Nawaitu Redaksi

UKT Naik Terus, Menteri Nadiem Berani Lawan Liberalisasi Pendidikan?

Minggu, 26/05/2024 00:00 WIB
Puluhan masa menggelar demonstrasi di depan Kantor Kemendikbudristek, Senayan, Jakarta, Selasa (2/5/2023) menyambut Hari Pendidikan Nasional. Mereka menuntut agar Mendikbudristek Nadiem Makarim segera melakukan revolusi pendidikan nasional. Para demonstran tampak mengenakan seragam siswa SD, SMP, SMA, hingga toga sarjana. Robinsar Nainggolan

Puluhan masa menggelar demonstrasi di depan Kantor Kemendikbudristek, Senayan, Jakarta, Selasa (2/5/2023) menyambut Hari Pendidikan Nasional. Mereka menuntut agar Mendikbudristek Nadiem Makarim segera melakukan revolusi pendidikan nasional. Para demonstran tampak mengenakan seragam siswa SD, SMP, SMA, hingga toga sarjana. Robinsar Nainggolan

[INTRO]
Beberapa kampus negeri menaikan UKT (Uang Kuliah Tunggal) hingga berlipat-lipat kali. Bahkan ada Perguruan Tinggi Negeri (PTN) yang memberlakukan uang pangkal untuk masuk perkuliahan.
 
Jelas kebijakan ini bisa memupus impian banyak anak muda yang semula ingin kuliah di PTN. Kampus negeri yang dulu dikenal lebih terjangkau dibanding kampus swasta, kini biayanya malah makin melambung. Sejumlah mahasiswa kampus negeri juga terancam tidak bisa melanjutkan perkuliahan karena merasa tidak mampu mengikuti kenaikan uang kuliah.
 
Menghadapi kritikan dari berbagai pihak, juga demo dari mahasiswa, Pemerintah melalui Kemendikbudristek memberikan tanggapan bahwa pendidikan tinggi merupakan kebutuhan tersier, yang tidak masuk dalam wajib belajar 12 tahun. Pendidikan wajib di Indonesia saat ini hanya 12 tahun yakni dari SD, SMP hingga SMA. Padahal presiden terpilih Prabowo, pernah mengatakan bahwa pendidikan bagi warga negara itu harusnya gratis.
 
Liberalisasi dan Kapitalisme Dunia Pendidikan
 
Kenaikan biaya UKT adalah salah satu dampak liberalisasi perguruan tinggi negeri di tanah air, terutama sejak tahun 2000, melalui UU Perguruan Tinggi Negeri Badan Hukum Milik Negara (PTN-BHMN). Dengan pemberlakuan UU PTN-BHMN, negara bukan menambah, tetapi justru memangkas anggaran biaya pendidikan tinggi. Lalu untuk menutupi kekurangannya, PTN dan kampus diberi otonomi seluas-luasnya untuk mencari sumber dana sendiri. Jalan pintas pun ditempuh, di antaranya melalui regulasi penerimaan mahasiswa baru dengan menerapkan biaya tinggi, termasuk membuka jalur mandiri bagi calon mahasiswa yang mampu membayar mahal.
 
Pemerintah makin lepas tangan dalam membiayai pendidikan warganya. Ini terlihat dari kecilnya anggaran pendidikan yang hanya 20 persen dari APBN. Dana itu masih harus didistribusikan ke banyak pos pendidikan. Salah satunya adalah Direktorat Pendidikan Tinggi Kemendikbud. Jauh dari cukup untuk membiayai 85 PTN di seluruh Indonesia.
 
Inilah kebijakan zalim yang merampas hak banyak rakyat Indonesia untuk bisa masuk perguruan tinggi negeri. Kebijakan ini juga akan mengancam kualitas SDM rakyat dan sulit bersaing di dunia internasional. Menurut Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) 2021, hanya ada 8,31 % penduduk Indonesia dengan pendidikan di level S1 hingga S3. Menurut Presiden Jokowi, di Vietnam dan Malaysia rasio lulusan S2 dan S3 terhadap penduduk produktifnya lima kali lipat dari Indonesia.
 
Di Tanah Air, berdasarkan tingkat pendidikannya, penduduk bekerja didominasi oleh lulusan SD ke bawah. Jumlahnya mencapai 51,49 juta orang atau menyumbang 36,82% dari total penduduk bekerja di Tanah Air. Cita-cita menuju Indonesia emas sepertinya jadi bikin cemas.
 
 
Mengatur Pembiayaan Pendidikan
 
Sistem kapitalisme menjadikan pajak sebagai salah satu sumber utama pembiayaan pendidikan. Di sejumlah negara kapitalis, pendidikan bisa gratis hingga perguruan tinggi karena Pemerintah memungut pajak yang tinggi dari rakyat.
 
Namun, ada juga yang tidak sepenuhnya gratis sehingga rakyat harus membayar mahal untuk bisa masuk perguruan tinggi. Bahkan di Amerika Serikat banyak mahasiswa terjerat utang karena pinjaman dari bank (student loan) untuk biaya kuliah. Majalah ekonomi Forbes, pada tahun 2019, melaporkan ada 44 juta mahasiswa perguruan tinggi terjerat utang dengan total nilainya 1,5 triliun dolar.
 
Di dalam Islam, negara tidak boleh membebani rakyat dengan pajak, termasuk untuk membiayai pendidikan warganya. Pasalnya, Islam sudah menetapkan sumber pembiayaan pendidikan sesuai dengan hukum syariah. Sumber ini bisa berasal dari sejumlah pihak: Pertama, warga secara mandiri. Artinya, individu rakyat membiayai dirinya untuk bisa mendapatkan pendidikan. Harta yang dikeluarkan untuk meraih ilmu akan menjadi pahala besar.
 
Baru-baru ini Wakil Presiden AS, Kamala Harris mengumumkan pemerintahannya menghapus utang mahasiswa (student loan) untuk total 4,75 juta peminjam mulai hari ini, Kamis (22/5).
 
"Hari ini, kami mengumumkan babak baru pengampunan utang mahasiswa. PresidenBiden dan saya kini telah membatalkan US$167 miliar (sekitar Rp2.683,8 triliun) untuk 4,75 juta peminjam," kata Harris melalui unggahan Instagram @vp, Kamis (23/5).

"Kami membantu masyarakat Amerika membangun kesejahteraan dan menciptakan perekonomian di mana setiap orang memiliki kebebasan untuk berkembang," imbuhnya.

Apa yang dilakukan pemerintah Amerika ini bisa ditiru oleh pemerintah Indonesia, karena saat ini banyak mahasiswa PTN dan PTS terjerat berbagai utang dan pinjol demi membiayai perkuliahannya.
 
Amburadulnya sistem dan biaya pendidikan tinggi di Indonesia saat ini jelas menjadi tanggungjawab Mendikbud Nadiem Makarim. Di akhir masa jabatannya, sudah seharusnnya Nadiem meninggalkan legacy yang pro rakyat dan bukannya malah memberatkan rakyat. 
 
Kalau memang sudah tidak mampu mengatasi liberalisasi dan kapitalisme di dunia pendidikan tinggi di Indonesia, ya sebaiknya Nadiem mundur saja dan kembali mengurus Gojek dan bisnis pinjol yang salah satunya juga memakan korban nasabahnya para mahasiswa.
 
 

(Warta Wartawati\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar