Hasil Pemeriksaan Ombudsman Diharap Memihak Warga

Senin, 09/04/2018 10:30 WIB
Foto: Ist

Foto: Ist

law-justice.co - Kisruh Pulau Pari dengan PT Bumi Pari Asri belum selesai. Saat ini, para warga pulau tersebut menanti laporan akhir hasil pemeriksaan (LAHP) Ombudsman Republik Indonesia perihal penerbitan sertifikat tanah oleh Badan Pertanahan Negara (BPN) Jakarta Utara, kepada perusahaan yang diduga terjadi tindak salah administrasi.

Ketua RT 01 Pulau Pari Edi Mulyono menyatakan masyarakatnya berharap Ombudsman berpihak kepada rakyat melalui LAHP tersebut. “Saya harap ada keberpihakan pemerintah terhadap masyarakat Pulau Pari, karena sertifikat dari BPN cacat hukum,” jelas dia di gedung Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Jumat (6/4) lalu.

Edi menuturkan masyarakat Pulau Pari tidak mengetahui ada transaksi jual-beli tanah secara resmi. Selain itu, berdasarkan data sementara, 80 sertifikat atas nama warga ialah mereka yang bukan penghuni pulau tersebut alias tidak pernah menetap atau beranak pinak di lokasi itu. Sedangkan 40 sertifikat lainnya atas nama perusahaan yang bersengketa dengan masyarakat, PT Bumi Pari Asri. 

Total, 120 sertifikat itu dinilai telah melanggar Pasal 14 ayat 1 dan ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah dan Undang-Undang No. 1 Tahun 2014 perubahan atas

Undang-Undang No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, Pasal 10 ayat 1 Undang-Undang Republik Indonesia No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, dan Peraturan Pemerintah No. 224 tentang Pelaksanaan Pembagian Tanah dan Pemberian Ganti Kerugian.

Sertifikat tersebut terbit tanpa proses pengukuran dan pemetaan tanah, tidak pemberitahuan kepada warga ihwal transaksi jual-beli lahan secara resmi. Warga juga mengklaim tidak mengetahui 80 nama pemilik di berkas yang dikeluarkan pada tahun 2014-2015 itu.

Edi mengatakan sejak satu setengah tahun lalu masyarakat melaporkan dugaan tindak salah administrasi ke Ombudsman. “Sangat jelas, sertifikat yang diterbitkan BPN Jakarta Utara tidak pernah melibatkan dan tidak diketahui masyarakat,” tegas dia.

Ketua Forum Peduli Pulau Pari Sahrul Hidayat mengatakan masyarakat di daerah tersebut merupakan generasi keempat. “Kami lahir di sana, kami bukan perantau,” ucap dia.

Ia menambahkan pihaknya menuntut Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk memberikan hak hidup dan pengelolaan daerah secara mandiri oleh warga Pulau Pari yang berada di Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan itu. Dia juga menginginkan tidak ada lagi warga yang dikriminalisasi oleh perusahaan. Total, hingga saat ini sudah ada empat warga yang dijebloskan ke dalam penjara.

Sahrul juga mendapatkan dua kali somasi dari perusahaan. Berkaitan dengan penerbitan sertifikat, dia dinilai telah memasuki wilayah perusahaan tanpa izin dan mendirikan tempat tinggal di area milik perusahaan. “Padahal, lanjut dia, pihak BPN tidak pernah mendatangi Pulau Pari untuk mengukur tanah terkait jual-beli lahan,” terang dia.

Lain hal, Ketua RW 04 Pulau Pari, Sulaiman, saat ini sedang menunggu sidang ihwal kasus penyerobotan tanah dan/atau memasuki pekarangan tanpa seizin yang berhak. Ia akan menghadapi sidang pertama satu atau dua pekan mendatang di Pengadilan Negeri Jakarta Utara. Lelaki itu dijerat Pasal 385 KUHP subsider Pasal 167 ayat 1 KUHP. Saat ini, kasusnya didampingi oleh Pengacara Publik LBH Jakarta Nelson Nikodemus Simamora.

Sulaiman menyatakan dengan adanya LAHP Ombudsman, ia berharap akan ada peluang bagi warga Pulau Pari untuk terus memperjuangkan hak-hak masyarakat yang belum dipenuhi oleh pemerintah.

Manajer Kampanye Hutan dan Perkebunan Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) Fatilda Hasibuan menyatakan ada dugaan monopoli dan penyelundupan lahan yang dilakukan oleh perusahaan. “Perusahaan ingin menguasai lahan Pulau Pari, namun hukum di Indonesia tidak memungkinkan Perseroan Terbatas memiliki sertifikat hak milik,” kata dia.

Sengketa ini berawal pada 2014 ketika perwakilan PT Bumi Pari Asri mendatangi warga Pulau Pari dengan membawa sertifikat hak milik (SHM) dan mengklaim tempat tinggal mereka sebagai lahan milik perusahaan. Perusahaan ingin membuat penginapan di pulau yang ditempati oleh 1200-an warga dari 329 kepala keluarga.

Kala itu, perusahaan mulai mengklaim lahan warga pasca berkembangnya pariwisata bahari di Pulau Pari. Diketahui, hampir semua warga pulau itu belum memiliki sertifikat tanah. Namun pada 1984 mereka dibuatkan surat girik, yang kemudian ditarik pada 1992.

Masyarakat pun membayar pajak kepada pemerintah, melalui pegawai kelurahan yang datang dari rumah ke rumah. Namun, ada kendala saat itu, yakni warga tidak memiliki bukti salinan surat karena di tahun tersebut akses fotokopi sulit.

Berdasarkan catatan Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, PT Bumi Pari Asri memiliki lahan seluas 37,8 hektare atau 90 persen dari total luas tanah 42 hektare, terdiri atas hak guna bangunan dengan 14 sertifikat, 61 sertifikat hak milik atas nama pribadi, dan akta jual-beli camat sebesar 62 peta bidang. 

Sedangkan berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta Nomor 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, lahan Pulau Pari 40 persen digunakan sebagai pemukiman, 50 persen perekonomian, dan 10 persen digunakan untuk pengembangan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

PT Bumi Pari Asri adalah konsorsium dari 80 pemilik sertifikat warga bukan Pulau Pari. Perusahaan itu merupakan anak perusahaan PT Bumi Raya Utama milik Pintarso Adijanto (Tan Hong Peng). Pintarso ialah kerabat dari Adijanto Priosoetanto (Tan Lim Hian), pemilik PT Bumi Raya Utama Group yang mulai mengembangkan bisnis pada bidang perkayuan pada tahun 1960 di Pontianak. 

PT Bumi Raya Utama juga merambah industri bahan bangunan, bahan kimia, pupuk, logistik, pelayaran, agen perjalanan, keuangan, produk manufaktur, anggur, sawit, dan batu bara. Berbagai bidang industri itu dijalankan oleh klan Adijanto, seperti Swandono Adijanto (Tan Hong Swan), Pandjijono Adijanto (Tan Hong Phang), Suparno Adijanto (Tan Hong Kiat), Winoto Adijanto (Tan Hung Hwie), Muriati Adijanto (Tan Phe Phe), dan Mariana Adijanto (Tan Phwe Leng). 

 

 

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar