Radhar Tribaskoro, Pengamat Politik

Ada Apa Dibalik Kabinet Gendut Ala Prabowo

Minggu, 26/05/2024 00:01 WIB
Radhar Tribaskoro (Ist)

Radhar Tribaskoro (Ist)

[INTRO]
Kabarnya Presiden terpilih Prabowo Subianto sedang menyiapkan kabinet gendut. Ia mau merangkul semua kekuatan, dari presiden pertama sampai ketujuh. Ia mengakomodasi semua partai, semua kelompok politik di Indonesia. Ia ingin pemerintahannya mewakili seluruh kelompok kepentingan di Nusantara. Seperti yang selalu ia dengungkan dalam kampanye pilpresnya: All In. 
 
Kabinet gendut Prabowo dapat dilihat sebagai pengulangan atas kabinet Jokowi II (2019-2024). Kabinet itu itu menyerap 7 dari 9 partai politik lolos parlemen. Hanya partai PKS dan Demokrat berada di luar pemerintahan. Jokowi bahkan menyerap Partai Gerindra yang dipimpin oleh Prabowo Subianto yang dua kali bersaing melawan dirinya pada Pilpres 2014 dan 2019.
 
Apa sebetulnya yang dikehendaki Prabowo dari kabinet gendutnya itu. Menurut saya ada sedikitnya ada 4 narasi yang dipompakan untuk membenarkan keinginannya itu. Berikut ini akan saya uraikan keempat narasi itu dan menunjukkan kekeliruannya. 
 
Narasi Pemerintahan Majoritas, Siapa Butuh?
 
Secara objektif narasi kabinet gendut (all in, persatuan, stabilitas politik, rekonsiliasi) dipergunakan untuk menutupi kenyataan bahwa partai pendukung Prabowo-Gibran di parlemen adalah minoritas. Keempat partai pendukung Prabowo-Gibran (Gerindra, Golkar, PAN, Demokrat) hanya mengumpulkan 280 kursi atau 48,3%. Sementara 4 partai lain yang mengusung Anies-Muhaimain (Nasdem, PKB, PKS) dan Ganjar-Mahfud (PDIP) mengumpulkan tidak kurang dari 300 kursi atau 51,7%. Pemenang pillres itu ternyata hanya memiliki kekuatan minoritas di parlemen.
 
Kenyataan objektif itu, mau tidak mau, mendorong Prabowo untuk memperoleh dukungan dari partai politik yang melawannya dalam Pilpres 2024. Ia butuh setidaknya 1 partai tambahan untuk membentuk pemerintahan majoritas. Dengan kata lain kebutuhan untuk memperoleh dukungan partai baru berasal dari kubu Prabowo sendiri. 
 
Oleh karena itu publik jangan terombang-ambing oleh isu yang didengungkan oleh Prabowo bahwa Indonesia butuh persatuan nasional. Kebutuhan itu ada pada Prabowo sendiri. Lebih tidak penting lagi adalah isu “Indonesia sedang krisis politik sehingga membutuhkan rekonsiliasi nasional” yang dihembuskan oleh Ketua MPR Bambang Soesatyo dan Maruarar Sirait. Ketua MPR itu sepertinya sedang membangun peran politiknya pada kabinet mendatang, ia ingin menjadi mak comblang bagi kubu politik yang ingin bergabung dengan pemerintahan. 
 
Narasi Kestabilan Politik, Ilusi?
 
Narasi kedua adalah pentingnya kestabilan politik. Menurut narasi ini, setiap presiden, tidak terkecuali Prabowo, menginginkan pemerintahan yang stabil. Kestabilan politik adalah kondisi yang dibutuhkan oleh setiap pemerintahan untuk bekerja secara efektif tanpa gangguan yang signifikan, seperti kekerasan politik, kerusuhan besar, atau pergantian pemerintahan yang sering dan tidak teratur. 
 
Berkaitan dengan itu perlu ditegaskan bahwa ada kestabilan politik yang positif, dan ada pula yang negatif. Kestabilan  politik positif ditandai oleh adanya pemerintahan yang konsisten, kebijakan yang _predictable_ , dan ketiadaan konflik politik yang parah atau krisis internal yang mengancam keberlangsungan operasional negara. Sementara kestabilan politik negatif adalah semata kelangengan kekuasaan, dan untuk itu segala hal boleh dilakukan.
 
Pertanyaannya: apakah kestabilan politik mempersyaratkan kabinet gendut? 
 
Dari pengalaman Kabinet Jokowi I dan II, ternyata kestabilan itu relatif. Memang Jokowi tidak digulingkan, kabinet utuh, sementara partai politik dan DPR memilih bungkam. Dalam situasi ini Jokowi mungkin menganggap kekuasaannya bertahan, namun  di luar pemerintahan media sosial bergejolak dan jalanan dipenuhi oleh demonstrasi.
 
Oposisi Rakyat bertumbuh dan berkembang dengan pesat. Kekuatan Oposisi Rakyat setidaknya adalah 42% orang yang tidak memilih Prabowo. Mereka adalah orang yang tidak tergiur oleh iming-iming Jokowi, tidak terpikat oleh Bansos dan tidak percaya pada “kegemilangan kinerja” Jokowi. Terdapat lebih 60 juta orang yang marah oleh nepotisme presiden dan kemunduran demokrasi yang parah. 
 
Oposisi Rakyat telah semakin menguat pasca-pilpres 2024. Kekuatan baru itu  tidak akan melemah sekalipun Jokowi lengser pada Oktober 2024. Di mata Oposisi Rakyat penyebab sesungguhnya kemunduran demokrasi Indonesia adalah oligarki. Kelompok kecil dan elitis ini masih bercokol di dalam dan di luar partai politik yang sekarang menguasai parlemen.
 
Terbentuk dan menguatnya Oposisi Rakyat membuktikan bahwa kestabilan politik tidak ada di DPR. DPR saat ini adalah perwakilan partai politik yang tidak mewakili aspirasi rakyat. Setelah Jokowi lengser perhatian Oposisi Rakyat akan tertuju kepada DPR dan Kabinet. Isu utamanya adalah apa yang mereka lakukan untuk mengikis nepotisme dan menghentikan kemunduran demokrasi. Persoalan ini akan berkaitan dengan legacy Jokowi, apakah akan diteruskan atau dihancurkan? 
 
Dengan kata lain, sumber ketakstabilan politik itu berada di luar, bukan di dalam, DPR. Pada akhirnya nanti Oposisi Rakyat akan berhadapan dengan DPR dan Kabinet.
 
 
Narasi sistem presidensial tidak mengenal oposisi sudah muncul dalam 1 dekade terakhir. Narasi ini menggema untuk tujuan memperkuat posisi presiden dalam mengelola negara. Dalam Kabinet Jokowi I dan II narasi tersebut berhasil membungkam mekanisme kontrol dan pengawasan DPR. Kebijakan presiden, termasuk usulan undang-undang, meluncur bebas hampir tanpa pembahasan. Bahkan ketika Presiden menjadikan anaknya sebagai cawapres, DPR tidak bereaksi sama sekali.  
 
Pada periode kedua Jokowi praktis undang-undang disahkan tanpa pembahasan seksama, misalnya UU Cipta Kerja, UU Kesehatan, UU Pemberantasan Korupsi,  dlsb. Kegagalan DPR menjalankan fungsi pengawasan merusak mekanisme check and balance di pemerintahan. Eksekutif yang tidak lagi mendapat kontrol memadai dari legislatif menjadi sewenang-wenang, seakan bebas mempraktekkan korupsi, kolusi dan nepotisme.
 
Narasi “pemerintahan tanpa oposisi” menjadi justifikasi bagi kabinet gendut. Prabowo merasa ia harus mengakomodasi semua kelompok politik karena tidak boleh lagi beroposisi kepada dirinya. Prabowo seharusnya mengerti bahwa tatanan politik “tanpa oposisi” yang dibangun Jokowi justru telah melukai bangunan sistem demokrasi secara sukup parah. Demokrasi Indonesia, dengan sendirinya, mengalami kemerosotan yang semakin dalam.
 
Narasi Melanjutkan Warisan Jokowi 
 
Maka menjadi persoalan ketika Prabowo mengatakan bahwa ia akan melanjutkan warisan Jokowi. Warisan yang mana? Apakah Prabowo akan melanjutkan projek-projek infrastrukutr Jokowi, membangun IKN, atau melanjutkan tatanan politik yang dibangun oleh pemerintahan Jokowi? 
 
Kalau Prabowo ingin melanjutkan projek-projek Jokowi, hal itu masih bisa didiskusikan. Namun kalau Prabowo bermaksud melanjutkan tatanan politik bikinan Jokowi, maka tidak ada diskusi lagi, secara kategoris keinginan Prabowo itu harus ditolak. 
 
Secara ringkas, tatanan politik yang dibangun oleh Jokowi dapat disebut sebagai Tatanan Oligarki. Tatanan itu menghendaki eksekutif yang kuat, legislatif yang lemah dan judikatif yang patuh. Tatanan Oligarki melahirkan Pemerintahan Oligarki, yaitu pemerintahan yang kekuasaan politik dan ekonominya secara efektif dikendalikan oleh sekelompok kecil elit di masyarakat yang bisa dibedakan menurut kekayaan, keluarga atau jabatan militer.
 
Kata Jeffrey Winters, tujuan oligarki adalah mempertahankan kekayaan. Untuk itu mereka bermaksud melindungi pasar dan sumberdaya alam. Mereka senang kalau legislatif lemah karena mudah diperintah membuat atau membatalkan undang-undang. Perlindungan terkuat  bagi oligarki adalah undang-undang. Dengan undang-undang mereka bisa memanfaatkan aparat hukum. Oligarki ini masih utuh setelah lengsernya Jokowi. Apakah melanjutkan warisan Jokowi berarti tetap menjadikan oligarki sebagai panutan?
 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar