Syarat yang Harus Dipenuhi Jika Ingin Jadi "Justice Collaborator"

Rabu, 06/03/2019 22:37 WIB
Ilustrasi (foto: Zed)

Ilustrasi (foto: Zed)

law-justice.co - Istilah ‘justice collaborator’(JC) kerap muncul ketika seseorang menjadi tersangka karena terlibat perkara seperti korupsi, narkotika, terorisme, dan lainnya; yang melibatkan lebih dari satu pelaku dan dilakukan secara sitematis.

Istilah ini populer ketika terpidana kasus KTP elektronik Setya Novanto mengajukan diri untuk menjadi JC, saat masih menjadi tersangka di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

Pengertian JC adalah seorang pelaku tindak pidana yang bersedia bekerja sama dengan penegak hukum untuk membongkar sebuah kejahatan atau kasus yang dinilai pelik dan besar.

Status JC akan didapat oleh orang yang tidak mau menyembunyikan fakta hukum atau semua hal yang diketahuinya terkait sebuah permasalahan, baik itu siapa pelaku utamanya dan seterusnya, sehingga kasus tersebut menjdi terang. Untuk mendapatkan status JC ini, seorang tersangka harus memeuhi sejumlah persyaratan.

Konsep JC lahir dari Konvensi perserikatan Bangsa-Bangsa Antikorupsi, United Nation Convention Against Corruption (UNCAC) Tahun 2003 dan United Natioan Vonvesntion Against Transnational Organized Crime (UNCATOC) Tahun 2000.

Kedua konvensi itu menyebutkan bahwa setiap negara peserta wajib mempertimbangkan kemungkinan dalam kasus-kasus tertentu untuk mengurangi hukuman dari seorang pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum dalam penyelidikan atau penuntutan sebuah kasus atau kejahatan.

Indonesia telah meratifikasi atau menandatangani dan mengesahkannya konvensi tersebut. Untuk UNCAC tertuang dalam UU No.7 tahun 2006, sementara UNCATOC tertuang dalam UU no. 5 Tahun 2009. Hal itu artinya, setiap rekomendasi dalam konvensi itu telah disepakati untuk dijalankan oleh Indonesia.

Tidak hanya melalui Konvensi, sebenarnya konsep JC sudah lama muncul di dunia hukum. Dulu konsep JC ini kerap digunakan oleh penegak hukum di dunia untuk menghadapi mafia yang melakukan omerta (sumpah tutup mulut yang merupakan hukum tertua dalam dunia mafia Sisilia). Tanpa pemberian status JC kepada para pelakunya, kasus besar yang dilakukan secara terencana dan sistematis pasti tidak akan terungkap.

Setidaknya ada tiga regulasi yang menagatur soal JC dalam hukum positif Indonesia. Pertama, UU Nomor 31 tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kedua, adalah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 4 Tahun 2011 tentang Perlakuan bagi pelapor tindak pidana (whistleblower) dan saksi pelaku yang bekerja sama.

Ketiga adalah Peraturan Bersama KPK, Kejaksaan, Kepolisian, LPSK, serta Menteri Hukum dan HAM tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor, dan Saksi pelaku yang bekerja sama Tahun 2011.

Denny Indrayana saat menajdi Wakil Menteri Hukum dan HAM mengemukakan empat syarat bagi seorang tersangka kasus tertentu agar bisa mendapatkan status JC. Syarat tersebut bersifat kumulatif, yang berarti keseluruhan unsur harus dipenuhi oleh seorang pelaku kejahatan yang ingin mendapatkan JC.

Pertama adalah tersangka yang menjadi saksi bukanlah pelaku utama dan harus mempunyai informasi penting untuk mengungkap kasus secara terang benderang. Artinya, saksi tersebut tidak menutup segala informasi terkait dengan kasus yang sedang menimpanya kepada penegak hukum, terutama untuk memastikan siapa pelaku utama dari kasus tersebut. Dia menyampaikan informasi yang tidak disampaikan oleh saksi atau tersngka lainnya.

Kedua adalah pelaku mengakui perbuatannya kepada penegak hukum. Disini pelaku tidak mau membela dirinya dengan membohongi atau dengan memberkan keterangan yang berbelit-belit kepada penegak hukum. Sebaliknya, sejak awal langsung mengakui perbuatannya.

Ketiga adalah pelaku mau mengembalikan aset hasil kejahatan yang dilakukannya. Pelaku yang ingin mendapatkan status JC tidak lama-lama untuk mengembalikan segala yang didapatnya dari tindak pidana yang dilakukannya. Disini, pelaku tidak boleh menimbun hasil kejahatannya untuk kepentingan pribadi, meskipun langkah tersebut tidak membebaskannya dari jerat hukum.

Keempat, pelaku tidak melarikan diri dan siap memberikan keterangan dalam persidangan di pengadilan. Pelaku yang sudah mengajukan diri jadi JC harus siap membuka segala fakta hukum dan informasi yang didapatnya di depan persidangan di pengadilan. Dia harus menjelaskan dengan jelas kepada majelis hakim yang akan memutuskannya, apakah pantas mendapatkan status JC atau tidak.

Syarat yang wajib dipenuhi oleh seorang pelaku kejahatan untuk mendapatkan status JC terbilang tidak mudah. Namun, keuntungan dibalik status tersebut juga sangat menjamin. Sedikitnya ada tiga keuntungan yang diperoleh pelaku kejahatan yang mendapatkan status JC.

Pertama, pelaku kejahatan berpeluang besar untuk dituntut hukuman ringan oleh Majelis Hakim. Tuntutan yang diperoleh tidak akan maksimal seperti pelaku lain yang tidak menapatkan status serupa. Dengan tuntutan minimal itu, pelaku kejahatan akan dengan cepat menghirup udara bebas.

Kedua, keuntungan lain yang didapat oleh pelaku kejahatan adalah bisa mendapatkan remisi atau potongan masa hukuman. Untuk teman-teman ketahui, bagi pelaku kasu tertentu seperti korupsi, terorisme, narkotika, dan beberapa jenis kejahatan luar biasa lainnya, pelakunya sangat sulit atau bahkan tidak menapatkan remisi. Satu-satunya jalan adalah dengan menjadi JC.

Ketiga,Terpidana yang mendapat status JC bisa mendapat pembebasan bersyarat. Hal itu terjadi ketika terpidana sudh menjalani 2/3 masa hukumannya.

 

(Nikolaus Tolen\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar