Angka Kemiskinan yang Sarat Penyalahgunaan APBN

Jum'at, 05/04/2019 09:05 WIB
Orang miskin ingin berobat (Foto: Hidayatullah.com)

Orang miskin ingin berobat (Foto: Hidayatullah.com)

Jakarta, law-justice.co - Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, di era pemerintahan Presiden Joko Widodo angka kemiskinan bisa ditekan di bawah 10%. Fakta atau hoaks (berita bohong)? Secara angka, versi BPS adalah fakta tapi jika dianalisa menurut versi global (Bank Dunia) tentu saja hoaks. Kenapa? Angka kemiskinan versi BPS menggunakan standar angka kemiskinan Rp11.000 atau USD 0,95 per orang per hari.

Sementara, pada PBI (Penerima Bantuan Iuran) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ditetapkan angka kemiskinan mencapai 96,8 juta karena untuk dianggarkan dalam APBN. Ambigu, dan sarat pencitraan, serta berpotensi penyalahgunaan APBN, karena menyatakan angka kemiskinan dengan versi yang berbeda.

Masih logiskah, Rp11.000 menjadi patokan biaya hidup seseorang untuk baru dikatakan miskin? Secara realistis tentu angka tersebut tidak logis dan manipulatif, karena dengan nilai itu untuk makan tiga kali sehari saja tentu tidak cukup. Seseorang tidak akan mampu memenuhi kebutuhan mendasarnya, yakni makan dan minum. Apalagi sandang, papan dan biaya hidup lainnya, sehingga terlalu naif jika hal tersebut dikatakan sebagai prestasi pemerintahan Joko Widodo.

Standar angka kemiskinan global menentukan kebutuhan hidup sebesar USD 2 per orang per hari. Jika angka tersebut yang menjadi parameter tentu jumlah rakyat miskin bakal melonjak pesat dari 9,8% (klaim Presiden Joko Widodo) menjadi 39,8%. Tidak heran, jika empat orang terkaya di Indonesia saat ini kekayaannya setara 100 juta orang miskin.

Kemiskinan yang tidak teratasi sejak awal kemerdekaan sampai saat ini menjadi momok bagi pengelola negara. Amat disayangkan, jika pemerintahan Joko Widodo mengklaim hal ini sebagai suatu keberhasilan, namun ternyata tidak lebih baik angka penurunan kemiskinannya dibanding pemerintahan sebelumnya. Hanya saja, penurunan dari 2 digit menjadi 1 digit didramatisasi secara hiperbolik oleh Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo-Ma’ruf Amin.

Badan Pusat Statistik (BPS) merilis, di era pemerintahan Presiden Joko Widodo angka kemiskinan bisa ditekan di bawah 10%. Fakta atau hoaks (berita bohong)? Secara angka, versi BPS adalah fakta tapi jika dianalisa menurut versi global (Bank Dunia) tentu saja hoaks. Kenapa? Angka kemiskinan versi BPS menggunakan standar angka kemiskinan Rp11.000 atau USD 0,95 per orang per hari.

Sementara, pada PBI (Penerima Bantuan Iuran) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) ditetapkan angka kemiskinan mencapai 96,8 juta karena untuk dianggarkan dalam APBN. Ambigu, dan sarat pencitraan, serta berpotensi penyalahgunaan APBN, karena menyatakan angka kemiskinan dengan versi yang berbeda.

Masih logiskah, Rp11.000 menjadi patokan biaya hidup seseorang untuk baru dikatakan miskin? Secara realistis tentu angka tersebut tidak logis dan manipulatif, karena dengan nilai itu untuk makan tiga kali sehari saja tentu tidak cukup. Seseorang tidak akan mampu memenuhi kebutuhan mendasarnya, yakni makan dan minum. Apalagi sandang, papan dan biaya hidup lainnya, sehingga terlalu naif jika hal tersebut dikatakan sebagai prestasi pemerintahan Joko Widodo. Standar angka kemiskinan global menentukan kebutuhan hidup sebesar USD 2 per orang per hari. Jika angka tersebut yang menjadi parameter tentu jumlah rakyat miskin bakal melonjak pesat dari 9,8% (klaim Presiden Joko Widodo) menjadi 39,8%. Tidak heran, jika empat orang terkaya di Indonesia saat ini kekayaannya setara 100 juta orang miskin.

Kemiskinan yang tidak teratasi sejak awal kemerdekaan sampai saat ini menjadi momok bagi pengelola negara. Amat disayangkan, jika pemerintahan Joko Widodo mengklaim hal ini sebagai suatu keberhasilan, namun ternyata tidak lebih baik angka penurunan kemiskinannya dibanding pemerintahan sebelumnya. Hanya saja, penurunan dari 2 digit menjadi 1 digit didramatisasi secara hiperbolik oleh Tim Kampanye Nasional (TKN) Joko Widodo -Ma’ruf Amin.

Joko Widodo, Pemerintahan Ambigu

Dalam menentukan angka kemiskinan, pemerintahan Joko Widodo menggunakan standar BPS yakni Rp 11.000/kapita, namun dalam menentukan angka PBI (Penerima Bantuan Iuran) BPJS, data orang miskin melonjak menjadi menjadi 92,2 juta jiwa (2018).

PBI adalah fakir miskin dan orang tidak mampu, sesuai dengan kriteria yang ditetapkan pada Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia No. 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional.

Kriteria fakir miskin dan orang tidak mampu ditetapkan oleh Kementerian Sosial. Kriteria ini menjadi dasar BPS melakukan pendataan melalui Keputusan Menteri Sosial Nomor 146/Huk/2013 tentang Penetapan Kriteria dan Pendataan Fakir Miskin dan Orang Tidak Mampu. Berdasarkan kriteria tersebut PBI dilakukan. Terjadi pelanggaran dalam Program BPJS, terutama dalam menentukan jumlah PBI (Penerima Bantuan Iuran).

Data BPS menunjukkan jumlah orang miskin per 15 Januari 2019 adalah 25,6 juta orang. Pada APBN Tahun 2019 PBI yang merupakan data penduduk miskin versi BPJS justru naik menjadi 96,8 juta jiwa (Rp26,7 Triliun). Jadi, ada selisih 71,7 juta jiwa antara data orang miskin versi BPS dan versi PBI. Terkesan, Pemerintahan Joko Widodo ambigu, dan melakukan kesalahan besar, karena pernah menyatakan bahwa urusan data, pegangannya hanya BPS. Sementara APBN tentang subsidi penyaluran PBI kepada orang miskin tidak menggunakan data BPS.

Terjadi dislokasi APBN Tahun 2019, sebesar Rp 19,63 Triliun, diperoleh dari selisih orang miskin versi BPS, dan APBN sejumlah 71,13 juta jiwa x Rp 23.000 per kapita. Seharusnya hal ini patut diduga ada unsur penyalahgunaan APBN dalam mengelola pemerintahan.

Orde Baru Lebih Berhasil Memerangi Kemiskinan

Soeharto diwarisi angka kemiskinan di atas 50% oleh Orde Lama, Presiden Soekarno. Dengan tim ekonomi yang handal (geng Berkeley) dipimpin oleh Prof. Widjojo Nitisastro, Prof. Ali Wardhana, Prof. Emil Salim, Prof. Sadli, mereka menjadi “dream team” dalam Kabinet Soeharto. Dengan strategi subsidi untuk pemenuhan kebutuhan dasar: sembako, BBM, listrik, dan produk-produk pertanian mampu menekan angka kemiskinan secara signifikan. Selain itu, program pemberdayaan, khususnya pertanian telah mampu mewujudkan swasembada pangan di tahun 1994, dan memperoleh penghargaan dari Food and Agriculture Organization (FAO). Soeharto “ngotot” untuk memperbesar biaya sektor pertanian pada APBN. Tidak heran, petani bisa keluar dari kemiskinan karena infrastruktur (waduk dan pengairan), pupuk, bibit disubsidi, serta penyuluhan yang gencar.

Soeharto adalah satu-satunya Presiden yang memahami bahwa pertanian adalah sokoguru ekonomi rakyat Indonesia, dan desa adalah berbasis pertanian. Desa adalah basis kemiskinan, dan mayoritas adalah petani, sehingga sejak tahun 1971-1992 pertanian difokuskan sebagai prioritas pembangunan. Kebijakan ini sering berbenturan dengan geng Berkeley (Prof. Widjojo Nitisastro, dkk.), tapi Soeharto “ngotot”, karena ia memahami dan mempunyai visi yang kuat.

Soeharto meyakini bahwa 65% rakyatnya tergantung dari sektor pertanian, mengatasi kemiskinan adalah membangun sektor pertanian, walau disadari ia “otoriter” dan sangat bertentangan dengan demokrasi dalam menjalankan pemerintahannya.

Sangat berbeda dengan kebijakan infrastruktur yang lama dampaknya secara ekonomi, mengutamakan kepentingan pengusaha dalam konteks niaga, karena mengurangi biaya logistik. Apalagi disinyalir atas pesanan Cina dalam skema OBOR (One Belt One Road). Contoh ekstrem atas desakan Cina adalah pembangunan Kereta Api Cepat Jakarta-Bandung dengan biaya lebih dari USD 5 miliar. Padahal transportasi menuju Bandung tidak ada masalah, uang USD 5 miliar seharusnya bisa untuk memerangi kemiskinan. Sampai saat ini pembebasan lahan saja belum selesai.

Jelas, Orde Baru berorientasi ekonomi kerakyatan, berbasis Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Sementara, pemerintahan Orde Reformasi, khususnya pemerintahan Joko Widodo berorientasi rezim neolib, dalam komando Sri Mulyani Indrawati (SMI).

Dengan 50 butir LoI (Letter of Intent) IMF/World Bank sarat anti subsidi (neo-liberal) yang menghancurkan ekonomi rakyat, dan kita tergelincir pada kesulitan ekonomi yang tidak teratasi di era reformasi, dan mengalami titik kulminasi pada era Joko Widodo.

Kementerian Desa (dahulu Menteri Negara) dengan anggaran desa mencapai di atas Rp 100 triliun di APBN, tidak berhasil mengentaskan kemiskinan di desa, malah membawa industri korupsi baru pada aparat dan perangkat desa. Semua karena tidak terkonsep dan perubahan nomenklatur dilakukan dengan gegabah, dan menterinya dari partai politik yang tidak mempunyai orientasi ekonomi kerakyatan. Terkesan hanya sebagai “ATM” partai politiknya. Terlihat dengan di-reshuffle-nya Marwan Ja’far yang diganti oleh Eko Putro Sandjojo yang juga dari partai yang sama. Sistem administrasi pelaporan yang belum jelas petunjuk pelaksanaan teknisnya sehingga Kepala Desa rentan dipidana, dan menggejala menjadi sapi perah bagi “oknum” di desa tertentu sudah menjadi rahasia publik.

Joko Widodo sarat pencitraan sehingga dana desa juga digunakan untuk pencitraan terkait peningkatan elektabilitasnya, dan orang miskin juga dijadikan objek pencitraan. (Nusantara.news)

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar