Wendy Gouw, Pengamat Pasar Modal dan Ekonomi Makro

Meneropong Ekonomi Indonesia di Tengah Tekanan Geopolitik Global

Senin, 29/04/2024 18:38 WIB
Ilustrasi lantai Bursa Saham. Foto: net (ist)

Ilustrasi lantai Bursa Saham. Foto: net (ist)

Jakarta, law-justice.co - Ekonomi dunia telah mengalami gonjang-ganjing selama empat tahun terakhir. Sebut saja, Pandemi Covid-19 (Desember 2019) yang membuat begitu banyak negara di dunia jatuh ke jurang resesi. Perlambatan ekonomi dunia pasca-Covid-19 kembali diperparah dengan perang terbuka Rusia-Ukraina (Februari 2022) yang menyebabkan krisis pangan dan energi dunia.

Gejolak geopolitik tersebut membuat sebagian besar bank sentral di dunia mengambil kebijakan moneter ketat (menaikkan suku bunga acuan) untuk menekan laju inflasi. Era suku bunga tinggi sepertinya akan tetap berlanjut (higher for longer) pascakonflik terbuka di Timur Tengah baru-baru ini (Israel-Palestina dan Israel-Iran). Perekonomian global kembali dipenuhi ketidakpastian yang tinggi.

Efek rambatan dari gejolak geopolitik tersebut mulai terasa. Dua indikator makro yang mulai bereaksi, yaitu volatilitas IHSG (indeks harga saham gabungan) di sekitar level psikologis 7.000 dan pelemahan nilai tukar rupiah (IDR) terhadap dolar Amerika (USD) di angka IDR 16.200-an/USD (Jakarta Interbank Spot Dollar Rate‒JISDOR) dalam sepekan terakhir.

Artikel ini mendiskusikan efek rambatan gejolak geopolitik tersebut terhadap perekonomian nasional, beberapa tantangan, dan langkah mitigasi yang perlu diperkuat melalui bauran kebijakan moneter.

Ekonomi Indonesia

The bright spot in the dark. Istilah ini pernah digunakan Dana Moneter Internasional (IMF) untuk menggambarkan perekonomian Indonesia tahun 2022. Indonesia dianggap mampu memitigasi gejolak ekonomi global. Kinerja positif indikator makro ekonomi menjadi dasar penilaian IMF.

Dalam sidang IMF di Washington DC tanggal 18 April 2024 kemarin, Indonesia kembali dianggap mampu menghadapi efek rambatan gejolak ekonomi global. Tentu kondisi ini tidak terlepas dari sinergi kebijakan moneter dan fiskal yang bijak dan hati-hati (prudent).

Beberapa indikator makro Indonesia hingga awal April 2024 menunjukkan kinerja positif. Sebut saja IHK (indeks harga konsumen) yang tetap terjaga di angka 3,05% (yoy). Angka tersebut masih berada dalam rentang sasaran 2,5±1%.

Pertumbuhan kredit perbankan pada triwulan I tahun 2024 yang juga baik, tumbuh pada kisaran 12,40% (yoy) dengan NPL-netto (rasio kredit macet bersih) di angka 0,8% (Februari 2024). CAR (rasio kecukupan modal) perbankan pada bulan Februari 2024 juga tinggi, berada pada kisaran 27,73%.

Sementara itu, data Inflasi tetap stabil sesuai harapan Bank Indonesia (BI). Inflasi Inti bulan Maret 2024 tercatat 0,23% (mtm) sehingga secara tahunan menjadi 1,77% (yoy).

Data perinci terkait Inflasi dapat dianalisis lebih jauh melalui kelompok volatile food (kejutan harga pada kelompok makanan) dan administered prices (dipengaruhi oleh kebijakan harga pemerintah). Pada kelompok volatile food, inflasi meningkat dari bulan sebelumnya (1,53% menjadi 2,16%‒mtm). Komoditas yang berkontribusi pada peningkatan tersebut di antaranya telur dan daging ayam ras serta beras. Secara tahunan, kelompok ini telah mengalami inflasi sebesar 10,33% (yoy).

Peningkatan yang cukup signifikan. Inflasi pada kelompok administered prices tampak menurun (dari 0,15% bulan Februari menjadi 0,08% pada Maret 2024‒mtm). Secara tahunan, kelompok administered prices mengalami inflasi sebesar 1,39% (yoy).

Beranjak ke indikator Cadangan Devisa (CD). Data bulan Maret 2024 menunjukkan posisi CD tetap tinggi (140,4 miliar USD). Angka ini sedikit turun dibandingkan data akhir Februari 2024 (144,0 miliar USD).

Penurunan tersebut diakibatkan oleh pembayaran utang luar negeri pemerintah, kebutuhan likuiditas valas korporasi, dan stabilisasi nilai tukar rupiah. Angka CD tersebut jika merujuk pada standar kecukupan internasional (pembiayaan ± 3 bulan impor negara) masih sangat baik, setara dengan pembiayaan 6,4 bulan impor atau 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Indonesia.

Sovereign Credit Rating Indonesia

Sovereign Credit Rating (SCR) atau peringkat utang Indonesia kembali dipertahankan lembaga pemeringkat internasional Moody`s. Moody`s memberikan nilai "Baa2" untuk rating utang Indonesia, satu tingkat di atas investment grade dengan outlook "Stabil" pada tanggal 16 April 2024.

Moody`s berpendapat bahwa ketahanan ekonomi Indonesia tetap terjaga, yang didukung oleh pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan stabil. Kredibilitas dan inovasi instrumen kebijakan moneter dan fiskal diyakini mampu mendukung pencapaian tersebut.

Pertumbuhan Ekonomi Indonesia diprediksi Moody`s mampu tumbuh di kisaran 5,0% (2024-2025), relatif lebih tinggi dibanding negara-negara lain yang memperoleh peringkat "Baa" (hanya tumbuh pada kisaran 3%). Sejumlah faktor yang turut mendukung ekonomi Indonesia menurut Moody`s.

Mulai dari reformasi struktural, perbaikan iklim investasi, peningkatan penanaman modal asing, penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekspor, surplus neraca dagang, kebijakan hilirisasi (mendukung diversifikasi dan nilai tambah komoditas ekspor serta mengurangi sensitivitas harga), dan naiknya penerimaan negara.

Peringkat SCR Indonesia tersebut akan memberikan kepercayaan kepada pemodal terhadap stabilitas makro ekonomi Indonesia. Fundamental makro yang terjaga diharapkan mampu mengurangi reaksi negatif akibat efek rambatan dari meningkatnya gejolak ekonomi global. Bank Indonesia sendiri memprakirakan pertumbuhan ekonomi nasional pada tahun 2024 berada pada kisaran 4,7% - 5,5%.

Potensi Efek Rambatan

Indikator ekonomi makro Indonesia secara umum memang tampak baik-baik saja, setidaknya hingga awal April 2024. Perubahan struktural pada ekonomi global pascameningkatnya ketegangan di Timur Tengah sepertinya akan memberikan efek rambatan yang meluas, termasuk pada ekonomi Indonesia. Kondisi tersebut perlu direspons secara cepat dan tepat untuk mengantisipasi berbagai dampak negatif yang potensial.

Tantangan ekonomi dan geopolitik negara-negara di dunia saat ini mencakup tiga isu. Pertama, suku bunga bank sentral Amerika Serikat (Fed Fund Rate‒FFR) yang masih tinggi (pada rentang 5,25%-5,5%).

Kedua, tensi geopolitik di Timur Tengah yang dikhawatirkan meluas selepas Israel dan Iran saling serang sejak awal April 2024. Ketiga, Senat Amerika yang menyetujui bantuan senilai USD 95 miliar (setara IDR 1.534 triliun) kepada Ukraina, Israel, dan Taiwan pada Selasa (23 April 2024).

Bantuan tersebut berpotensi menyebabkan konflik Rusia-Ukraina semakin berlarut, termasuk di Timur Tengah (Israel-Palestina-Iran), dan ketegangan di kawasan Asia (Tiongkok-Taiwan-AS). Meskipun masih banyak faktor pemicu lain, namun ketiga isu tersebut berpotensi memberi dampak yang sangat fundamental pada perekonomian global.

Sementara itu, sikap hawkish The Fed yang masih mempertahankan suku bunga tinggi juga turut memperlambat pemulihan ekonomi global. Berbagai gejolak geopolitik tersebut berpotensi membawa dampak yang serius pada dua isu penting ekonomi.

Pertama, krisis pangan akibat ketimpangan rantai pasok, khususnya dari sisi supply. Kedua, krisis energi yang akan mendorong naiknya inflasi bahan bakar minyak (BBM), apalagi jika harga minyak dunia melewati USD 100/barel.

Inflasi bahan pangan dan BBM tentu berpotensi menciptakan goncangan baru pada struktur makro ekonomi di setiap negara. Konsekuensi akibat ketimpangan rantai pasok tersebut berpotensi merambat ke berbagai sendi ekonomi.

Sebut saja, penurunan daya beli, neto ekspor yang tergerus, peningkatan arus modal keluar, melambatnya pertumbuhan kredit, penurunan ekonomi, peningkatan pengangguran, depresiasi mata uang lokal (efek strong-dollar akibat yield di AS meningkat), hingga potensi munculnya berbagai masalah sosial. Kompleksitas tersebut tentu perlu direspons dan dimitigasi, sama seperti pada saat Indonesia merespons efek rambatan negatif Pandemi Covid-19.

Penguatan Respons Moneter

Kebijakan Moneter menjadi salah satu instrumen penting dalam mengantisipasi berbagai efek rambatan negatif yang mungkin terjadi. Lebih baik mencegah daripada mengobati. BI sebagai otoritas yang berwenang untuk menjalankan kebijakan ini telah meracik ulang sejumlah instrumen moneter dalam menghadapi gejolak geopolitik tersebut.

BI pada Rapat Dewan Gubernur (RDG BI) tanggal 23-24 April 2024 telah memutuskan untuk menaikkan BI-rate (BI 7-Day Reverse Repo Rate) sebesar 25 bps menjadi 6,25%, suku bunga Deposit Facility menjadi 5,50% dan Lending Facility menjadi 7,00%.

Selain merespons sikap hawkish The Fed, kenaikan BI-rate tersebut lebih mengarah pada upaya pre-emptive dan forward looking untuk memperkuat stabilitas nilai rupiah dan mengendalikan inflasi pada target 2,5±1% sesuai stance kebijakan moneter BI yang pro-stability.

Intervensi valuta asing dan langkah-langkah pencegahan lain tetap dilakukan BI untuk menjaga stabilitas moneter. BI melakukan operasi moneter dan pengelolaan aliran portofolio asing yang ramah dan pro-pasar, yang terintegrasi dengan pendalaman pasar uang untuk mendukung ketahanan eksternal perekonomian nasional.

Sementara itu, Kebijakan Makroprudensial dan Sistem Pembayaran tetap mengedepankan pro-growth untuk mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Kebijakan Makroprudensial longgar ditempuh untuk mendorong penyaluran kredit perbankan pada sektor riil (dunia usaha) dan rumah tangga, sementara Kebijakan Sistem Pembayaran ditujukan untuk memperluas akseptasi digitalisasi sistem pembayaran.

BI tampaknya juga tetap mengedepankan bauran kebijakan moneter triple-intervention. Intervensi moneter tersebut dilakukan BI dengan tiga cara: (1) intervensi secara tunai di pasar spot, (2) intervensi secara forward melalui instrumen DNDF (domestic non deliverable forward) yang relatif lebih murah dan efisien, dan (3) intervensi dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder (mengantisipasi dampak negatif keluarnya dana asing dari pasar sekunder dan menjaga likuiditas rupiah).

Khusus mengenai kebijakan DNDF. Transaksi DNDF dapat digunakan pelaku pasar untuk melakukan aktivitas hedging (lindung nilai) atas risiko nilai tukar rupiah. Instrumen ini juga dapat digunakan BI untuk melakukan operasi moneter. Implementasi kebijakan triple intervention harus didukung cadangan devisa BI yang memadai (Valas, SBN Dalam Negeri, SBN Luar Negeri, emas, dan aset finansial lainnya).

Kebijakan lain untuk menjaga stabilitas rupiah dilakukan BI dengan mendorong arus modal masuk (capital inflow) melalui instrumen SRBI (Sekuritas Rupiah Bank Indonesia). SRBI berpotensi menarik masuk modal asing dalam bentuk investasi portofolio. Instrumen ini berbentuk surat berharga yang diterbitkan BI dalam mata uang rupiah (menggunakan underlying asset berupa SBN yang dimiliki BI).

Ahead The Curve

Penguatan berbagai bauran kebijakan moneter diharapkan mampu meredam fluktuasi nilai tukar rupiah di tengah gejolak geopolitik global. Banyak faktor yang memengaruhi stabilitas nilai tukar rupiah.

Meskipun demikian, efek rambatan akibat sentimen (negatif) eksternal untuk saat ini lebih mendominasi. Fundamental internal yang relatif kuat menjadi nilai tambah Indonesia dalam menghadapi efek rambatan gejolak geopolitik ini.

Meskipun demikian, Indikator positif tersebut jangan sampai menimbulkan bias overconfidence bagi para pengambil kebijakan. Perubahan ekonomi global yang sangat cepat dan dinamis harus diantisipasi dan direspon dengan cepat juga (dan diharapkan tepat).

Komitmen pemerintah untuk tetap menjaga defisit fiskal di bawah 3% dari PDB (produk domestik bruto) harus dipertahankan. Sinergi antarlembaga dan otoritas terkait menjadi kunci utama bagi implementasi bauran kebijakan yang mendukung ketahanan sistem keuangan dan ekonomi nasional terhadap ketidakpastian ekonomi global.

Sejumlah daerah di Indonesia yang mulai memasuki musim panen diharapkan turut berkontribusi dalam menekan angka inflasi kelompok volatile food, terutama harga beras yang terus merangkak naik.

Apa yang sedang (dan akan) dilakukan bank sentral melalui sejumlah bauran kebijakan moneternya menunjukkan konsistensi BI dalam mempertahankan stance kebijakan moneter yang preemptive dan ahead the curve.

Sebuah respons moneter yang agresif dalam mengantisipasi dan mendahului "yang lain". Kita optimis respons agresif tersebut mampu memperkuat stabilitas ekonomi nasional di tengah hantaman geopolitik global yang semakin brutal.***

(Tim Liputan News\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar