Akui Situasi RI Bikin Was-was, Orang Terkaya ke-5 RI: Daya Beli Lemah!

Jum'at, 29/03/2024 12:28 WIB
Anthoni Salim (Tribun)

Anthoni Salim (Tribun)

Jakarta, law-justice.co - Anthoni Salim yang merupakan orang terkaya ke-5 dari daftar 50 orang terkaya di Indonesia versi Forbes, mengakui bahwa saat ini daya beli masyarakat Indonesia, termasuk kelas menengah melemah.

Menjadi ancaman bisnis perusahaan yang akan diantisipasi sebagaimana beratnya tantangan ekonomi global.

Pernyataan Direktur Utama dan Chief Executive Officer PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP) itu serupa dengan kekhawatiran kalangan ekonom yang menganggap kondisi perekonomian di Indonesia tengah tertekan saat ini.

"Perusahaan juga akan terus mencermati kondisi makro ekonomi secara global agar dapat melakukan penyesuaian strategi dengan perkembangan yang terjadi," ujarnya, seperti dikutip Selasa (26/3/2024).

Meski begitu, dia menilai perekonomian Indonesia ke depan dipoyeksikan tetap tangguh dan bisa mendukung pertumbuhan bisnis serta profit perusahaan, serta mempertahankan neraca keuangan yang sehat.

PT Indofood Sukses Makmur Tbk. (INDF) sendiri membukukan core profit sebesar Rp9,78 triliun sepanjang tahun lalu. Capaian tersebut meningkat 8% dibandingkan dengan capaian tahun sebelumnya yang mencapai Rp9,06 triliun.

Berdasarkan keterangan resminya, INDF mencatatkan penjualan neto konsolidasi sebesar Rp111,7 triliun atau tumbuh 1% jika dibandingkan perolehan 2022 yakni Rp110,83 triliun.

Seiring dengan kinerja penjualan, perseroan membukukan laba usaha yang relatif stabil di kisaran Rp19,66 triliun dengan marjin laba usaha secara sehat berada pada level 17,6%.

Alhasil, dengan tidak memperhitungkan akun non-recurring dan selisih kurs, core profit yang mencerminkan kinerja operasional meningkat 8% menjadi Rp9,78 triliun dari Rp9,06 triliun.

"Di tengah tantangan global dan lemahnya daya beli masyarakat, perseroan mampu menyesuaikan diri sehingga menorehkan pertumbuhan penjualan dan profitabilitas sepanjang 2023," ujar Anthoni.

Kalangan ekonom yang menyoroti lemahnya daya beli masyarakat kelas menengah itu diantaranya Ekonom Senior yang juga mantan Menteri Keuangan Muhamad Chatib Basri.

Pernyataan ini dia sampaikan mengomentari sorotan khusus Menteri Keuangan, Sri Mulyani terhadap penjualan motor dan mobil sebagai durable goods yang turun tajam pada awal-awal tahun ini.

Sri Mulyani mengatakan, penjualan mobil telah terkontraksi delapan bulan berturut-turut hingga akhir Februari. Penjualannya minus 18,8% secara tahunan atau year on year. Sementara itu, penjalan sepeda motor telah terkontraksi selama enam bulan berturut-turut hingga ke level minus 2,9%.

Data Mandiri Spending Index menunjukkan hal serupa. Belanja kelompok memengah terbilang stagnan dengan angka indeks per Maret 2024 sebesar 183,5 dari Januari 2024 di kisaran atas 100, bahkan turun dibanding angka indeks pada Desember 2023 di level atas 200.

Jauh di bawah tren belanja kelas bawah yang mencapai 306,1 angka indeksnya dari tren pada Januari 2024 di kisaran atas 150.

"Saya sudah sampaikan concern saya mengenai tekanan terhadap daya beli kelas menengah. Tampaknya concern saya mulai terlihat," ujar Chatib Basri dikutip dari akun X @ChatibBasri, Selasa (26/3/2024).

Chatib memang kerap kali dan telah lama menyoroti secara khusus kondisi kelas menengah.

Dia berbicara mulai dari potensi risiko tekanan kelas menengah terhadap stabilitas politik hingga sosial, maupun sarannya terhadap pemerintah untuk segera mengurus ekonomi kelas menengah, dengan cara pemberian perlindungan sosial untuk kalangan itu, tidak hanya bagi kelas menengah ke bawah ataupun miskin.

Misalnya, dia membahas topik terkait permasalahan kelas menengah yang harus diurus itu saat menjadi pembicara di acada Seminar Nasional Outlook Perekonomian Indonesia yang digelar Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian pada awal tahun ini.

Saat itu, Chatib Basri mengatakan pemerintah perlu mulai turut fokus memperhatikan kondisi ekonomi dan kepentingan kelas menengah Indonesia.

Chatib menyinggung fenomena The Chilean Paradox ketika kepentingan kelas menengah terabaikan oleh pemerintah yang terlalu fokus pada kelompok miskin atau kelas menengah ke bawah saja.

Chile hampir mengalami krisis besar berupa revolusi akibat kelas menengah terabaikan saat ekonominya mengalami perbaikan.

Ekonom dari Universitas Indonesia yang juga merupakan Ekonom Samuel Sekuritas Indonesia Fithra Faisal Hastiadi menjelaskan, tekanan daya beli yang dialami kelas menengah itu disebabkan dua hal.

Pertama ialah pendapatannya yang terus menerus tergerus inflasi dan pekerjaan yang tidak berkualitas, dan kedua ialah kebijakan pemerintah yang tak fokus memperbaiki kondisi ekonomi mereka.

"Jadi bisa jadi dari gaji yang enggak ngejar inflasi, bisa jadi dari pekerjaan yang enggak layak, karena mereka kelompok yang terlempar dari formal ke informal sectors, kemudian ada kebijakan-kebijakan yang memang jangankan memihak mereka bahkan cenderung destruktif terhadap middle class," ucapnya seperti melansir cnbcindonesia.com, Selasa (26/3/2024).

Dari sisi gaji yang tergerus inflasi atau kenaikan harga-harga barang, khususnya harga pangan, sebetulnya diakui oleh Bank Indonesia. Inflasi harga pangan bergejolak atau volitile food per Februari 2024 mencapai 8,47% secara tahunan atau year on year (yoy) lebih tinggi dari kenaikan UMR rata-rata 4,9% pada 2020-2024.

"Makanya top of mind dari middle class itu selalu bicara job and prices, karena kalau dari sisi harga misalnya memang kalau inflasi umum kita lihat secara rata-rata selama dua sampai tiga tahun terakhir memang rendah antara 2-3%, cuma masalahnya income mereka enggak ngejar," ucap Fithra.

Dari sisi kualitas pekerjaan, yang Fithra sebut rendah atau tergolong informal tercermin dari data Badan Pusat Statistik (BPS).

Data terbaru pada Agustus 2023 menunjukkan bahwa porsi tenaga kerja informal di Indonesia mencapai 59,11%, naik dari posisi pada Agustus 2019 sebesar 55,88%. Sedangkan porsi pekerja formal hanya 40,89% atau turun dari 44,12%.

"Kalau kita lihat di angka pengangguran baik-baik saja. tapi masalahnya banyak yang terlempar ke informal sectors. Artinya ketika terlempar tingkat gaji tidak setinggi sebelumnya makanya mereka masih bekerja tapi income nya enggak mampu ngejar kenaikan harga yang sebetulnya enggak tinggi-tinggu banget. Jadi jobs and prices masih menjadi acuan," tuturnya.

Adapun dari sisi kebijakan pemerintah yang tak membantu kondisi ekonomi kelas menengah, menurut Fithra tercemin dari gelontoran kebijakan perlindungan sosial pemerintah yang mencapai Rp 489 triliun pada 2024 namum hanya untuk mengurus kelas menengah ke bawah.

Insentif fiskal yang digelontorkan hanya dinikmati kalangan kelas menengah ke atas.

"Jadi apa nih kalau kita tanya. middle class ini mau dibantu gimana sih, mau dikasih raskin enggak bisa karena dia bukan orang miskin, mau dikasih fasilitasi pajak ya enggak signifkan karena mereka bukan fokusnya di situ. Apa yang mereka butuhkan, mereka butuhkan jobs, pekerjaan," turue Fithra.

Ekonom Center of Reforms on Economics (CORE) Indonesia Yusuf Rendy Manilet menyatakan hal serupa. Namun, dia lebih memfokuskan penyebab dari turunnya pendapat kelas menengah saat ini dipicu oleh lingkungan pekerjaan yang tengah tertekan dari kondisi ketidakpastian ekonomi global, seperti perusahaan tambang.

Dia berujar, pada tahun lalu indikasi pelemahan konsumsi sebenarnya sudah terlihat, terutama pada upah riil. pertumbuhan upah riil sektor pertambangan sudah terkontraksi 2% dibandingkan tahun sebelumnya. Sektor pertambangan sendiri menyerap 1,2% dari 52,69 juta pekerja dengan status buruh/karyawan/pegawai.

"Meski persentase pekerja sektor pertambangan relatif sedikit, penurunan upah pada sektor ini perlu diperhatikan, mengingat posisinya sebagai tiga besar sektor dengan gaji tertinggi di Indonesia," tegas Yusuf.

Selaras dengan kondisi sektor pertambangan, sektor Jasa Keuangan dan Asuransi serta sektor Informasi dan Komunikasi juga mengalami penurunan rata-rata upah riil masing-masing sebesar 4% dan 8%.

Terkontraksinya pertumbuhan upah ketiga sektor ini perlu diwaspadai mengingat kelompok menengah atas adalah penggerak utama konsumsi swasta, dimana 60% penduduk berpengeluaran sedang dan tinggi berkontribusi terhadap 81,94% konsumsi masyarakat.

Sementara pada sektor yang banyak menyerap pekerja, pertumbuhan rata-rata upah riil tahunan juga terlihat melemah atau tumbuh tipis. Pada sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan serta sektor industri pengolahan, upah mengalami pertumbuhan berturut-turut 2,2% dan 1,3%.

Sementara pada perdagangan besar dan eceran, reparasi mobil dan sepeda motor upah menurun secara tahunan sebesar 2%.

"Ketiga sektor ini menyerap 61,6% pekerja dengan status buruh/karyawan/pegawai. Di tahun ini, perlambatan penjualan durable goods, semakin memperkuat indikasi terkait pelemahan daya beli terutama untuk kelompok pendapatan menengah," tegas Yusuf.

 

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar