Analisis Hukum UU Wantimpres di Era Presiden Prabowo
Kantor Wantipmpres di Istana Negara, Jakarta (Ist)
Jakarta, law-justice.co - Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) merupakan lembaga pemerintah yang eksistensinya relatif belum lama. Lembaga ini dibentuk melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006.Tugasnya adalah memberikan nasehat dan pertimbangan kepada Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 Undang Undang Dasar 1945.
Wantimpres merupakan pengganti Dewan Pertimbangan Agung (DPA) yang dulu keberadaannya dinilai kurang efektif dalam melaksanakan tugasnya sebagai organ penasehat.Namun, secara struktur kenegaraan, Wantimpres bukan lembaga tinggi negara seperti yang dulu disandang DPA.
Setelah sekian lama berjalan, Peran Wantimpres dinilai menjadi krusial sebagai sumber pandangan dan saran yang independen dan strategis. Sehingga dibutuhkan adanya perubahan untuk memperkokoh kedudukan Wantimpres.
Sebagai tindak lanjutnya, Rapat Paripurna DPR RI pada tanggal 11 Juli 2024 menyetujui Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU No. 19 Tahun 2006 tentang Wantimpres menjadi RUU inisiatif DPR RI.
Penyusunan RUU tersebut diusulkan dengan tujuan mengoptimalkan fungsi dan peran strategis Wantimpres sebagai lembaga yang memberikan masukan serta pertimbangan kepada Presiden. Penguatan ini juga mencakup penyesuaian terhadap tantangan-tantangan baru yang dihadapi oleh negara, terutama dengan kondisi penyelenggaraan pemerintahan yang semakin dinamis dan kompleks.
Melalui perubahan UU Wantimpres diharapkan dapat menjadi mitra utama dalam memberikan rekomendasi yang konstruktif dan relevan. Nasihat yang diberikan harus mencakup berbagai dimensi strategis yang meliputi aspek politik, ekonomi, sosial, hukum, dan keamanan, guna membantu perumusan kebijakan pemerintah. Hal ini sejalan dengan kebutuhan akan lembaga penasihat yang mampu memberikan perspektif yang multidimensi terhadap berbagai isu yang dihadapi negara.
Rekomendasi yang dimaksud dilakukan oleh Wantimpres melalui proses kajian mendalam serta analisis yang berkualitas sebagai landasan bagi Presiden dalam mengambil keputusan-keputusan strategis.
Pemerintah dan DPR pada akhirnya secara resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan atas UU Nomor 19/2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), dalam Rapat Paripurna DPR RI ke-7 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2024-2025, di Gedung Nusantara II DPR, Jakarta, Kamis (19/9/2024).
ANALISIS HUKUM
Merujuk pada laporan Ketua Badan Legislasi RI, Wihadi Wiyanto, dalam rapat paripurna DPR tanggal 19 September 2024, telah disepakati bahwa revisi RUU Wantimpres terdiri dari delapan poin perubahan yang secara garis besar meliputi pergantian nama hingga penambahan ketentuan mengenai tugas Wantimpres.
Adapun dari 8 (delapan) angka perubahan yang secara garis besar disepakati tersebut adalah sebagai berikut.
Pertama, perubahan nama lembaga dari Dewan Pertimbangan Presiden menjadi Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia (Wantimpres RI). Kedua, perubahan Pasal 2 terkait tanggung jawab Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia kepada Presiden dan Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia merupakan lembaga negara sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
Ketiga, mengubah ketentuan Pasal 7 ayat (1) yang membatasi anggota Wantimpres 8 orang menjadi tak terbatas sesuai kebutuhan Presiden dengan memperhatikan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan.
Ke empat, persyaratan untuk menjadi anggota Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia yang termaktub dalam pasal 8 ditambahkan huruf g yang pada rumusan RUU awal disebutkan tidak pernah dijatuhi pidana karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih.
Adapun perubahan tersebut kemudian disempurnakan menjadi tidak pernah diancam atau dijatuhi hukuman berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap. Hal itu sebagaimana yang telah diputuskan disepakati dalam rapat paripurna tersebut.
Kelima, pada pembahasan RUU Wantimpres dilakukan juga penambahan ayat (4) dalam Pasal 9 terkait Anggota Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia merupakan pejabat negara.
Ke enam, penyesuaian juga terjadi pada rumusan Pasal 12 huruf b dan penjelasannya terkait dengan istilah pejabat manajerial dan nonmanajerial yang disesuaikan dengan undang-undang yang mengatur tentang Aparatur Sipil Negara (ASN).
Ketujuh, penambahan rumusan Lembaran Negara dan Tambahan Lembaran Negara pada Pasal II angka 2. Ke Delapan, penambahan ketentuan mengenai tugas pemantauan dan peninjauan terhadap pelaksanaan undang-undang pada Pasal II.
Menelaah delapan point perubahan sebagaimana disebutkan diatas, terksesan bahwa revisi UU tentang Wantimpres itu dipaksakan karena tidak terlalu urgen untuk kepentingan publik. Proses pembahasannnyapun berlangsung begitu cepat, hanya dalam hitungan hari, tanpa ada perdebatan dari sembilan fraksi di DPR yang menyetujui inisiatif ini. Revisi kali ini tidak banyak mengubah hal substantif selain urusan penamaan dan struktur personalia.
Yang pertama, terkait dengan perubahan nama lembaga dari Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia (Wantimpres RI).
Awalnya DPR ingin mengubah nama Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA) .Namun seiring berjalannya waktu, pemerintah menyatakan tidak sepakat dengan penamaan DPA. Pemerintah meminta nama Wantimpres tidak diubah dalam revisi UU tersebut.
Sebagai informasi, Dewan Pertimbangan Agung (DPA) memang sempat diatur dalam UUD 1945. Namun, DPA dihapus saat amendemen UUD 1945 dilakukan."BAB IV Dewan Pertimbangan Agung dihapus," demikian tertulis dalam UUD 1945.
Gagalnya penggunaan nama DPA dalam revisi RUU Wantimpres bermula ketika Panitia Kerja (Panja) revisi UU Wantimpres antara DPR dan pemerintah menggelar rapat membahas Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Rapat digelar di ruang rapat Baleg DPR di Nusantara I MPR/DPR/DPD RI, Senayan, Jakarta, Selasa (10/9/2024).
Saat itu Rapat dipimpin oleh Ketua Panja RUU Wantimpres sekaligus Wakil Ketua Baleg DPR Achmad Baidowi atau Awiek. Mulanya, rapat membahas mengenai nomenklatur Wantimpres yang sebelumnya hendak menggunakan nomenklatur DPA sebagaimana dalam RUU usul inisiatif DPR.
Awiek kemudian merujuk pada UUD 1945. Dia mengatakan, dalam konstitusi, tidak ada aturan khsusus mengenai nama dewan pertimbangan yang dibentuk Presiden."Ini supaya tidak menimbulkan confuse (kebingungan) di publik bahwa di UUD itu hanya disebutkan bahwa presiden dapat membentuk dewan pertimbangan, dengan huruf kecil, tanpa nama belakangnya," kata Awiek seperti dikutip media.
Setelah itu, muncul sejumlah usulan terkait penamaan. Salah satu usulannya adalah menambahkan `Republik Indonesia` setelah Dewan Pertimbangan Presiden sehingga menjadi Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia.
"Dari semua yang disampaikan oleh kawan-kawan, saya pendapat dengan usulan adanya penambahan dari Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia. karena status ini adalah sejajar dengan lembaga lain, maka menurut saya sangat penting nama itu berubah," ujar anggota Baleg DPR Fraksi Demokrat Santoso.
Anggota Baleg DPR Fraksi Golkar Firman Soebagyo juga setuju atas usul tersebut. Awiek kemudian menanyakan persetujuan kepada rapat."Setuju ya? Dibungkus nih. Setuju? Lanjut. Jadi Dewan Pertimbangan Presiden Republik Indonesia," kata Awiek.
Yang kedua, Kedudukan Wantimpres RI Sejajar dengan Lembaga Negara Lain. Posisi Wantimpres RI berkedudukan sejajar dengan Lembaga negara lain, ini berarti mengubah ketentuan pasal 2 UU Wantimpres yang sebelumnya menyatakan bahwa Wantimpres berkedudukan dibawah Presiden.
Perubahan kedudukan Wantimpres RI yang sejajar dengan Lembaga negara lain telah memunculkan kecurigaan adanya agenda politik dibaliknya. Adalah Mantan calon wakil presiden, Mahfud MD, sekaligus tokoh dalam bidang hukum dan politik, menyatakan kecurigaannya bahwa perubahan ini bertujuan untuk memastikan individu tertentu tetap memiliki kedudukan tinggi dalam pemerintahan, mengindikasikan adanya agenda politik tersembunyi di balik revisi UU ini.
Ada yang mencurigai, perubahan posisi Wantimpres menjadi Wantimpres RI yang mempunyai kedudukan sejajar dengan Lembaga negara lain dimaksudkan untuk memberikan peluang kepada mantan Presiden seperti Jokowi menempati posisi ini sehingga bisa selalu dekat dekat dengan kekuasaan bahkan mengawasi jalannya pemerintahan periode setelah kepemimpinannya.
Penempatan para tokoh dalam lembaga politik yang strategis tersebut nampaknya sejalan dengan gagasan Prabowo Subianto untuk mendirikan “the President Club”. Seperti diketahui, setelah ditetapkan sebagai presiden terpilih, Prabowo Subianto menggulirkan gagasan membentuk wadah diskusi antara presiden dan mantan presiden untuk mencari jawaban atas berbagai masalah kebangsaan seperti “the Presiden Club” yang ada di Amerika Serikat (AS).
Ide Prabowo membuat wadah komunikasi dengan presiden presiden sebelumnya bukan hal baru. Praktek serupa telah berlangsung di AS sejak decade 1960 hingga saat ini (Rahayu, 2024). Berbeda dengan apa yang menjadi pola “the President Club” yang bersifat informal sebagai suatu wadah politik, maka ketika diangkat menjadi Wantimpres RI sebagai lembaga negara, keberadaan dan perannya dapat menjadi mengikat serta dapat mempunyai konsekuensi lebih lanjut atas administrasi pemerintahan, termasuk dalam hal fasilitas dan anggaran.
Yang ketiga, soal Jumlah Keanggotaan Wantimpres RI. Pasal 7 ayat 1 UU Wantimpres membebaskan Presiden untuk menentukan jumlah anggota Wanrimpres RI. Pasal tersebut mengubah ketentuan dalam UU Wantimpres berlaku yang mengatur Wantimpres beranggotakan delapan orang.
Dengan adanya kebebasan bagi presiden baru untuk menentukan jumlah anggota Wantimpres RI seolah seolah menjadi wadah untuk menampung para pendukung presiden pada pemilu yang lalu. Apalagi dalam waktu yang hampir bersamaan disahkan pula UU Kementerian yang memberikan peluang untuk semakin gemuknya struktur kabinet mendatang yang kabarnya lebih dari 40 Menteri.
Banyaknya dukungan saat pemilu memang menjadi dilema sejak sesaat pelantikan Presiden di Gedung DPR/ MPR. Presiden akan berpikir secara matang untuk membagi rata bagaimana para pendukung mendapat ambil bagian dalam pejabat nomenklatur di berbagai lembaga. Seolah menjadi daya tarik tersendiri dari strategi Presiden dengan koalisi yang besar akan mendapatkan kritikan dari lawan politiknya.
Pasal 7 ayat (1) UU Wantimpres RI kiranya telah mempertegas rencana Presiden selanjutnya untuk mengakomodir para pendukungnya mendapatkan jatah jabatan. Pakar hukum administrasi negara, Dian Puji Simatupang, mengatakan orang-orang yang masuk dalam Wantimpres RI biasanya adalah mantan menteri, pensiunan pejabat negara, atau mereka yang dianggap ‘taat’ dengan presiden.
Dengan demikian, terbitnya UU Wantimpres RI dan UU Kementerian sangat jelas hanya menguntungkan mantan Presiden Jokowi dan Presiden mendatang beserta pendukungnya. Upaya yang seolah-olah benar karena merubah Undang-Undang. Perilaku bernegara yang seperti ini menjadi sangat buruk, karena melegalkan hal semestinya tidak patut dipertontonkan pada rakyat sebagai bentuk terima kasih untuk perjuangan saat pemilu.
Setiap hal yang dahulunya tidak patut dalam etika politik akan semakin jelas bahwa itu salah namun dengan berbagai cara dilegalkan dengan pengesahan Undang- Undang. Pelaksanaan bernegara melalui Undang- Undang menjadi alibi para pengusul di barisan pendukung Presiden dan mantan presiden.
Sesungguhnya Presiden dengan segala kewenangan dan personil pembantu di dalam istana, idealnya sudah mempunyai kelengkapan informasi untuk mendukung kebijakan yang akan dirumuskan oleh seorang Presiden. Sebab dalam merumuskan kebijakan yang akan berdampak pada rakyat kecil, akan lebih baik jika staf kepresidenan yang mengetahui secara langsung, dengan data yang akurat akan memungkinkan tercapai kebijakan yang tepat sasaran.
Jika terbitnya UU Wantimpres RI itu hanya ingin bagi bagi jabatan maka konsekuensinya adalah pada penggunaan anggaran negara. Karena keberadaan mereka tidak ada gunanya dan hanya membuang-buang anggaran negara. Sebab sebagai lembaga negara, mereka menerima hak keuangan dan fasilitas lainnya sesuai dengan yang diberikan kepada menteri negara.
Penggunaaan anggaran negara yang sesungguhnya diamanahkan oleh rakyat untuk kesejahteraan seluas-luasnya pada kenyataannya justru dimanfaatkan oleh Presiden untuk memperkuat posisinya sebagai episentrum kekuatan politiknya
Cara lama yang seolah-olah benar tersebut merupakan sebuah korelasi pelaksanaan demokrasi yang tidak sehat yang berdampak pada timbal balik kerja keras sebelum pemilu. Gemuknya para pendukung atau orang yang mengelilingi Presiden menjadikan demokrasi tidak berjalan seimbang, kebijakan hanya sebagai seremonial belaka. Sementara kritikan yang membangun tidak akan banyak didapat oleh Presiden
Alhasil, konsep bernegara yang seolah ingin memuluskan kepentingan kelompok dengan menempatkan orang-orang terdekat Presiden dalam berbagai lembaga krusial negara bisa menjadikan pengawasan negara yang tidak stabil. Karena kebijakan dan pertanggung jawaban anggaran dengan mudah bisa dimanipulasi sesuai permintaan.
Pada akhirnya yang terjadi adalah praktek korupsi dan nepotisme yang akan dipertontonkan dengan gamblang di media sedangan eksekusi penyelasaian yang tidak transparan. Dekadensi moral para pejabat publik menjadi catatan besar reformasi demokrasi yang mundur pada masa Orde Baru dan Orde Lama, apakah ini akan terulang untuk yang kesekian kalinya ?
Yang ke empat,Pimpinan Parpol hingga Ormas Bisa Jadi Wantimpres RI. Pasal 12 ayat 1 draf UU Wantimpres RI memperbolehkan pimpinan partai politik hingga organisasi kemasyarakatan untuk rangkap jabatan dan menjadi Wantimpres RI.
Padahal, dalam UU Wantimpres sebelumnya, hal tersebut tak diperbolehkan. Kini, larangan tersebut dihapus dan hanya terdapat tiga posisi yang dilarang rangkap jabatan sebagai Wantimpres yaitu a. pejabat negara sesuai dengan peraturan perundang-undangan; b. pejabat struktural pada instansi pemerintah; dan c. pejabat lain,demikian bunyi draf Pasal 12 Ayat (1).
Dengan menghapus larangan bagi anggota Wantimpres RI untuk merangkap jabatan di partai politik, ormas, dan lain-lain, maka independensi dewan ini dapat dipertanyakan, dan kebijakan yang dihasilkan mungkin lebih cenderung menguntungkan kelompok tertentu dibandingkan kepentingan umum.
Logika sederhananya, jika seorang penasihat yang tidak berasal dari partai politik, ormas dan sebagainya ia akan berpandangan netral dan konstruktif. Nasihat dan masukan yang harus diterima oleh presiden tidak boleh ditunggangi oleh kepentingan kelompok manapun. Namun manakala seorang penasehat itu berasal dari partai politik atau Ormas tertentu maka nasehat atau kebijakan yang ia sampaikan sangat mungkin hanya menguntungkan kelompok tertentu saja dan potensial merugikan masyarakat.
Dalam kaitan tersebut, Publik seolah dibodohi dengan alibi keputusan Presiden mengangkat personil Wantimpres RI sudah sesuai UU, padahal kenyataannya yang diangkat adalah kolega atau orang orang dekatnya yang berasal dari Partai Politik atau Ormas tertentu.
Demikianlah empat hal yang cukup banyak menjadi sorotan terkait dengan terbitnya UU Wantimpres RI yang sarat dengan kejanggalan didalamnya. Termasuk yang cukup janggal juga adalah ketentuan Pasal 8 UU Wantimpres RI yang mengatur mengenai keanggotaan Wantimpres RI.
Apabila dibandingkan dengan UU Wantimpres yang berlaku sebelumnya, terdapat ketentuan dalam huruf h yang dihapus. Ketentuan itu berbunyi, “Mempunyai keahlian tertentu di bidang pemerintahan negara.” Dengan demikian, keanggotaan Dewan Pertimbangan Agung nantinya tak lagi memerlukan figur dengan keahlian khusus. Ketentuan ini terasa cukup janggal karena berarti siapapun bisa menjadi anggota Wantimpres RI tanpa harus memiliki kehalian khusus tertentu.
Dengan mencermati pengesahan UU Wantimpres RI yang hampir bersamaan dengan UU lainnya seperti UU Kementerian dimasa transisi pemerintahan, nampaknya pengesahan tersebut mempunyai misi tertentu diantaranya adalah misi “balas jasa” untuk para pendukung presiden baru dengan menampung mereka mendapatkan jabatan di Kementerian/ Lembaga.
Selain itu pengesahan UU Wantimpres juga diduga akan menguntungkan mantan presiden sebelumnya karena potensial bisa “ditampung” disana. Sebuah kolaborasi antara Presiden dan mantan Presiden yang digantikannya. Simbiosis mutualisme diantara keduanya, tapi tidak untuk kepentingan rakyat pada umumnya. Apakah memang begitu kenyataannya ?
Komentar