Menelisik Pidana Korupsi Reklamasi Teluk Jakarta

Senin, 06/11/2017 21:24 WIB
Ilustrasi sebuah kapal melintasi kawasan reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta, Senin (9/10/2017). (Foto: Antara)

Ilustrasi sebuah kapal melintasi kawasan reklamasi Pulau G di Teluk Jakarta, Senin (9/10/2017). (Foto: Antara)

Jakarta, law-justice.co - POLDA Metro Jaya menemukan indikasi atau dugaan pidana korupsi proyek reklamasi Teluk Jakarta yang sudah dinaikkan ke tahap penyidikan. Temuan ini memunculkan berbagai penilaian bahwa proyek tersebut penuh permainan yang diduga melibatkan pejabat di eksekutif maupun legislatif.

Polda Metro Jaya sudah memeriksa sekitar 30-an saksi atas kasus ini. Di samping itu, untuk mengetahui kerugian negara, polisi tengah bekerja sama dengan Badan Pemeriksaan Keuangan (BPK). Bahkan dalam waktu dekat penyidik akan memanggil sejumlah saksi, baik dari dinas terkait yang memberikan izin hingga para nelayan yang terkena dampak akibat proyek reklamasi tersebut.

Meski telah menaikkan status ke tahap penyidikan namun polisi belum menetapkan tersangka dalam kasus tersebut. Selain itu, pihak Polda Metro enggan membeberkan secara gamblang dugaan korupsi yang ditemukan oleh penyidik Ditreskrimsus Polda Metro Jaya saat melakukan gelar perkara.

Sejak September 2017 lalu, polisi melakukan penyelidikan dengan mengumpulkan bukti-bukti termasuk meminta data dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Koordinator (Kemenko) Kemaritiman.

Kronologi muncul reklamasi Teluk Jakarta terjadi pada 13 Juli 1995. Ketika itu Presiden Soeharto mengeluarkan Keppres No. 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta.

Keppres ini menetapkan reklamasi Teluk Jakarta sebagai satu-satunya jalan upaya penataan dan pengembangan ruang daratan dan pantai untuk mewujudkan Kawasan Pantai Utara sebagai Kawasan Andalan, yang artinya sebagai kawasan yang memiliki nilai strategis dipandang dari sudut ekonomi dan perkembangan kota.

Pada 19 Februari 2003, Menteri Lingkungan Hidup mengeluarkan Surat Keputusan (SK) No. 14 Tahun 2003 tentang Ketidaklayakan Rencana Kegiatan Reklamasi dan Revitalisasi Pantai Utara Jakarta. Surat Keputusan tersebut menyatakan bahwa hasil kajian AMDAL (Analisis Dampak Lingkungan) menunjukkan kegiatan reklamasi akan menimbulkan berbagai dampak lingkungan.

Kemudian SK tersebut digugat oleh enam perusahaan pengembang yang telah melakukan kerja sama dengan Badan Pengelola Pantai Utara untuk melakukan reklamasi Teluk Jakarta. Perusahaan tersebut, yakni PT. Taman Harapan Indah, PT. Bakti Bangun Era Mulia, PT. Manggala Krida Yudha, PT. Pembangunan Jaya Ancol, PT. Pelabuhan Indonesia II, dan PT. Jakarta Propertindo.

Enam perusahaan ini mempermasalahkan SK Menteri Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003 yaitu Kewenangan Menteri Lingkungan Hidup menerbitkan keputusan ketidaklayakan lingkungan rencana reklamasi pantura Jakarta, dan kewenangan Menteri Lingkungan Hidup untuk mewajibkan instansi yang berwenang untuk tidak menerbitkan izin pelaksanaan reklamasi pantura.

Dalam persidangan di PTUN tingkat pertama dan kedua, Majelis Hakim mengabulkan penggugat (perusahaan pengembang). Dalam tingkat kasasi, Majelis Hakim berhasil memenangkan Menteri Lingkungan Hidup.

Namun, di tingkat peninjauan kembali (PK), Mahkamah Agung (MA) kembali memenangkan para pengusaha, dan mencabut putusan kasasi. Putusan PK menyatakan dicabutnya status hukum keberlakuan SK Menteri Lingkungan Hidup No. 14 Tahun 2003, sehingga proyek reklamasi dapat dilanjutkan kembali.

Pada tahun 2008, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengeluarkan Peraturan Presiden (Perpres) No. 54 Tahun 2008 tentang Penataan Ruang Kawasan Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi, Puncak, Cianjur. Perpres No. 54 Tahun 2008 ini mencabut Kepres No. 52 Tahun 1995 dan Keppres No. 73 Tahun 1995 soal reklamasi, namun sepanjang yang terkait dengan penataan ruang.

Kemudian pada tahun 2012 (masa pemerintahan Gubernur Fauzi Bowo), DPRD Jakarta mengesahkan Perda DKI Jakarta No. 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah 2030 (Perda No. 1 Tahun 2012) yang menggantikan Perda No. 6 Tahun 1999 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah DKI Jakarta yang habis masa berlakunya tahun 2010.

Dalam Perda ini, ditetapkan jika Kawasan Tengah Pantura Jakarta akan dijadikan lokasi program pengembangan baru di DKI Jakarta. Tidak tanggung-tanggung, Kawasan Tengah Pantura dijadikan sebagai kawasan Pusat Kegiatan Primer yang berfungsi melayani kegiatan berskala internasional, nasional, atau beberapa provinsi. Kawasan Tengah Pantura akan menjadi pusat niaga baru di bidang perdagangan, jasa, MICE (Meeting, Incentives, Convention, Exhibition), dan lembaga keuangan.

