Peneliti: Uang Serangan Fajar Pemilu 2019 Lebih Besar

Senin, 08/04/2019 17:45 WIB
Peneliti lembaga studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV) Ward Berenschot memberikan keterangan kepada awak media di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. (Antara)

Peneliti lembaga studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV) Ward Berenschot memberikan keterangan kepada awak media di Pasar Minggu, Jakarta Selatan. (Antara)

Jakarta, law-justice.co - Peneliti lembaga studi Asia Tenggara dan Karibia Kerajaan Belanda (KITLV) Ward Berenschot mengatakan `serangan fajar` dengan membagi-bagikan uang menjelang pemungutan suara dalam pemilihan umum (pemilu) bakal memberi dampak negatif terhadap pembangunan ekonomi. Ia juga mengatakan, uang `serangan fajr` tidak memengaruhi perekonomian masyarakat kelas bawah.

"Ya, meski masyarakat kelas bawah masih tergiur dengan `serangan fajar`, saya pikir itu tidak memengaruhi ekonomi mereka karena hanya terjadi sekali waktu," kata Ward kepada pers usai Seminar Politik Uang Dalam Pemilu 2019 di Jakarta, Senin (8/4).

Menurut dia, tradisi memberi uang menjelang pemungutan suara atau sering disebut `serangan fajar` untuk meraup suara, sama sekali tidak meningkatkan perekonomian masyarakat, khususnya masyarakat berpenghasilan rendah yang sering menjadi sasaran praktik tersebut.

Meski demikian, dia mengaku jika dibandingkan dengan pemilu sebelumnya, jumlah uang yang diberikan saat `serangan fajar` pada pemilu tahun ini lebih besar.

"Kalau dahulu mereka (calon pemimpin daerah) memberi uang kepada masing-masing calon pemilih sekitar Rp20.000-Rp50.000 sekarang menjadi sekitar Rp100.000. Selalu ada peningkatan karena ada persaingan antara kandidat," tambahnya.

Dia menekankan bahwa politik uang semacam `serangan fajar` atau praktik politik uang lainnya sebaliknya justru memberikan dampak negatif bagi pembangunan ekonomi.

Menurut dia, politik uang sangat berkaitan dengan korupsi karena kandidat yang telah berhasil menduduki jabatan melalui praktik politik uang tersebut cenderung akan menyalahgunakan anggaran negara yang ditujukan untuk pembangunan infrastruktur ataupun pelayanan publik guna mendapatkan kembali modal yang telah ia keluarkan.

Akibatnya, perbaikan infrastruktur dan pelayanan publik akan terganggu karena banyak pejabat yang menyalahgunakan anggaran negara untuk kepentingan individu atau golongan mereka sendiri.

(Marselinus Gual\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar