Prof. Ikrar Nusa Bakti

Jokowi Raja Jawa, Hak Angket, Potensi Retaknya Prabowo-Jokowi

Selasa, 16/04/2024 11:05 WIB
Pakar Politik Ikrar Nusa Bhakti (Instagram)

Pakar Politik Ikrar Nusa Bhakti (Instagram)

[INTRO]
Nama Ikrar Nusa Bhakti asli pemberian orang tuanya namun, penulisannya yang benar adalah Ikrar Nuswa Bakti. Nuswa yang dibacanya Nusa itu berasal dari bahasa Sansekerta asli. Artinya pulau. 
 
Ikrar lahir di Jakarta pada 27 Oktober 1957, ia adalah Profesor Riset di Pusat Penelitian Politik LIPI, ia juga adalah mantan Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (P2P-LIPI). 
 
Pendidikannya SD Negeri Petang II Jakarta, SMP Negeri 26 Jakarta dan SMA Katolik Jakarta, gelar sarjana ilmu politik diperolehnya dari FISIP UI tahun1983, dan Ph.D. di bidang Sejarah Politik dari School of Modern Asian Studies, Griffith University Brisbane, Australia, tahun 1992. 

Masa kecil Ikrar relatif “susah’. Ia bahkan harus ikut pamannya. Dengan jujur dia mengakui ayahnya yang alumni Ponpes Tebuireng Jombang adalah seorang guru yang bergabung dengan underbouw PKI, yaitu Pemuda Rakyat. Ibunya pun pernah menjadi anggota DPR-GR mewakili Gerwani. 
 
Namun Ikrar enggan menyebutkan nama kedua orangtuanya. Ikut paman yang menjadi perwira TNI AU, membuat Ikrar menjalani kehidupan berpindah-pindah dari tangsi ke tangsi.

Karena tinggal di lingkungan TNI AU, Ikrar semula bercita-cita menjadi pilot pesawat tempur. Ikrar menyelesaikan SMA di Denpasar. Selepas SMA dia kembali ke Jakarta untuk menemani ibunya.
 
"Sebelumnya saya bercita-cita menjadi Pilot pesawat tempur karena memang dulu berada di lingkungan TNI AU," kata Ikrar kepada Law-Justice.

Minatnya di bidang kajian politik domestik, militer, dan strategis, serta hubungan internasional telah membawanya menjadi peserta aktif dan/atau presenter dalam seminar serta workshop yang diadakan di beberapa negara di kawasan Asia Pasifik. 
 
Ia juga menerbitkan buletin Politika di jurusan Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia. Buletin tersebut dilarang beredar kembali karena memuat tulisan tentang esensi dwifungsi ABRI yang diselewengkan penguasa Orde Baru. Saat kuliah Ikrar selalu berpikir bagaimana agar menjadi yang berprestasi sehingga memperoleh beasiswa. 

Selepas dari UI, Ikrar menjadi peneliti di LIPI dan masih mengajar beberapa mata kuliah. Kini, selain mengajar di almamaternya, Ikrar menjadi peneliti dan Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI). 
 
Aktif menulis opini, kolom-kolomnya tersebar di berbagai media massa. Dalam tulisan-tulisannya tentang tentara, ia menekankan pentingnya tentara yang profesional, proporsional, dan tidak berpolitik.
 
"Pada prinsipnya tentara itu harus profesional, proporsional dan tidak bermain politik," ujarnya.
 
 
Mantan Duta Besar Tunisia tersebut juga beberapa kali kerap mengkritik pemerintahan Jokowi beberapa bulan terakhir. Untuk itu ia mengingatkan pada Jokowi untuk tidak terlena akan kekuasaan. Ia mencontohkan bahwa Presiden ke-2 Soeharto yang sudah berkuasa selama 32 tahun saja bisa lengser pada akhirnya. 
 
Ikrar menyebut bahwa Jokowi sedang merasa berada di atas angin saat ini lantaran bisa menguasai segalanya. Bila diibaratkan menurutnya Jokowi ini seolah seperti Raja Jawa.
 
"Presiden ini sekarang sedang merasa beliau lah yang ada di atas angin. Kekuasaan dia itu bulat, utuh, tidak terbagi-bagi, menguasai tiga trias politika itu, dan menguasai kekuasaan-kekuasaan negara di bidang eksekutif. Yang saya katakan itu adalah dia menguasai ASN, polisi, TNI, intelijen, dan sebagainya," ucapnya.
 
Kemudian, Ikrar mengingatkan bahwa, sekuat-kuatnya kekuasaan, jika rakyat menghendaki untuk berhenti maka pasti pemerintahan itu akan jatuh pada akhirnya. Ia lantas menyebut kalimat itu juga pernah disampaikan oleh Presiden Jokowi sendiri. 
 
"Jokowi ini kan merasa dia bisa memerintahkan polisi, TNI, dan sebagainya," kata Ikrar. 
 
"Tapi dia inikan bukan komandan langsung, bukan Panglima langsung yang kemudian bisa memberikan komando kepada institusi-institusi ini. Kan harus melalui Panglima, atau Kepala Staf Angkatan Darat, atau siapa pun," sambungnya.
 
Menurut Ikrar, apa yang sedang dimiliki Jokowi saat ini hanyalah ilusi kekuasaan semata. Ia kemudian mengungkit Soeharto yang pada akhirnya jatuh padahal sudah 32 tahun berkuasa dan sangat memegang institusi TNI. Sementara Jokowi baru menjabat sembilan tahun. 
 
"Dibandingkan Soeharto yang sudah menguasai institusi TNI selama 32 tahun, atau taruhlah dia (Jokowi) menguasai TNI-Polri selama 10 tahun, Pak Harto yang 32 tahun saja akhirnya bisa lengser," kata Ikrar. 
 
Ikrar mengatakan, kala itu Soeharto didesak mundur karena dikehendaki oleh rakyat. Sebab, ekonomi Indonesia sudah sangat rusak parah saat itu. 
 
Kemudian, ia menyebut ekonomi saat ini juga sedang anjlok lantaran stok sahamnya sedang merugi. Sementara itu, Ikrar mengatakan, pada tahun 1998 lalu, ABRI akhirnya berpihak kepada rakyat saat Soeharto jatuh. 
 
"Bahwa akhirnya yang namanya ABRI dulu itu akhirnya dia give up untuk menjaga penguasa dan kemudian mereka menyatu dengan rakyat dan terjadilah peristiwa 98 itu. Itu kan pintu Gedung DPR/MPR itu kalau Pak Wiranto pada saat itu tidak berikan lampu hijau untuk dibuka, nggak bisa masuk," tuturnya.
 
"Orang kalau sudah terlena dengan kekuasaan itu suka lupa," sambungnya.
 
Hak Angket Harus Jalan Terus
 
Pakar Politik LIPI ini juga berharap supaya Hak Angket di DPR bisa segera terlaksana. Menurutnya, PDI Perjuangan seharusnya konsisten untuk mengajukan hak angket demi menyelidiki kecurangan Pemilu 2024. 
 
Ikrar memaparkan bila saat ini hak angket merupakan harapan bagi masyarakat supaya negara ini bisa selamat. Untuk itu ia menegaskan bila Hak Angket harus jalan terus.  
 
"PDI Perjuangan harus menunjukkan bahwa mereka tetap rawe-rawe rantas, malang-malang putung, jadi, jangan kemudian melempem," tegasnya.
 
Ikrar percaya PPP, PKS, dan PKB bakal mengikuti PDIP apabila parpol berkelir merah itu konsisten memperjuangkan hak angket. Dia menyebut tidak tertutup kemungkinan NasDem bakal mengikuti PDIP apabila terus menginisiasi hak angket. 
 
Namun, Ikrar menyadari langkah PDIP terhadap hak angket sangat bergantung keputusan Ketua Umum (Ketum) PDI Perjuangan, Megawati Soekarnoputri.
 
"Kalau saya jadi Megawati, saya akan mengambil keputusan hak angket harus jalan," ungkapnya. 
 
Menurutnya, keputusan tegas dari Megawati bakal mematahkan dugaan bahwa PDI Perjuangan tak berniat mengajukan hak angket, seperti tersirat dalam beberapa pernyataan elite parpol bernomor tiga pada pemilu 2024, Puan Maharani.
 
"Biar bagaimanapun PDI Perjuangan harus menunjukkan bahwa mereka benar-benar ingin menghadirkan cara-cara berpolitik, dan cara-cara berpartai yang baik, juga cara-cara berdemokrasi yang baik, termasuk dalam pemilihan umum," urainya.

 
Ikrar juga meyakini bila hubungan Presiden Terpilih Prabowo Subianto dan Jokowi lambat laun akan semakin berjarak. Menurutnya hal tersebut bisa terjadi setelah Prabowo dilantik menjadi Presiden.
 
Ikrar meyakini bila Prabowo tidak akan bersedia dikendalikan Jokowi kalau dirinya menjadi presiden. Karena itu konflik di antara keduanya pun tidak akan terelakkan, bahkan perang besar seperti Perang Bharatayudha dalam kisah pewayangan akan pecah.

Hubungan yang sudah mulai menghangat ini, menurutnya, bukan mustahil akan memanas setelah Prabowo resmi dilantik pada 20 Oktober 2024 mendatang.
 
“Akan terjadi apa yang disebut dengan, kalau buat saya ini Perang Bharatayudha,” ujarnya.
 
Selain itu Ikrar juga meragukan koalisi semi permanen di Pemerintahan Prabowo akan terwujud. Karena saat ini saja, potensi konflik para parpol itu sudah mulai mencuat. Terutama karena faktor perolehan suara Golkar yang jauh melampaui raihan partai pimpinan Prabowo tersebut pada pemilihan legislatif.

“Tapi kalau saya boleh berterus terang, Partai ini terutama Golkar dan Gerindra itu sebetulnya tidak baik-baik banget. Kenapa demikian? Karena Partai Gerindra tampaknya juga sedang kesal karena di hari-hari terakhir menjelang pencoblosan bahkan pada hari pencoblosan, itu suara Golkar melambung tinggi bahkan melampaui perkiraan orang. Dan impian dari Partai Gerindra yang akan menjadi partai nomor satu di Indonesia ternyata hanya impian belaka, nggak tercapai,” paparnya.

Soal kenapa Perang Bharatayudha di antara Prabowo-Jokowi akan terjadi, dia menjelaskan, karena keduanya akan saling bertempur untuk memperebutkan pengaruh siapa yang sebenarnya menjadi penguasa Indonesia.

“Dan saya hakul yakin Prabowo tidak mau menjadi seperti kambing congek yang kemudian menurut saja pada apa yang diinginkan Jokowi. Sampai detik ini memang Prabowo selalu mengatakan dia tunduk kepada presiden. Karena dia memang posisinya masih sebagai Menteri Pertahanan,” ungkapnya.

Namun begitu resmi menjadi presiden sebagai pemilik kekuasaan tertinggi di Indonesia, dia yakin, Prabowo tidak akan mau diatur-atur oleh Jokowi lagi. 
 
Nah, saat itulah Perang Bharatayudha itu bakal terjadi kalau Jokowi, yang kini diisukan sedang berupaya mengambil alih kepemimpinan Golkar, berhasil memimpin partai beringin tersebut.

“Kalau nanti misalnya Golkar ternyata memberi kesempatan kepada Jokowi untuk menjadi ketua umum, itulah yang tadi saya katakan Perang Bharatayudha akan benar-benar terjadi. Dan kalau itu sudah terjadi, tidak mungkin mereka akan melakukan konsolidasi kekuasaan untuk jalannya pemerintahan di republik ini,” ucapnya.

Karena jangankan mengawal kekuasaan untuk 20 tahun ke depan, dia memprediksi, untuk memastikan pemerintahan berjalan selama satu periode saja, yaitu lima tahun, bakal sulit. Karena kabinet Prabowo-Gibran bakal diwarnai penuh dengan konflik-konflik kepentingan.

Karena di satu sisi, Prabowo yang sudah bermimpi puluhan tahun menjadi presiden dan baru terwujud saat ini, pada sisi lain Jokowi sedang berusaha untuk tetap menguasai setelah ambisinya untuk memimpin pada periode ketiga atau setidaknya kepemimpinannya diperpanjang lewat penundaan pemilu, kandas.

“Tapi paling tidak, dia ingin menguasai Indonesia. Tidak sebagai posisi presiden, tapi sebagai posisi ketua partai yang terbesar di republik ini,” pungkasnya.

(Givary Apriman Z\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar