Mengungkit Kembali Kasus SMS Gelap Antasari Azhar

Kamis, 09/11/2017 09:30 WIB
Foto: sinarharapan.co

Foto: sinarharapan.co

law-justice.co - Pengirim pesan singkat (SMS) gelap yang menjadi dasar dakwaan Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Antasari Azhar atas kasus pembunuhan berencana Direktur Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen yang tewas ditembak seusai bermain golf di Padang Golf Modernland, Kota Tangerang, dan tewas pada 15 Maret 2009 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, masih menjadi misteri. ‎

Meskipun Antasari Azhar sudah menghirup udara bebas pada 10 November 2016 karena mendapat pembebasan bersyarat setelah melewati 7,5 tahun masa tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Dewasa Tangerang dari total vonis 18 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) pada 11 Februari 2010. Kini, Antasari telah dinyatakan bebas murni setelah Presiden Joko Widodo memberikan grasi 6 tahun ditambah sebelumnya telah menerima remisi 4,5 tahun.

Polda Metro Jaya yang kini menangani kasus ini sejak dilimpahkan dari Bareskrim Mabes Polri pada 2011 silam atas laporan Antasari Azhar melalui kuasa hukumnya pada saat itu Maqdir Ismail dan Masayu Donny Kertopati, masih bungkam ketika ditanya terkait perkembangan kasus ini. 

Perkara yang dilaporkan adalah "dugaan teror dengan cara mengirimkan SMS gelap" sekitar bulan Februari 2011 sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2008 tentang Informasi dan Teknologi. SMS gelap yang dikirim ke handphone Nasrudin itu berbunyi, “Maaf permasalahan ini hanya kita saja yang tahu. Kalau sampai terbongkar, Anda tahu konsekuensinya.”

"Saya tanyakan dulu ke penyidik. Jadi kasus bom di Filipina, Paris, saja dari 2014, pelakunya belum ketemu. Wajar toh," kata Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Raden Prabowo Argo kepada law-justice.co, di Polda Metro Jaya, Rabu (8/11/2017).

Begitu juga ketika dikonfirmasi kepada Direktur Reserse Kriminal Khusus (Direskrimsus) Polda Metro Jaya Kombes Pol Adi Deriyan Jayamarta dan Kasubdit Direktorat Cyber Crime Polda Metro Jaya AKBP Roberto Pasaribu, melalui sambungan telepon dan pesan singkat whatsapp  yang dilayangkan law-justice.co, sejak Selasa (7/11/2017), hingga berita ini diturunkan, tidak ditanggapi. ‎

Pada 31 Januari 2017, Argo sempat mengatakan, kekurangan alat bukti merupakan kendala kepolisian menuntaskan tudingan pesan singkat gelap yang disebut Antasari. Barang bukti yang diberikan ke polisi pada 2011, menurut Argo, hanya berupa foto kopi. 

Kasus SMS gelap ini tidak lepas peristiwa sekitar Maret 2009, dimana Antasari mengaku pernah didatangi oleh CEO MNC Group Hary Tanoesoedibjo. Hary mengaku diutus oleh Susilo Bambang Yudhoyono SBY yang saat itu menjabat sebagai Presiden keenam RI untuk meminta agar KPK tidak menahan Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Aulia Tantowi Pohan, besan SBY.

Mendengar permintaan itu, Antasari menolaknya. Menurut dia, sudah prosedur di KPK untuk menahan seseorang yang sudah dijadikan tersangka. Namun, Hary terus memohon kepadanya. Antasari bersikeras untuk menolak.

Dua bulan kemudian, Antasari ditangkap polisi. Ia dituduh membunuh Direktur Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen. Antasari menduga bahwa kasusnya tak terlepas dari kedatangan Hary yang diutus SBY ke rumahnya pada malam itu kerumahnya. Ia pun meminta SBY jujur mengenai kriminalisasi dirinya yang membuatnya harus mendekam selama delapan tahun.

