Hikmah di Balik Deraan Hepatitis

Sabtu, 30/12/2017 14:30 WIB
Mata kuning akibat hepatitis (foto: yalemedicalgroup)

Mata kuning akibat hepatitis (foto: yalemedicalgroup)

Bogor, law-justice.co - Sabtu sore di awal Februari itu seharusnya aku mengantar ‘Che’, anak kami nomor dua, les piano. Tapi badan ini makin terasa nggak keruanan. Beberapa hari sebelumnya aku sudah merasa badan pegal-pegal, mual, dan kepala pusing sehingga jalan seperti melayang-layang. Limbung, kata lainnya. Jika bernafas seperti keluar udara panas dari hidung. Segera aku simpulkan:  ini gejala panas dalam.

Tiba-tiba kakiku dingin membeku. Akhirnya kuputuskan absen mengantar ‘Che’ dan langsung mendaftar untuk memperoleh nomor antrian di klinik dokter umum langganan di jalan Surya Kencana, Bogor. Oh ya…aku tinggal di kota hujan ini.

Aku masih menduga semua ketaknyamanan  tubuh ini akibat keluar malam saat melihat perayaan Cap Go Meh beberapa hari sebelumnya. Masuk angin saja, itu pikirku. Keluhan itu pula yang aku sampaikan ke dokter.

Setelah memeriksa, dokter tak mengisyaratkan  sakitku serius. Ia hanya mengatakan, “Ya sudah… sembuh nanti.”

Aku pun pulang dengan perasaan lega  setelah menebus obat. Sesampai di rumah baru aku sadar: ke dokter lupa menyampaikan satu keluhan yaitu ulu hati terasa sakit saat ditekan.

Dua hari sudah berlalu. Tak juga ada perbaikan kesehatan. Malah rasa mual disertai muntah-muntah makin sering kurasakan. Pula, ulu hati tambah sakit. Aku mencoba bertahan. Saban pagi aku tetap bekerja dari pukul 04.00 hingga 07.00 menyiapkan laporan pemantauan berita bisnis dalam negeri kita. Oh ya, aku part timer yang bekerja di rumah.

Sungguh  terkejut aku suatu pagi: air seniku berwarna gelap seperti teh pekat. Sontak aku berkata dalam hati: ini pasti bukan masuk angin biasa!

Tak ingin berlama-lama dan gegabah memilih  dokter, segera kuhubungi seorang teman. Anaknya saat ini sesekolah dengan anakku di TK.  Lahir dan besar di Bogor,  dia pasti tahun dokter mana saja yang recommended di kota kami. Aku sendiri awam soal yang satu ini sebab baru betul-betul menetap di Bogor setelah anak pertama kami lahir tahun 2005.

Teman itu menyebut nama seorang dokter spesialis penyakit dalam. Dia praktik dekat rumahku. What a coincidence!

Segera kuhubungi tempat praktik dokter tersebut. Ternyata pasiennya lumayan banyak. Pagi itu aku dapat nomor 27. Hmmm…sungguh antrian yang panjang.

Kuajak suami menemani. Dokter yang cakap tapi tak banyak cakap ini awalnya mendiagnosa bahwa aku terserang radang lambung. “Obat dari dokter sebelumnya hentikan, ganti dengan obat baru,” ucapnya pendek. Resep ia tulis. “Kalau dalam dua hari Ibu tidak membaik, segera cek darah. Dan ketemu saya lagi.”

 Aku punya feeling bahwa permasalahanku belum tuntas.

Benar. Setelah dua hari minum obat tak kunjung ada tanda-tanda membaik. Malah tubuh ini makin terasa lemas. Mual-mual disertai muntah tambah acap. Aku mulai gugup  dan dihantui berbagai perasaan.

Suamiku yang kemudian banyak mengambil alih tugas rutin termasuk antar-jemput anak sekolah. Runyamnya, dia pun sedang terserang radang tenggorokan akut. Hal yang  membuat dirinya selalu kesakitan setiap menelan atau bicara. Jadwal mengajar di sekolah menulis harus ia batalkan karena itu. Jadilah kami pasangan pesakitan.

Akhirnya kuturuti saran dokter: segera cek lab. Kebetulan suamiku juga  hendak berobat ke dokter spesialis THT yang praktik di rumah sakit  yang sama.

Temulawak, ObatTradisionalPenyakit Hepatitis (Foto: indonetwork)

Kami berdua berangkat ke rumah sakit pagi pukul 09.00. Bayangkan: suamiku tak bisa bicara akibat radang tenggorokan, aku gontai sekali saat melangkah akibat sakit yang sangat.

Be happy, don’t worry.  Aku masih ingat bunyi iklan  itu. Saat menapak, sambil tersenyum kubilang kami seperti pasangan si buta dan si lumpuh dalam hikayat lama. Kupikir celutukanku lucu. Alih-alih tergelak,  suamiku malah sewot. Tidak biasanya. Dia kan humoris. “Nggak lucu,” ucapnya ketus.

Di rumah sakit petugas lab mengambil sampel darahku. Hasilnya keluar satu jam berselang. Karena jadwal bertemu dokter THT lebih awal, sambil menunggu hasil lab aku menemani suami yang sudah tak bisa bicara di ruang periksa. Dokter bilang ia  terserang radang tenggorokan akut. Wah! Dokter perempuan senior yang pernah menangani telinga anak sulung kami itu menyarankan agar suamiku  dirawat di rumah sakit. Alasannya,  obat perlu segera masuk, sementara saat menelan ludah saja sudah kesakitan. Saran yang masuk akal.

Suamiku memutuskan untuk berobat jalan saja. Petimbangannya, seperti ia bisikkan ke telingaku di hadapan dokter, ingin merawat dan menemani aku  serta mengurusi kedua anak kami. Keputusan yang sungguh kumengerti.

Hasil lab yang keluar sejam setelah pengambilan darah kuserahkan ke suster. Inilah moment of truth.

Menunggu giliran bertemu dokter,  diri ini sungguh tak sabar. Penasaran sekaligus khawatir. Aku sungguh berharap hasil lab tak mengejutkan.

“Nyonya Rin…” suster memanggil. Kembara pikiranku seketika berakhir.

Dokter sudah membaca hasil lab; jadi, tahu akan mengatakan apa sebaik bermuka-muka dengan aku.

Wajah dokter cakap kali ini menunduk dan kuyu. Ekspresinya jelas: dia  tak hendak menyampaikan kabar baik nan menggembirakan. Aku  segera membaca isyarat itu. Kontan kusiapkan diri mendengar vonis paling buruk sekalipun.

“Cccik…Ibu kena hepatitis…akut,” ucapnya lirih.

Aku terhenyak. “Oh, begitu ya dok…kok bisa dok…apa yang menyebabkan dok?”  tanyaku sambil berusaha tegar. Terguncang betul aku. Sungguh sulit kupercaya.

“Dok, apakah saya bisa sembuh?” lanjutku sebelum ia sempat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang keluar laksana peluru mitraliur.

“Bisa sembuh. Ibu musti sabar dan perlu bed–rest selama 2-3 minggu. Jangan capek dulu, istirahat yang banyak sambil diminum obatnya.” Itu saja pesan dia.

Tak hendak berlama-lama meratapi. Aku bertekad lekas  sembuh terutama agar dapat bermain kembali dengan kedua anakku serta mengurus mereka. Kutebus obat untuk sebulan sekaligus. Aku berjanji akan mematuhi semua ‘perintah’ dokter.

Jangan tanya apakah kesedihanku masih meraja. Tentu saja masih. Yang pertama terbayang adalah waktu yang akan lebih terbatas bermain bersama anak-anak. Tak ada lagi hug me please, adegan yang sehari-hari kami lakukan sebagai ungkapan kasih sayang. Tak bisa lagi aku bahkan untuk sekadar mengantar-jemput mereka saat bersekolah serta bermain di sebuah taman kampus dekat sekolah sebelum pulang ke rumah.

Benar: sesudah vonis dokter itu seluruh kegiatan rutinku praktis vakum. Seharian aku terkapar saja di tempat tidur akibat rasa sakit yang terus bertambah. Namun realitas pahit Ini pula yang makin menguatkan tekadku untuk lekas sembuh. Suami yang begitu supportive sejak awal telah siap mengambilalih tanggung jawab pekerjaan di rumah termasuk mengantar dan menjemput anak-anak. Kini prioritasku adalah pemulihan kesehatan by simply taking full bed-rest. Dengan tidak lupa menelan secara tertib jatah obat sebulan dari dokter, tentu.

Selama seminggu pertama badan terasa lemas betul. Mandi saja serasa menghabiskan banyak energi. Menaiki tangga ke lantai dua rumah aku tak sanggup. Cepat sekali lelah. Makan tak nafsu; mulut senantiasa terasa pahit. Mual-mual disertai nyeri ulu hati masih terus. Mata rasanya mengantuk terus.

Praktis tak banyak yang aku lakukan selain  rebahan di kamar. Tak mau berpangku tangan, suami membantu mencari di internet  informasi seputar penyakit hepatitis. Sesuai informasi berlimpah yang ia dapat, yang kuderita memang khas keluhan penderita hepatitis: mual, muntah, tidak nafsu makan, lemas, mudah lelah, stamina menurun dan maunya tidur melulu. Satu lagi, kulit dan bagian putih mata berwarna kuning.

Kunci kesembuhan penderita hepatitis—menurut informasi di internet yang berasal dari pelbagai otoritas kesehatan dunia—adalah istirahat total, jangan capek dan asupan gizi yang baik seperti buah dan sayuran. Satu lagi, dan ini sangat penting, hindari makan berlemak termasuk kudapan yang digoreng.

Seorang kerabat yang lama merawat penderita hepatitis menyarankan agar aku lebih banyak mengkonsumsi makanan yang direbus dan menghindari lemak. Ada juga yang mengusulkan agar rajin makan tutut atau kerang sawah.

Seorang teman kami yang kebetulan istrinya pernah menderita hepatitis mengatakan obat tradisional yang ampuh menyembuhkan penderita hepatitis tiada lain dari temulawak. Banyak versi cara menyajikan rempah-rempah andalan mbok jamu gendong ini khusus untuk penderita hepatitis. Dipotong tipis-tipis kemudian dijemur hingga kering dan setiap kalit hendak diminum cukup diseduh beberapa potong. Jadi seperti teh celup saja. Yang lain bilang:  parut dan peras airnya.

Anjuran kujalankan yakni, pertama,  menghindari gorengan dan, kedua, mengkonsumsi tutut. Temulawak sempat kucoba. Tak kuteruskan sebab cairan coklat kental tersebut sulit kutenggak. Apalagi aku memang sejak kecil sukar menelan obat apa pun.

Aku berusaha menjalani perubahan kesehatan yang sungguh drastis ini dengan iklas. Aku mencoba memaknai semuanya dan mengambil hikmah. Jalan pikiran yang Indonesia banget? Anda saja yang menilai; terserah. Pikiranku mengatakan barangkali ini merupakan jalan agar aku lebih banyak istirahat, tak terlalu ngoyo dan mulai melakoni gaya hidup dan pola makan yang lebih sehat. Juga biar meluangkan banyak waktu untuk introspeksi diri selama di rumah.

Hikmah

Kenyataan maha pahit ini ternyata ada hikmahnya bagi anak kami nomor dua. Selama ini, sejak ia masuk TK, aku dan suami tak pernah absen mengantar dan menunggui ‘Che’ hingga usai sekolah. Kendati periang, penyuka musik rock lawas ini—Deep Purple, Led Zeppelin, Jimi Hendrix, The Beattles, dsb.—amat bergantung dalam beberapa hal, terutama padaku. Kalau mau sekolah harus diantar Mommy dan Dad pakai mobil, katanya.

Pagi itu, seperti biasa suamiku memandikan kedua anak kami. Kei, kelas 1 SD, masuk sekolah pukul 07.00; ‘Che’ pukul 07.45. Dengan sendirinya Kei selalu berangkat lebih awal. Ia diantar-jemput oom-nya selalu dengan naik angkot. Entah mengapa, ia memang jatuh cinta abis pada angkot. Tak ada masalah ketika ia hendak berangkat sebab iramanya praktis tak berubah.

 ‘Che’ yang menjadi test case. Aku tak mungkin bisa menyetir lagi karena fisik ini sudah benar-benar drop.  Apa reaksi dia nanti sebaik tahu aku tak bisa mengantar lagi? Bisa menerimakah?

‘Che’ selesai berpakaian. Pula, sudah disisir dan berkaos kaki. Tinggal pakai sepatu saja.  “Ayo Mom….,” ucapnya keras. Ia di ruang tamu sedangkan aku di kamar.

Aku keluar. Dengan lembut kukatakan aku tak bisa mengantar karena masih sakit.

“Sama Dad aja dulu ya…nanti kalau Mom udah sembuh kita bertiga lagi seperti biasa,” aku membujuk. Selama ini dia selalu bersemangat sekolah.

Hepatitis MenyerangHati (Foto: yalemedicalgroup)

Dia menggeleng. Aku dan suami membujuk dan membujuk. Ia malah menangis hingga  sesunggukan.  Pertanda tengah masyugul betul. Sampai beberapa menit berlalu ia tetap saja menolak berangkat tanpa aku.  Hatiku serasa teriris. Begitu pun, aku dan suami bersepakat dia harus bersekolah hari itu. Kami sadar ini critical moment yang menjadi penentu untuk seterusnya.

Seperempat jam  lagi lonceng sekolah akan berbunyi. Suamiku bertindak. ‘Che’ ia gendong paksa dan dudukkan di sadel sepeda motor tetangga. Sedari tadi sang tetangga sudah bersiap.  Tahu bahwa dad dan mom-nya tidak main-main, ‘Che’ pun pasrah.  Sebelum sepeda motor bergerak ia sempat berucap keras,” Nanti Mom ikut jemput ya…”

Tidak kuiyakan. Aku hanya tersenyum. Hatiku terenyuh betul.

Di perjalanan,  ‘Che’ mengulang permintaan itu sampai tiga kali. Namun, baru seperempat perjalanan gejolak jiwanya sudah reda.

Ternyata ia ‘kambuh’ lagi sesampai di gerbang sekolah. Tak mau masuk dan menangis. Kembali menuntut agar Mom nanti datang menjemput. Aksi mogoknya baru berakhir setelah seorang guru datang menyongsong. Masih di sekolah, suamiku menceritakan kejadian itu lewat handphone.

Tak tega rasanya melihat ‘Che’ menangis seperti itu. Ia anak yang ceria dan mandiri dalam banyak hal. SMS kukirim ke guru kelasnya menceritakan duduk perkara.

Guru yang baik hati itu seketika  membalas dengan nada positif. Katanya ‘Che’ sudah tidak menangis lagi bahkan senang bermain bersama teman.

Pagi itu sungguh merupakan shock therapy buat ‘Che’.

Pulang dari sekolah ia sudah kembali ceria. Ini saatnya untuk menggembleng agar dirinya semakin mandiri. Seperti biasa, aku mengajak dia bercakap. Aku bertanya mengapa ia menangis sampai sesunggukan tadi pagi.

 “Abis Mom nggak ikut ngantar. Tapi di sekolah aku udah nggak nangis lagi,” ucapnya sembari tersenyum. Ah, sungguh senyum indah yang selalu membuat aku dan suami merasa bahagia.

Aku bilang: untuk seterusnya, sampai aku sembuh,  ia akan diantar ke sekolah oleh Dad dan Oom.

“Ya Mom…tapi cepat sembuh ya,” katanya dengan jenaka.

Aku mengangguk. Ah, dia memang malaikat kecilku yang penuh pengertian.

Sejak hari itu ia diantar Dad atau Oom-nya.  Ia lekas beradaptasi. Selain itu ia, seperti halnya sang abang, Kei, menjadi lebih mandiri. Jadi  aku tak perlu merisaukan betul bagaimana mereka akan menjalani hidup sehari-hari. Juga, tak perlu mengerahkan tenaga tambahan—keluarga misalnya—untuk mengurusi mereka. Sebuah gagasan yang pernah dilontarkan suamiku. Fokus pada pemulihan kesehatan menjadi lebih mungkin kulakukan.  Hhmmm…memang benar: selalu ada hikmah di balik setiap peristiwa. Tinggal apakah kita sudi memetiknya atau tidak.

Ya, kedua anakku tambah pengertian. Aku sungguh  bersyukur. Ada contoh perbuatan mereka yang mengharukan.

Adalah Kei dan ‘Che’yang meniupkan nafas pesta di rumah kami tatkala suamiku yang sedang kesakitan bila bicara, berulang tahun pertengahan Februari itu. Dalam kondisi terkapar, aku dan suamiku boro-boro memikirkan perayaan.  Kedua pecinta film Spider Man itu kemudian berinisiatif memesan kue kecil bermotif laba-laba. Kue aneh itulah jembatan kami dalam melangsungkan kenduri super sederhana malam harinya. Acara menjadi kaya tawa sebab kue harus dipotong sementara tak satu pun dari mereka yang mau melakukannya. Kasihan spider-nya, katanya.

Sebulan

Sebulan sudah aku bergelut dengan virus hepatitis. Kondisiku kemudian semakin membaik. Aku sudah kembali bekerja saban subuh—empat jam memonitor perkembangan berita bisnis dalam negeri.  Menyetir sudah beberapa kali kulakukan walaupun sebatas dalam kota Bogor. Aku berharap betul bisa sembuh sepenuhnya dalam waktu dekat.

Akhirulkalam, aku sudah menjalani satu ujian hidup yang sungguh tak ternyana. Kini aku bersyukur karena bisa bangkit lagi walaupun harus dengan berpayah-payah. Aku sadar sepenuhnya bahwa tanpa dukungan para penyayang yang tulus, aku  akan sulit sembuh. Pantaslah ke mereka aku berterimakasih.

(Rin Hindryati\P. Hasudungan Sirait)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar