Denny Indrayana - Guru Besar Hukum Tata Negara
MK, Pilpres 2024, dan “Kentut Inkonstitusional” Presiden Jokowi
Guru Besar Hukum Tata Negara Prof. Denny Indrayana. (X/@dennyindrayana)
law-justice.co - Sebelum lebih jauh menulis, saya berkewajiban dan berutang untuk menjelaskan kenapa menggunakan frasa, “kentut inkonstitusional” dalam tulisan ini. Bukan hal mudah bagi saya untuk menuliskan frasa tersebut, terutama karena sopan-santun dan rasa bahasa yang tidak nyaman untuk dibaca. Tetapi, melalui pertimbangan yang mendalam, akhirnya saya tetap menggunakan frasa itu, karena beberapa alasan.
Pertama, dugaan pelanggaran dan kejahatan konstitusional pemilu yang dilakukan Presiden Jokowi—khususnya terkait Pilpres 2024, tidak pernah ada preseden, atau belum pernah terjadi sebelumnya.
Dua, dugaan pelanggaran dan kejahatan konstitusional pemilu tersebut sama sekali tidak dapat ditoleransi dengan alasan apapun (intolerable, no excuse whatsoever), sehingga harus dilawan dengan tegas dan keras, demi menyelamatkan konstitusi dan demokrasi di tanah air.
Tiga, membuktikan dugaan pelanggaran dan kejahatan konstitusional pemilu yang dilakukan Presiden Jokowi itu bukanlah hal mudah, justru amat sulit dan rumit. Sebagaimana layaknya organized crime, terlebih yang dilakukan oleh orang terkuat di republik, pelanggaran dan kejahatan demikian hanya bisa dirasakan akibatnya, tetapi tidak bisa—atau paling tidak sulit sekali dilihat wujudnya. Padanan atau fenomena yang paling pas untuk menggambarkan keadaan itu hanyalah—maaf: Kentut. Buang angin lebih tercium bau busuknya, tetapi nyaris mustahil dibuktikan wujudnya.
Karena itu, pembuktian pelanggaran dan kejahatan konstitusional Pilpres 2024 semestinya cukup dengan mengindera bau busuk cawe-cawe Presiden Jokowi, yang berdasarkan bukti-bukti di depan persidangan Mahkamah Konstitusi, ditambah keyakinan hakim konstitusi, nyata-nyata telah melanggar prinsip pemilu LUBER, Jujur, dan Adil, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 22E ayat (1) UUD 1945.
Masih ingatkah anda dengan Ada Apa Dengan Cinta? Itulah film tahun 2002 yang sempat kondang di tanah air. Jika dibuat film, maka skenario Pemilihan Presiden 2024 akan berjudul, “Ada Apa dengan Pilpres 2024?” Jawabannya sebenarnya mudah dan sederhana: patut diduga, Presiden Joko Widodo telah secara terstruktur, sistematis dan masif (TSM) melakukan pelanggaran moral-konstitusional dan kejahatan kriminal untuk memenangkan Gibran Rakabuming Raka, anak kandungnya sendiri.
Persoalannya menjadi lebih rumit bin sulit, ketika di hadapan meja merah Mahkamah Konstitusi, dugaan pelanggaran dan kejahatan pilpres yang dilakukan oleh Presiden Jokowi itu harus dibuktikan beyond reasonable doubt. Ibaratnya, Presiden Jokowi—maaf—sedang buang angin secara TSM, di hampir seluruh wilayah Indonesia. Lalu, persidangan Mahkamah meminta ada bukti foto, wujud nyata dari kentut sang presiden tersebut. Tuntutan pembuktian yang demikian adalah mission impossible, utamanya untuk persidangan sengketa pilpres yang hanya diberi jangka waktu 14 (empat belas) hari kerja saja.
Cawe-Cawe Pilpres 2024: “Kentut Inkonstitusional” Presiden Jokowi
Dalam perspektif hukum tata negara—maaf, kentut ada dua jenis: konstitusional dan inkonstitusional. “Kentut Konstitusional” berdampak baik untuk kesehatan bangsa. Kentut jenis ini menandakan fungsi metabolisme tubuh ketatanegaraan berjalan dengan baik. “Kentut konstitusional” dilakukan dengan beradab. Biasanya mudah dibuktikan, karena selain berbau, juga berbunyi. Lalu, sang pelaku kentut, meskipun sambil malu-malu, mengakuinya. Maka, kentut konstitusional menjadi lebih mudah untuk dibuktikan.
Yang menjadi persoalan adalah “Kentut Inkonstitusional”. Kentut jenis ini hanya menimbulkan bau busuk yang menyengat, tetapi tidak berbunyi. Sang pelaku akan berusaha sekuat tenaga, dengan berbagai cara, untuk tidak mengakuinya. Akibatnya, kentut inkonstitusional menjadi lebih sulit untuk dibuktikan.
Persoalan akan menjadi lebih rumit, jika pelaku “kentut inkonstitusional” itu adalah pemimpin nomor satu republik, sang Presiden. Bahkan, jika kentut Presiden itu berbunyi nyaring sekalipun, anggota kabinet, kroni, dan oligarki di sekitarnya akan berusaha menutupinya, sambil dengan muka merah padam menahan bau busuk berkata: “Dengan tegak lurus kami tegaskan, Presiden tidak kentut sedikitpun. Jangankan bau busuk, bunyi, dan semilir anginnya pun tidak ada sama sekali.”
Itulah menurut pendapat saya yang sedang terjadi pada Pilpres 2024. Patut diduga, Presiden Jokowi sebenarnya sedang melakukan “kentut inkonstitusional” secara TSM. Wujud paling nyata dari “kentut inkonstitusional” Presiden Jokowi itu adalah cawe-cawe dalam Pilpres 2024, dengan bukti nyata dan fakta yang tidak terbantahkan adalah: praktik nepotisme pencawapresan sang anak, Gibran Rakabuming Raka.
Sebagaimana diingatkan Presiden Kelima Megawati Soekarnoputri, kekuasaan itu enak, tidak langgeng, karenanya jangan lupa daratan. Sayangnya, Presiden Jokowi tidak kuat menahan hasrat bin syahwat godaan kekuasaan yang memang memabukkan.
Mens rea alias niat jahat Presiden Jokowi sudah terendus saat berniat mengubah konstitusi, untuk menambah masa jabatan presiden yang ketiga. Ketika upaya manipulasi konstitusional itu tidak didukung kekuatan politik, utamanya Ibu Megawati dan PDI Perjuangan, skenario digeser menjadi penundaan pemilu 2024, dan perpanjangan dua tahun masa jabatan kepresidenan, dengan alasan pandemi COVID-19.
Ketika skenario kedua inipun tidak berhasil, maka Presiden Jokowi memutuskan cawe-cawe, dengan mendudukkan Gibran Rakabuming Raka selaku kontestan dalam Pilpres 2024. Padahal, Gibran bukan hanya tidak layak menjadi cawapres 2024, bahkan awal karir politiknya sebagai kandidat dan akhirnya Walikota Solo sejatinya adalah akibat cawe-cawe Presiden Jokowi.
Dalam Pilpres 2024, cawe-cawe Presiden Jokowi adalah kejahatan utamanya. Turunan kejahatannya adalah sebagaimana sudah dengan baik difilmkan dalam “Dirty Vote”, dan yang coba didalilkan oleh Paslon 01 dan 03 dalam permohonan di persidangan sengketa pilpres 2024 di Mahkamah Konstitusi, antara lain: Korupsi-Kolusi-Nepotisme pencalonan Gibran Bin Jokowi; politisasi dan personalisasi bansos; tidak netralnya aparatur negara termasuk kepolisian, tentara, dan kepala desa; serta penyalahgunaan penjabat kepala daerah.
Ilustrasi: Gedung Mahkamah Konstitusi di Jakarta.
