Riau, Wisma Atlet Palembang, Reklamasi, Sumber waras, Meikarta dan lainnya. Hal ini membuat catatan minus kinerja rezim.

Berdasarkan beberapa hal tersebut diatas maka antusiasme masyarakat dalam menyambut Pilpres dan Pileg bersama periode akan terlihat dari besarnya angka golput. Golput pileg di tahun 2014 sebesar 24,89 persen yang menurun dari periode sebelumnya. Namun belum mencapai angka Golput terendah seperti di tahun 2019. Antusiasme masyarakat berharap terjadinya perubahan setelah pilpres 2014 dengan terpilihnya presiden saat itu menjadi batu ujian bagi rezim sekarang ini.

Perubahan yang diharapkan tersebut apakah sesuai dengan cita-cita tujuan berbangsa dan bernegara. Apabila rezim sekarang tidak berhasil mempertahankan kemenangannya dalam pilpres 2019 seperti di pilpres tahun 2014 maka hal tersebut menjadi pembuktian bahwa kinerja rezim sekarang memang belum optimal dalam merealisasikan tujuan demokrasi kualitatif yaitu rasa keadilan dan kesejahteraan masyarakat. Namun bisa juga sebaliknya apabila masyarakat sudah merasa puas dengan hasil capainnya.

Hal tersebut diatas menjadi cerminan masih berjalannya saluran demokrasi kita. Walau demokrasi Indonesia masih dimasukkan dalam kategaori ‘flawed democracy” / demokrasi cacat. Artinya pemilihan yang dilakukan dinilai fair dan free, serta kebebasan individu dalam memilih dihargai Namun masih mengandung kelemahan dalam demokrasinya seperti media yang dikooptasi, budaya politik yang kurang baik seperi politik uang, tingginya angka golput, serta tata kelola yang belum optimal menyangkut peran pelanggara seperti KPU dan Bawaslu.

Oleh karena itu ranking demokrasi Indonesia berdasarkan penilaian Index Democracy dari EIU di Inggris (Economist Intelligence Unit), pada ditahun 2018 posisi Indonesia masih di ranking 65 dibawah Timur leste, Malaysia dan Philipnes yang sama-sama masuk kategori “flawed democracy”. Pesta Demokrasi 2019 masih merupakan harapan untuk masa depan yang lebih baik. Namun bukan berarti jaminan, apabila di 2019 ini menghasilkan pemimpin yang baru maka demokrasi kualitatif secara otomatis akan terwujud. Hal tersebut masih harus dibuktikan realisasinya dalam 5 tahun kedepan.

(Gisella Putri\Gisella Putri)

Share:




Berita Terkait

Komentar