Tan Malaka: Kalau Bertemu Tuhan, Saya akan Mengaku Islam (I)

Rabu, 06/03/2019 20:27 WIB
Tan Malaka (DW/United Archives/ Pictures Alliances)

Tan Malaka (DW/United Archives/ Pictures Alliances)

law-justice.co - Tanggal 21 Februari 1949, 70 tahun yang lalu, Sutan Ibrahim Datuk Tan Malaka ditembak mati oleh prajurit rendahan di Jawa Timur.  Selama puluhan tahun, makamnya tidak diketahui keberadaannya, sampai akhirnya  ditemukan pada 2007 di Selopanggung, Kediri, Jawa Timur.  Ia adalah sosok misterius sekaligus kontroversial dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia.

Pada periode akhir masa kolonial dan awal kemerdekaan, Tan Malaka mempunyai kontribusi besar hingga dijuluki Bapak Republik. Ironisnya, meskipun  berstatus pahlawan nasional, ia nyaris tidak dikenal dalam sejarah Indonesia. Karena alasan politik,  karena segala informasi mengenai dirinya, diberangus oleh pemerintah.

Harry Poeze, sejarawan Belanda yang intens meneliti Tan Malaka dalam setengah abad terakhir, mengenang awal persentuhannya dengan pria asal Nagari Pandan Gadang ini. Bermula saat menyusun skripsi di Jurusan Ilmu Politik Universitas Amsterdam, Belanda. Ia mengumpulkan orang-orang yang melawan pemerintah Belanda. Dari hasil penelusuran itu, ia menemukan nama Tan Malaka yang digambarkan sebagai sosok yang misterius dan berkiprah dalam gerakan bawah tanah.

Harry Poeze saat berkunjung ke Jakarta, akhir tahun lalu (law-justice.co/Teguh Vicky Andrew)

Penemuan inilah yang menjadi pintu masuk bagi Poeze untuk menyelami sosok Tan Malaka sampai saat ini. Melalui arsip, foto, buku, dan wawancara, serta melakukan observasi langsung ke Indonesia, Poeze tak hanya berhasil mengungkap kemisteriusan dan kontroversi figur Bapak Republik, tetapi memperlihatkan kontribusi penting sosok yang satu ini bagi Indonesia.

“Ia adalah seorang politikus ulung dan contoh seorang pemimpin yang tanpa pamrih memperjuangkan cita-citanya. Dia seorang revolusioner sejati yang mengorbankan hidupnya untuk melawan penindasan, berjuang melawan imperialisme Belanda,” kata Poeze ketika menerima law-justice.co di penginapannya di kawasan Senen, akhir tahun lalu.

Poeze mengisahkan, pilihan Tan Malaka itu membuatnya hampir tak pernah memiliki kehidupan pribadi. Sebagai seorang aktivis bawah tanah, ia hanya mempunyai satu stel pakaian, tongkat, topi dan buku tulis.

Ia juga tak pernah menjalin relasi yang intens dengan orang lain dan keluarga, bahkan tak pernah menikah walaupun memiliki pacar di bebagai negara. Alasannya, hubungan semacam itu menyulitkannya ketika harus meloloskan diri dari para pemburunya.

Dalam sumber-sumber disebutkan bahwa dia punya pacar di Belanda, Filipina, dan Indonesia.  Tan Malaka tidak pernah menikah, karena dia bilang untuk seorang revolusioner tidak mungkin berkawin karena dia selalu harus siap sedia untuk meloloskan diri. Kalau ada keluarga atau hubungan perkawinan itu hanya akan jadi penghalang, tutur Poeze.

Meski begitu, bukan berarti Tan Malaka tercabut dari akar budayanya. Sebaliknya, sepanjang hidupnya ia sangat bangga dengan kultur Minangkabau yang melekat pada dirinya. Sejak masih muda Tan Malaka memang telah meninggalkan tanah kelahiran dan hidup berjauhan dengan kerabatnya, namun sampai bukan berarti hubungan dengan keluarga besarnya terputus. Sebaliknya, sanak-kerabatnya masih dapat dilacak sampai saat ini dan sangat bangga terhadap perjuangan sosok revolusioner ini.

“Sampai saat ini masih ada dua keluarga dekatnya, yaitu adik kandung dan anaknya yang bernama Zulfikar. Selain itu, saat ini nama Datuk Tan Malaka yang merupakan gelar adat Minangkabau pun masih dipakai. Kebetulan orangnya pun aktif berjuang untuk membangun Museum Tan Malaka di Suliki, tempat kelahiran Tan Malaka,” ungkap Poeze.

Ikatan kuat dengan budaya ini pula yang membuat Tan Malaka menjadi seorang komunis bukan seorang Atheis. Menurut sejarawan asal Belanda ini, ia adalah seorang yang taat pada agama Islam karena dididik dalam kultur Minangkabau dan menempuh pendidikan di sekolah desa yang menekan Al-Quran sebagai inti pelajaran agama Islam.

“Dalam Kongres Keempat Komunis Internasional di yang diselenggarakan di Moskow, pada 12 November 1922, ia pernah mengatakan kalau saya bertemu Tuhan saya akan mengaku Islam, tapi kalau hanya sekadar orang biasa maka saya akan memperkenalkan diri sebagai seorang komunis,” ujar Poeze.

Hampir sepanjang hidupnya, Tan Malaka hidup dalam pelarian dan kerap berpindah dari satu tempat ke tempat lainnya. Meskipun begitu, ia tetap dapat menulis dengan produktif. Selain buku biografi “Dari Penjara ke Penjara” yang tetap menarik dibaca sampai saat ini, menurut Poeze, kitab “Madilog :Materialisme, Dialektika, dan Logika” merupakan karya magnum opus Tan Malaka.

“Ini buku penting, meski sudah tua, tetapi merupakan percobaan pertama dari seorang Indonesia untuk menerapkan pikiran Marxis terhadap masyarakat Indonesia. Madilog juga merupakan upaya luar biasa yang dilakukan penulisnya karena ditulis tanpa menggunakan sumber-sumber dan menggunakan ingatan saja sehingga harus dinilai tinggi, kata peneliti di lembaga KITLV Press ini.

Mulanya Tan Malaka termasuk figur bumiputera yang karena latar belakang keluarganya memperoleh keuntungan dari praktik kolonialisme di Hindia-Belanda, yaitu bisa mendapatkan akses pendidikan.

Sejak masih bocah, ketika masih belajar di sekolah pemerintah kelas dua di Suliki, Tan Malaka dikenal cerdas. Oleh para gurunya, Ibrahim didorong untuk melanjutkan pendidikan di sekolah guru (kweekschool) milik pemerintah yang berbasis di Fort de Kock—sekarang Bukittinggi.

Setelah diterima di sekolah itu tahun 1908, kecemerlangannya tak sedikit pun memudar. Ia bahkan mendapat perhatian khusus dari seorang guru Belanda dan Direktur II di sekolah itu, GH Horensma.

Maka ketika Tan Malaka hampir tamat, pada 1913, ia diajak sang guru dan istrinya yang hendak bertolak ke Negeri Belanda untuk melanjutkan studi di pendidikan tinggi keguruan (Rijks Kweekschool) Harleem selama enam tahun hingga tamat pada 1919.

Tan Malaka memutuskan kembali ke tanah kelahirannya segera setelah studinya rampung di Negeri Belanda. Ia mendapat tawaran untuk mengajar pada sekolah anak kuli kontrak yang dikelola oleh perusahaan perkebunan yang berlokasi di Deli, Senembah Maatschappij. Selama setahun, Tan Malaka merasakan betul bagaimanan praktik kolonialisme sangat menjerat masyarakat tanah jajahan. Pengalaman inilah yang membuat orientasinya terhadap praktik pejajahan mulai bergeser.

Peralihan pandangan itu, seperti diamati oleh Poeze, dalam surat-menyurat dengan seorang sahabatnya semasa di Rijks Kweekschool Harleem, Dick van Wijngaarden. Melalui korespondensi pribadi itu, tampak jelas peralihan sosok Tan Malaka dari seorang yang netral menjadi figur tak segan mengkritik kolonialisme Belanda dengan kata-kata yang keras.

“Yang menarik untuk saya, melalui surat-surat itu bisa dilihat perkembangan Tan Malaka dari seorang netral hingga menjadi sosok yang melawan dengan kata-kata keras tentang imperialisme Belanda. Hal ini disebakan karena pengalamannya melihat kesengsaraan kuli kontrak di Senembah Maatschappij, yang bekerja seperti budak, tidak mendapat upah, dan bisa ditendang oleh orang perusahaan,” ujar sejarawan yang telah menulis tentang Tan Malaka selama 48 tahun itu.

Tak tahan dengan penderitaan kuli kontrak di Deli, Tan Malaka memilih hijrah ke Semarang. Bagaimana perjalanan Tan Malaka selanjutnya? (Bersambung ke Tulisan II)

Ditulis oleh: Teguh Vicky Andrew

Reporter: Teguh Vicky Andrew, Januardi Husin dan Hartanto Adi Saputra

(Editor\Reko Alum)

Share:




Berita Terkait

Komentar