Pembuktian “Kentut Inkonstitusional” Presiden Jokowi
Saat ini, “kentut inkonstitusional” Presiden Jokowi sedang dinilai pembuktiannya di hadapan sidang Mahkamah Konstitusi, dan akan diputuskan pada 22 April 2024 yang akan datang. Jika terbukti, permohonan Paslon 01 dan 03 akan berpotensi dikabulkan, seluruhnya ataupun sebagian. Sebaliknya jika dinilai tidak terbukti, kedua permohonan tersebut akan ditolak seluruhnya.
Tentu saja membuktikan “kentut inkonstitusional” seorang presiden, apalagi yang tengah berkuasa, sangat-amat tidak mudah. Di republik manapun, lembaga kepresidenan adalah kantor yang paling kuat dan paling berkuasa. Kekuatan presidensial, selain didapatkan dari kewenangan konstitusional (constitutional power), juga diperoleh melalui bangunan koalisi pemerintahan, yang salah satunya tercermin dengan pembagian kursi menteri di kabinet.
Dalam realitasnya, saat ini Presiden Jokowi berhasil mengkonsolidasikan koalisi mayoritas mutlak ke dalam pemerintahannya. Bukan hanya menggunakan instrumen konstitusi dan koalisi, Jokowi juga efektif menggunakan skandal hukum sebagai alat intimidasi, untuk melemahkan dan menyandera lawan-lawan politiknya. Itu artinya, kasus hukum digunakan untuk memukul lawan-oposisi, dan dimanfaatkan untuk merangkul kawan-koalisi.
Dengan kekuasaan pemerintahan yang intimidatif demikian, dan lemahnya sistem perlindungan saksi (witness protection) dalam perkara pemilu, maka pelanggaran pemilu (electoral frauds), terlebih yang dilakukan Presiden, memang relatif sulit dibuktikan.
Dalam konteks “kentut inkonstitusional” yang dilakukan Presiden Jokowi pada Pilpres 2024, yang bisa dirasakan adalah bau busuknya yang menyebar ke seluruh penjuru tanah air. Tapi kalau kwalitas pembuktian yang disyaratkan adalah foto atau bentuk fisik dari “kentut inkonstitusional” demikian, maka hampir mustahil dilakukan.
Kecuali ketika Presiden Jokowi akan melakukan “kentut inkonstitusional”, ada yang merekamnya, lalu rekaman suara dan gambar demikian dihadirkan ke persidangan Mahkamah Konstitusi, dan dikuatkan dengan kesaksian. Dari pengamatan saya, tidak ada kwalitas saksi fakta yang demikian. Keterangan empat menteri yang dihadirkan di sidang MK, lebih banyak memberi keterangan normatif-prosedural, dan tidak berani secara lugas menyebutkan Presiden Jokowi telah melakukan “kentut inkonstitusional” melalui cawe-cawenya dalam Pilpres 2024.
Karena itu, saya sepakat dengan dalil permohonan Paslon 03 yang berargumen bahwa sengketa pilpres tidak seharusnya menggunakan konsep pembuktian pidana, beyond reasonable doubt. Karena pembuktian pidana mencakup proses penyelidikan, penyidikan, yang memakan waktu hitungan bulan, tidak jarang tahun. Bahkan, persidangannya pada tingkat pertama saja bisa berlangsung enam bulan. Tentu saja menjadi tidak fair, dan impossible, jika pembuktian demikian diterapkan pada sengketa pilpres yang hanya bersidang maksimal 14 hari kerja saja. Sebagai persidangan peradilan tata negara, pembuktian sengketa pilpres bahkan tidak layak hanya dibebankan kepada Pemohon saja, sebagaimana perkara perdata yang terkenal dengan asas “yang mendalilkan yang membuktikan” atau “actori in cumbit probatio”.
Karena ini bukan sengketa antara para pihak dalam ruang privat, tetapi adalah perkara publik yang berdampak kepada semua rakyat Indonesia (erga omnes, toward all), maka pemohon memang wajib menghadirkan bukti awal permulaan, tetapi semua pihak berkewajiban pula secara bersama-sama berproses untuk mencari keadilan pemilu (electoral justice). Bahkan para hakim konstitusi juga punya kewajiban untuk menggali keadilan substansial-konstitusional, agar pemilihan presiden tidak menyimpang dari prinsip dan amanat pemilu yang LUBER, Jujur, dan Adil.
Urgensi Negarawan dan Keyakinan Hakim Konstitusi
Dalam Pasal 45 ayat (1) UU Mahkamah Konstitusi di atur, “Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan hakim”.
Kata “dan” di rumusan norma tersebut menunjukkan bahwa“keyakinan hakim” adalah elemen yang berdiri sendiri, sekaligus menjadi syarat kumulatif bersama-sama alat bukti, dalam proses membuat putusan di Mahkamah Konstitusi, termasuk dalam sengketa Pilpres 2024. Maka, meskipun mungkin saja ada argumen bahwa “kentut inkonstitusional” Presiden Jokowi melalui cawe-cawenya tidak dapat dibuktikan dengan foto dan wujud nyatanya; namun, dengan derajat kenegarawanannya, melalui penginderaan bau busuk “kentut inkonstitusional” yang semerbak kemana-mana, semestinya tidak sulit bagi delapan Hakim Konstitusi yang menyidangkan sengketa Pilpres 2024 untuk mempunyai keyakinan, bahwa telah ada pelanggaran dan kejahatan pemilu yang TSM, untuk memenangkan Gibran bin Jokowi.
Bahkan, bukti “kentut inkonstitusional” Jokowi sebenarnya telah masuk ke ruang sakral persidangan dan ruang RPH (Rapat Permusyawaratan Hakim) Mahkamah Konstitusi melalui Putusan 90, Putusan Paman Usman untuk Gibran. Putusan MKMK yang dipimpin Profesor Jimly Asshiddiqie menyimpulkan, “Hakim Terlapor terbukti dengan sengaja membuka ruang intervensi pihak luar dalam proses pengambilan Putusan Nomor 90…” Tegasnya, hakim konstitusi sebenarnya tidak perlu jauh-jauh mencari bukti cawe-cawe inkonstitusional Presiden Jokowi. Karena, Putusan 90 adalah bukti nyata bagaimana Presiden Jokowi telah membuang angin busuk intervensi ke depan hidung para Hakim Konstitusi yang mulia.
Sebagai korban dari berbagai bentuk intervensi langsung ataupun tidak langsung (direct and indirect intervention) yang dilakukan Presiden Jokowi, Mahkamah Konstitusi seharusnya punya hutang bukan hanya untuk menyelamatkan konstitusionalitas Pilpres 2024, tetapi juga menegakkan lagi prinsip kemerdekaan kekuasaan kehakiman (independence of the judiciary) yang ditegaskan dalam Pasal 24 ayat (1) UUD 1945.
Pada 22 April 2024, sejarah Indonesia akan mencatat, apakah Mahkamah Konstitusi, melalui delapan begawan hukumnya, mampu mengawal serta meluruskan kembali jalur Pilpres 2024 yang seharusnya konstitusional dan demokratis? Atau, delapan negarawan itu kembali terjebak dalam gelapnya penjara skandal Putusan 90, sehingga gagal menegakkan keadilan pemilu, dan takut memberi sanksi setimpal atas “kentut inkonstitusional” yang dilakukan Presiden Jokowi.
Jikapun hidung para hakim konstitusi tersumbat untuk membau busuk “kentut inkonstitusional” cawe-cawe Presiden Jokowi, saya masih menyimpan harapan bahwa, keyakinan dan penciuman hati nurani konstitusional mereka masih berfungsi baik sebagai negarawan, yang semata-mata hanya memutus demi kepentingan keadilan negara bangsa Indonesia. Semoga!
Komentar