Kiriman Beha dan Celana Dalam untuk Trisakti Sebelum Tragedi 12 Mei 1998

Jum'at, 06/07/2018 07:25 WIB
Mahasiswa Indonesia bergerak (foto: P. Hasudungan Sirait)

Mahasiswa Indonesia bergerak (foto: P. Hasudungan Sirait)

Jakarta, law-justice.co - Saat penembakan yang menewaskan mahasiswanya— Elang Mulia, Hafidin Royan, Hendriawan Sie, dan Hery Hartanto—pada 12 Mei 1998, warga Trisakti sebenarnya baru saja terjaga dari tidur panjangnya. Sebelumnya,  telah berbulan-bulan kampus-kampus   di Tanah Air berunjuk rasa  mengartikulasikan penderitaan rakyat yang terus bertambah akibat belitan krisis ekonomi, sementara perguruan tinggi di Jl. Kyai Tapa, Jakarta, ini berpangku tangan saja laksana  berada di dunia lain. Seperti otokritik Ketua Senat Mahasiswa Fakultas Kedokteran, M. Leonardo, di kitab Trisakti Mendobrak Tirani Orde Baru—Rene L. Pattiradjawane (Penerbit Yayasan Trisakti, Mei 1999), kala itu ‘terasa susah banget untuk dapat membangkitkan sense of crisis pada para mahasiswa.”

Aksi baru ada di sana pada 23 Maret 1998, dirancang oleh Senat Mahasiswa Universitas Trisakti (SMUT) yang merupakan organ utama. Hari itu di plaza kampus 9 ketua senat fakultas bergantian membacakan pernyataan berjudul ‘Seruan Keprihatinan Mahasiswa Trisakti Terhadap Nasib Bangsa’. Dalam pernyataan itu ditegaskan bahwa ‘Aksi Mahasiswa Trisakti adalah aksi moral dan intelektual yang berlandaskan kebenaran dan keadilan bagi kepentingan rakyat’.

Presiden Soeharto menjadi sorotan dunia (foto: P. Hasudungan Sirait)

Pada kesempatan itu berbicara juga Andi Andojo Soerjadi (Dekan Fakultas Hukum yang pernah menjadi anggota Mahkamah Agung) dan Chairuman Armia (Dekan Fakultas Ekonomi). Keduanya sepandangan dengan mahasiswa bahwa kolusi, korupsi, dan nepotisme (KKN) harus segera diakhiri.

Desakan sejumlah mahasiswa seusai acara agar mereka turun ke jalan, ditampik SMUT dengan alasan: tidak ada disain seperti itu. Komprominya adalah cukup mengitari kampus dengan berjalan kaki saja agar tidak didompleng pihak luar.  

Kampus Trisakti kembali adem-ayem setelah acara pembacaan pernyataan sikap dan menapak seputaran kampus. Sampai terbetik kemudian, pada April, kabar bahwa mereka mendapat kiriman beha dan celana dalam entah dari siapa. Kiriman gelap itu tentu merupakan sindiran bahwa betapa bancinya—kalau menurut istilah anak zaman now: chicken-nya—mereka.

SMUT masih memilih  dialog dan mimbar bebas di kandang sendiri daripada turun ke jalan. Mereka tetap berhati-hati sebab otoritas kampusnya sedemikian jauh belum juga bersikap menanggapi keadaan yang kian memburuk di negeri ini.  Sikap itu tak berubah meski pada Hari Pendidikan 2 Mei mahasiswa pelbagai perguruan tinggi Jakarta telah bentrok dengan aparat keamanan di kampus IKIP [kini: Universitas Negeri Jakarta], Rawamangun.

Pada 4 Mei 1998 pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM. Menyahutinya, esoknya SMUT mengeluarkan pernyataan ‘Sikap Mahasiswa Universitas Trisakti: Perihal Keputusan Pemerintah mengenai Kenaikan BBM, Tarif Angkutan Umum,  dan Tarif Listrik’. Intinya, mereka meminta agar tambahan harga BBM, listrik, dan tarif kendaraan umum dibatalkan.

Penaikan harga BBM membuat banyak kampus bertambah bergolak. Pada 5-6 Mei bentrokan yang melibatkan mahasiswa dan tentara-polisi terjadi di Jember, Yogyakarta, dan Jakarta. 

Masih pada 6 Mei, aksi mahasiswa berubah menjadi kerusuhan besar di Medan dan kitarannya. Penjarahan dan pembakaran  yang menyasar kaum Tionghoa berlangsung dengan cepat. Sebelumnya, pada 25 April kampus Universitas Sumatra Utara (USU) menjadi ajang perbenturan mahasiswa dengan aparat negara. Akibatnya, sejak 29 29 April kampus ini diliburkan. Begitupun, konfrontasi berlanjut karena mahasiswa USU dan perguruan tinggi lain tetap turun ke jalan.

Melihat perkembangan yang makin panas di seantero negeri, otoritas Trisakti akhirnya bersikap. Pada 7 Mei Senat Universitas bersidang, dipimpin Rektor Prof. R. Moedanton Moertedjo. Dalam pernyataan yang dibacakan Rektor yang juga Ketua senat, peserta sidang—45 dari total 58 anggota—menyatakan mendukung mahasiswa –khususnya warga Trisakti—yang menyuarakan aspirasi rakyat banyak. Membaca tanda-tanda zaman, mereka juga sepakat membentuk Crisis Center. Ketuanya Adi Andojo Sutjipto.

Dukungan Senat Universitas ini menjadi suntikan moral bagi SMUT. Begitupun,  mereka tidak serta-merta menjadi progresif. Mereka tetap masih memilih jalur dialog dan mimbar bebas di kampus.  

Demonstrasi mahasiswa berlangsung di banyak kota pada 8 Mei. Bentrokan terjadi di Solo, Yogyakarta, Samarinda, dan Jakarta. Di Solo 125 orang terluka. Di Yogyakarta, aparat mengejar mahasiswa hingga ke kampus UGM dan Sanata Dharma. Tujuh mahasiswa ditangkap dan 1 tewas yakni Moses Gatotkaca, mahasiswa Sanata Dharma.

Gelombang aksi mahasiswa (foto: P. Hasudungan Sirait)

Masih pada 8 Mei berlangsung unjuk rasa yang melibatkan kampus-kampus swasta di kitaran kampus Trisakti, di Jl. Kyai Tapa, Grogol.    Bergerak dari kampus STMIK, para demonstran kemudian berhenti di sisi pagar Trisakti. Tujuannya,  memprovokasi agar para mahasiswa yang di dalam keluar dan bergabung. SMUT membentengi sehingga ajakan tak bersambut.

Seusai kejadian itu SMUT melabrak Kelompok Studi Trisakti (KST). Pasalnya, yang terakhir ini ada di barisan kelompok pengunjuk rasa di luar pagar. Kecil tapi progresif, KST tidak menyukai sikap lembek SMUT, organisasi resmi mahasiswa yang paling besar tapi anak ‘mami’.   

Provokasi oleh KST dan jaringannya yang bernyali ternyata menggugah SMUT juga. Mereka mempersiap lebih serius aksi 12 Mei. Dirancang beberapa minggu sebelumnya, perhelatan 12 Mei bakal besar sebab untuk kali pertama didukung sebagian besar civitas academica. Pemanasan aksi 28 Mei yang lebih akbar, begitulah kegiatan ini mereka maksudkan.  Mahasiswa di sejumlah kota berencana ramai-ramai turun ke jalan pada hari Kebangkitan Nasional tahun 1998.

SMUT mempersiapkan mimbar bebas 12 Mei sebaiknya. Seminggu penuh mereka berbenah. Tiga tim satuan tugas (satgas) untuk mengamankan acara, mereka siapkan. Ternyata sesuatu yang sangat mengejutkan dan tak diduga, terjadi di hari itu. Di dalam kampus, mahasiswa mereka ditembaki   aparat keamanan petang itu sehingga 4 orang kehilangan nyawa.

Bencana Krismon

Krisis moneter (krismon) yang kemudian berubah menjadi bencana ekonomi yang parah merupakan faktor utama yang membuat kampus-kampus di negeri kita bangkit lagi setelah tidur hampir 2 dekade. Setelah pembungkaman oleh rezim Orde Baru pada 1978, suara kritis perguruan tinggi sangat jarang terdengar; lain betul dari sebelumnya.  

Menteri Pendidikan Daoed Joesoef memberlakukan Normalisasi Kehidupan Kampus (NKK, tahun 1978) dan Badan Koordinasi Kemahasiswaan (BKK, tahun 1979). Para mahasiswa ITB, UI, dan yang lain menolak keras kebijakan yang bertujuan menjauhkan kampus dari politik praktis. Jawaban penguasa adalah pembungkaman dan pemenjaraan. Sejak itu wajah politik kampus berubah total.

Dewan mahasiswa (Dema atau DM) yang otonom digantikan oleh senat mahasiswa (Sema atau SM) yang dikendaikan oleh rektor dan aparatnya sehingga mandul. Wajar kalau kampus tak bicara lagi menyuarakan kehendak rakyat banyak. Kegiatan ekstra-kurikuler lebih menyerap waktu mahasiswa di luar jam kuliah.

Kalaupun masih ada mahasiswa yang terjun ke lapangan untuk mengadvokasi masyarakat yang menjadi korban pembangunanisme—seperti dalam kasus Badega, Kacapiring, Cimacan, atau Kedungombo, jumlahnya sedikit dan mereka bergerak lebih sebagai individu. Para pegiat ini adalah kalangan yang dekat dengan organisasi non-pemerintah (Ornop, alias NGO).

Di masa itu terdapat juga kelompok-kelompok studi. Jumlahnya sedikit saja. Seperti tersirat dari namanya mereka lebih berfokus pada telaah sehingga minus praksis. Basisnya, kalau tidak di kampus ya di luar.

Demikianlah: hampir 20 tahun setelah pemberlakuan NKK/BKK kampus kehilangan suara kritisnya sehingga sangat berjarak dari rakyat banyak.  Kebekuan baru berakhir setelah krisis moneter sontak mengguncang kawasan Asia dan Asia Timur.  Inilah titik balik gerakan mahasiswa kita. 

Krisis moneter bermula ketika baht, mata uang Thailand, diserang spekukan pada 8 Juli 1997. Setelah baht, mata uang lain di kawasan—ringgit (Malaysia), peso (Filipina), dan won (Korea Selatan) mulai goyah. Rupiah juga ikut terseok.

Rupiah melorot dari 2.500 per dolar AS menjadi 2.650 pada 21 Juli 1997.   Ternyata kemerosotan berlanjut. Pada 31 Agustus, nilainya sudah menembus angka terendah sepanjang sejarah: 2.682. Intervensi agresif dari Bank Indonesia hanya membuat nilainya sedikit membaik di hari itu juga yakni 2.655. Untuk seterusnya kejatuhannya tak terbendung.

Ekonomi terus memburuk (foto: P. Hasudungan Sirait)

Kemerosotan rupiah menjadi bencana yang parah bagi perekonomian Indonesia yang berjaya terus sejak pemerintah Presiden Soeharto memberlakukan Undang-Undang Penanaman Modal Asing sejak 1967. Begitu krismon menerpa, segera tampak bahwa fundamen dari sistem yang acap dipuji Bank Dunia dan International Monetary Fund (IMF) karena pertumbuhannya yang tinggi dan stabil (rata-rata 7% per tahun) ternyata rapuh.

Dunia korporasi—baik swasta maupun plat merah—yang pertama sekali menelan pil pahit akibat kemerosotan nilai rupiah terhadap dolar AS. Masalahnya, sekian  lama rupanya mereka, terutama para pengusaha swasta kakap,  mengutang terlalu banyak ke luar negeri dan, pada sisi lain,  pemerintah kita lalai mengotrolnya. Seiring kemelorotan rupiah kewajiban ke lender asing memberat sehingga mereka kian kelabakan memenuhinya.

Biaya impor tentu saja bertambah mahal karena dolar yang digunakan. Sementara bahan substitusi tidak memadai di dalam negeri, kalau bukan tidak ada. Soalnya sejak lama sektor manufaktur kita tak berkembang. Solusi paling mudah yang diambil dunia usaha adalah mengurangi produksi, kalau bukan menghentikannya. Imbasnya, pemutusan hubungan kerja (PHK) terjadi di mana-mana. Efek pelipatnya langsung terasa. Barang langka dan harga melonjak.

Para mahasiswa dari kalangan keluarga menengah-bawah meradang. Menyuarakan kegundahan rakyat banyak, termasuk keluarganya sendiri, pun mereka lakukan. Awalnya lewat mimbar bebas di dalam kampus saja. Karena gaungnya lemah, ke jalanan mereka kemudian berunjuk rasa apalagi setelah situasi sudah semakin buruk.  Adapun anak-anak Trisakti, mereka umumnya dari lapisan sosial atas sehingga baru jauh belakangan ikut bereaksi. (Bersambung)

(Rin Hindryati\P. Hasudungan Sirait)

Share:




Berita Terkait

Komentar