Pada tahun 2015 (masa pemerintahan Gubernur Basuki Tjahaja Purnama), pembangunan Teluk Jakarta mulai bergerak dengan dikeluarkannya izin reklamasi Pulau G, Pulau F, Pulai I, dan Pulau K. Masih ada sekitar 13 Pulau yang belum mendapat izin pelaksanaan reklamasi dari Pemprov DKI Jakarta.

Pada 11 Juli 2016, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Ketua Fraksi Gerindra di DPRD DKI Jakarta Muhammad Sanusi atas dugaan pencucian uang berkaitan dengan pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) terkait reklamasi di Teluk Jakarta. Ia diduga menerima uang sebesar Rp2 miliar ‎secara bertahap dari salah satu pimpinan perusahaan yang ikut dalam proyek reklamasi. Hingga kini, KPK terus melakukan proses penyidikan.

Pembina Yayasan Kelestarian Lingkungan Hidup (YKLH), Zaenal Muttaqien mengatakan, dugaan korupsi yang ditemukan Polda Metro Jaya semakin memperjelas kepada publik yang tidak mengetahui data sebenarnya kasus ini. Sehingga, yang diperkirakan hanya dugaan semata. Tidak bisa lebih dari itu sebagai dugaan kongkalikong pejabat di eksekutif dan legislatif.

Menurutnya, dugaan masyarakat itu tidak salah karena kasus korupsi memang melibatkan kebijakan politik.

“Dengan ada proses hukum ini, dugaan kita sebelumnya ada kongkalikong benar terjadi,” kata Zaenal kepada Law-Justice.co, Senin (7/11/2017).

Lebih lanjut Zaenal menilai, korupsi proyek reklamasi ini kejahatan serius.

“Keuntungan yang konon yang dinikmati sekelompok orang ini gunakan jabatan dan rugikan publik. Yang pasti itu dugaan terjadi permainan di belakang publik terjadi,” katanya.

KPK juga menangani kasus dugaan korupsi proyek reklamasi. Namun, KPK menangani kasus pembahasan Raperda Zonasi Reklamasi Teluk Jakarta. Menurut dia, kasus yang ditangani Polda Metro Jaya berbeda dengan kasus yang ditangani KPK Sehingga kedua institusi tersebut bisa bekerja sama untuk mengungkap kasus ini seterang-terangnya kepada publik.

Zaenal menyayangkan hingga kini BPK belum melakukan audit atas kasus ini. Sebab itu, dia meminta pihak Polda Metro Jaya maupun KPK segera meminta BPK melakukan audit investigatif atas kasus ini.

“Perlu BPK audit, tapi ini wewenang utamanya ada di KPK dan Kepolisian,” tuturnya.

Terpisah, ‎Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poenky Indarti berharap Polda Metro Jaya dapat memproses dugaan kasus korupsi ini dengan baik dan profesional. Dia juga menilai kasus yang ditangani oleh Polda Metro berbeda dengan yang ditangani KPK.

“Kabid Humas Polda Metro kan sudah menjelaskan bahwa yang ditangani bukan yang diusut KPK,” kata Poenky.

Terpisah, pakar hukum pidana Universitas Trisakti Jakarta Abdul Fickar Hadjar mengatakan, diantara tiga penegak hukum, KPK, Kejaksaan, Polri, sudah ada MOU bahwa siapa yang sudah lebih dahulu menangani suatu perkara korupsi, maka yang lain harus melepaskannya.

“Jadi jika KPK atau polisi lebih dahulu telah menangani suatu kasus yang sama maka yang lain harus menyerahkannya,” kata Abdul Fickar.

Dalam konteks reklamasi, KPK sudah menangani suap terhadap Perdanya, sedangkan Polda Metro Jaya menangani  soal NJOP, menurutnya biarkan keduanya berjalan karena beda objek dari peristiwa yang sama.

“Namun demikian siapapun yang menangani selain KPK, maka menurut sistem penegakan hukum kasus korupsi, KPK punya kewajiban mengkoordinasikan dan mensupervisi kasus-kasus korupsi yang dilakukan penegak hukum lain seperti Kepolisian atau Kejaksaan,” jelasnya.

Dia mengatakan, ‎reklamasi itu produk dari suatu kebijakan. Kebijakan itu biasanya berbentuk regulasi pengaturan (regeling) dan perizinan berupa penetapan dari pemerintah sebagai administrasi negara. Dalam konteks sebagai regulasi dalam hal ini pembuatan Raperda ternyata sudah diketahui ada dugaan korupsi berupa penyuapan terhadap anggota DPRD DKI.

“Jadi pada level kebijakan regulasi ada dugaan korupsinya. Demikian juga jika dalam proses pemberian izin pelaksanaan reklamasi atau izin pembangunan bangunan di atasnya sangat mungkin ada korupsi,” katanya.

Abdul Fickar mencontohkan, dalam pemberian izin reklamasi tidak mempertimbangkan berbagai kepentingan seperti AMDAL, kehidupan nelayan dan sebagainya. Jika itu terjadi karena ada uang yang mengalir kepada pembuat kebijakan atau izin, maka jelas itu ada indikasi korupsi atau dalam pemberian izin membangun yang hanya satu hari dapat dipastikan di situ ada celah korupsi.

“Sebagai kebijakan reklamasi tidak dapat dipidanakan, tetapi sebagai penyalahgunaan jabatan atau kewenangan atau suap-menyuap dalam rangka pemberian izin, maka reklamasi itu dapat dipidanakan,” ujarnya.

(Tim Liputan News\Editor)

Share:
Tags:




Berita Terkait

Komentar