SBY membantah semua tuduhan Antasari. SBY menegaskan bahwa tindak pidana yang dilakukan Antasari tidak ada hubungannya dengan jabatan Presiden RI yang diembannya saat itu. Dia mengaku tidak pernah menggunakan kekuasaan untuk mencampuri urusan penegakan hukum demi melanggengkan kepentingan politiknya.

Kuasa hukum Antasari saat ini, Boyamin Saiman menilai, Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya lambat tangani dua laporan Antasasi tersebut. Pertama, perkara dugaan penyalahgunaan teknologi informasi (TI) melalui pesan SMS. Kedua, laporan mengenai dugaan saksi palsu yang mengaku melihat SMS itu. Kedua laporan tersebut terkait kasus pembunuhan Direktur PT. Putra Rajawali Banjaran Nasrudin Zulkarnaen yang dituduhkan kepada Antasari.

"Polda Metro Jaya belum ada tindaklanjut kasus ini karena ‎apapun kalau disuruh bongkar kasus yang melibatkan polisi itu sulit. Karena kan Iwan Bule (Irjen Pol Mochamad Iriawan yang kini menjabat sebagai asisten Kapolri pada 2011 masih menjabat Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya-red) pernah jadi penyidiknya," jelas Boyamin. 

Lebih lanjut Boyamin mengatakan, Presiden seharusnya membentuk di independen. Agar munculnya kasus yang ketahui publik akibat adanya cinta segitiga antara Antasari - caddy golf Rani Juliani - Nasrudin serta pengirim SMS gelap ini terungkap sesuai dengan fakta di persidangan. Bukan di rekayasa atau di kriminalisasi.

"Presiden seharusnya membentuk tim independen. Karena penyidik menghilangkan barang bukti baju korban (Nasrudin-red)," katanya.

Saat ini pihaknya masih menahan diri untuk menentukan langkah hukum selanjutnya atas lambatnya penanganan kasus ini di Polda Metro Jaya. Pasalnya, kata Boyamin, Antasari sedang istirahat sambil berlibur bersama keluarganya pasca bebas pada November tahun lalu. "Sementra calling down dulu, belum lanjutkan. Itu nanti lah (gugat lambatnya Polda Metro tangani kasus SMS gelap). Kita tidak asal bunyi," katanya.

Sementara itu, Koordinator Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI), Petrus Selestinus mengatakan, kemajuan teknologi digital foreksik yang dimiliki Polri saat ini dan tidak adanya intervensi kekutan politik yang bersifat menghambat jalannya Penyidikan, seharusnya bisa menjawab dengan mudah tuntutan Antasari Ashar sehubungan dengan laporan kasus SMS gelap ini.  

"Kasus ini menjadi hutang negara terhadap masyarakat untuk segera diselesaikan, mengingat nuansa politiknya sangat kental karena yang menjadi korban SMS gelap ini adalah seorang Antasari Ashar yang pada waktu itu masih menjabat sebagai Ketua KPK. Ini ada apa dan untuk kepentingan siapa yang harus ditutup-tutupi," ujar Petrus sambil bertanya. 

Berlarut larutnya penanganan kasus Antasari Azhar ini, lanjut Petrus, jelas menimbulkan ketidakpuasan tidak saja bagi Antasari Ashar dan keluarganya, akan tetapi juga  bagi publik. Pasalnya, publik melihat ketidakadilan hukum yang dialami oleh Antasari Ashar tidak kunjung berakhir. 

"Apalagi Antasari Ashar telah menjadi korban dari ketidakadilan rezim yang lalu yang fakta-faktanya mulai muncul satu persatu, setelah menjadi terpidana kasus pembunuhan Direktur Putra Rajawali Banjaran, Nasrudin Zulkarnaen," katanya.

Dia menambahkan, jika ini semua adalah rekayasa maka Antasari Ashar harus dipulihkan harkat, martabat dan nama baiknya dan demi rasa keadilan publik yang melihat secara nyata bahwa dalam kasus Antasari Ashar telah terjadi kriminalisasi. "PK berikutnya akan menjadi jalan satu-satunya untuk memulihkan harkat dan martabat Antasari Ashar," pungkasnya. 

(Tim Liputan News\Reko Alum)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar