KPK: Korupsi di LPEI Terkait Pemberian Kredit, Rugikan Negara Rp766 M

Selasa, 19/03/2024 20:37 WIB
Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. (Tangkapan layar YouTube KPK RI)

Wakil Ketua KPK Alexander Marwata. (Tangkapan layar YouTube KPK RI)

Jakarta, law-justice.co - KPK telah memulai penyidikan kasus dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Wakil Ketua KPK Alexander Marwata menjelaskan konstruksi perkara tersebut.

"Saya sampaikan terkait dengan dugaan ada penyimpangan pemberian kredit modal kerja ekspor (KMKE) oleh lembaga LPEI. Secara umum sebetulnya terkait dengan pembiayaan sebagaimana perbankan, kenapa kemudian kredit itu macet umumnya terjadi karena kurang hati-hatinya komite kredit atau pihak lembaga yang memberikan kredit itu terhadap kondisi dari debitur," kata Alexander dalam konferensi pers di gedung KPK, Jakarta Selatan, Selasa 19 Maret 2024.

Alex menyebut salah satu perusahaan yang menerima fasilitas KMKE dari LPEI ialah PT PE. Dia mengatakan PT PE mendapatkan fasilitas KMKE sebanyak tiga kali, yaitu tahun 2015 sebesar USD 22 juta, 2016 sebanyak Rp 400 miliar, dan tahun 2017 Rp 200 miliar. Jadi, katanya, total KMKE yang disalurkan ke PT PE senilai 22 juta dolar dan Rp 600 miliar.

"Ini bertujuan mendukung modal kerja PT PE dalam usaha niaga umum BBM dan bahan bakar lainnya," ungkapnya.

Dia mengatakan ada dugaan terjadi fraud terkait pemberian fasilitas KMKE ini. Alexander mengatakan komite pembiayaan diduga mengabaikan jaminan kelayakan pengajuan pembiayaan dan indikasi ketidakwajaran dalam laporan keuangan periode Juni 2015 yang dijadikan rujukan memorandum analisa pembiayaan ke PT PE.

"Jadi laporan keuangan PT PE diduga itu tidak mengandung kebenaran. Itu pada laporan PTPE dijadikan rujukan dalam analisis pemberian pembiayaan ke PT PE," jelasnya.

Alex mengatakan terkait jaminan aset tetap yang diajukan PT PE berupa tiga unit ruangan kantor berpotensi gagal dilakukan pengikatan karena belum terbit sertifikat kepemilikan atas aset itu. Selain itu, lanjut Alex, ada dugaan penggelembungan nilai piutang PTPE.

"Secara keseluruhan jaminan-jaminan yang diberikan PTPE itu lebih kurangnya tidak bisa menutup fasilitas pembiayaan yang diberikan kepada PT PE. Jadi jaminannya rendah, tidak menutup kredit yang diberikan," katanya.

Dia mengatakan terdapat peningkatan aset hingga dua kali lipat karena naiknya piutang dan pencatatan semu atas akuisisi pada PT PE. PTPE diduga memanipulasi laporan keuangan sehingga meningkatkan valuasi PT PE.

"Ini beberapa dugaan fraud yang dilakukan disebabkan tidak telitinya dari eks Komite Kredit dari LPEI dalam menganalisis laporan-laporan keuangan yang disampaikan PT PE," katanya.

Dia juga mengatakan ada dugaan pelanggaran oleh direksi dan komite pembiayaan dalam pemberian KMKE yang kedua sejumlah Rp 400 miliar. Antara lain, katanya, diduga terdapat pengabaian terhadap jaminan aset tetap PT PE berupa tiga unit ruangan kantor yang belum diikat sempurna karena belum ada sertifikat dan berisiko kegagalan pengikatan jaminan.

Kemudian, komite pembiayaan diduga menyetujui penambahan jaminan berupa fix asset yang belum ada dan belum dilakukan penilaian. "Namun nilai likuiditas tersebut sangat rendah hanya 74% dan dinilai tidak men-cover nilai pembiayaan," jelas Alexander dikutip dar Detik.

Dia mengatakan komite pembiayaan diduga mengabaikan transaksi dari PT PE terhadap PT KPM periode 2015 sampai 2016. Hal tersebut diduga terjadi karena jajaran direksi LPEI sudah mengetahui bahwa masuknya PT PE ditujukan untuk menopang outstanding PT KPM. Komite pembiayaan LPEI, lanjut Alex, masih menganggap bisnis PT PE berjalan normal.

"Padahal kenyataannya penjualan PT KPM ke PLN kurang 10 ribu KL per bulan. Jadi volume bisnis PTPE sendiri ternyata tidak seusai prediksi awal, yang dalam proposalnya itu lebih kurang dari 70 ribu ternyata hanya 10 ribu," ujar Alex.

Tujuannya apa? Supaya dari laporan keuangan itu pihak pemberi fasilitas kredit LPEI bisa monitor kemampuan dari perusahaan itu secara up to date sehingga bisa menilai risiko gagal bayar dari fasilitas yang diberikan," kata Alexander.

Dia mengatakan hal itu merupakan sejumlah dugaan pelanggaran hukum yang terjadi. Menurutnya, ada dugaan penyalahgunaan kewenangan dari pihak terkait dalam pemberian kredit.

Itu barangkali beberapa kejadian bisa dikatakan unsur perbuatan melanggar hukum yang kami menduga dikaitkan dengan adanya unsur penyalahgunaan kewenangan dari pihak-pihak yang terlibat dalam perkara ini," jelasnya dilansir dari Detik.

Pada tanggal 29 Juni 2020, kata Alex, PT PE dinyatakan pailit. Sementara, tagihan LPEI terhadap PT PE masih senilai Rp 844 miliar.

"Jadi saat pailit itu masih ada tunggakan tagihan PT LPEI kepada PTPE senilai Rp 840-an miliar," ujar Alex.

Setelah PT PE mengalami pailit, maka PT LPEI melakukan upaya penyelamatan pembiayaan bermasalah dengan menggunakan skema pengalihan piutang atau cessie dari total outstanding kurang lebih USD 60 juta dolar atau setara Rp 844 miliar.

Menurut Alexander, PT LPEI mengalihkan piutangnya atau menjual cessie dari sekitar kurang lebih USD 60 juta dolar kepada PT Catur Karsa Megatunggal (CMT) senilai USD 10 juta dolar serta kepada PT PI sejumlah USD 50 juta dolar yang dituangkan dalam akta tertanggal 10 Maret 2021.

Isinya tentang kesepakatan bersama yang diteken LPEI dan GM selaku pemilik CMT. Diketahui, PT CMT memiliki saham di PT PE, sedangkan PT PI sebagian sahamnya dimiliki oleh PT PE sehingga baik PT PE, PT CMT, dan PT PI dimiliki orang yang sama, yaitu GM.

"Jadi ketiga perusahaan itu masih terafiliasi," kata Alex.

Jadi, menurut dia, patut diduga pengalihan piutang hanya untuk mengalihkan dari perusahaan yang sudah pailit ke perusahaan dengan pemilik yang sama yang masih aktif.

Pada 2022-2023, PT CMT sudah membayar sebagian kewajiban utang atas cessie yang dibeli dari PT PI sebesar USD 5,5 juta. Jadi, outstanding dari PT CMT atas cessie tersisa USD 4,5 juta. Sedangkan cessie yang dibeli oleh pengalihan oleh PT PI sampai sekarang sejauh ini belum ada pembayaran.

"Penyimpangan yang dilakukan oleh direksi LPEI dalam pemberian jaminan fasilitas ekspor dan penyelesaian pembiayaan terdapat potensi kerugian negara sekurang-kurangnya USD 54,5 juta atau dengan kurs Rp 14.047,99 senilai Rp 766 miliar," ujarnya.***

(Gisella Putri\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar