Jika Penguasa Abai, Guru Besar UGM: Indonesia Emas Bisa Jadi Cemas

Minggu, 17/03/2024 10:06 WIB
Soal Ramai Kritik Jokowi, Guru Besar UGM: Kami Penjaga Moral Terakhir. (Istimewa).

Soal Ramai Kritik Jokowi, Guru Besar UGM: Kami Penjaga Moral Terakhir. (Istimewa).

Jakarta, law-justice.co - Guru Besar Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM), Koentjoro menyatakan bahwa keinginan untuk menjadikan Indonesia Emas 2045 akan menjadi Indonesia cemas jika kekuasaan abai terhadap suara-suara kritis.

Oleh sebab itu kata dia, tugas insan kampus untuk selalu mengingatkan kekuasaan.

"Semestinya suara-suara para akademisi dan guru besar tidak hanya dipahami sebagai hak demokrasi tetapi juga dipahami isi subtansinya," kata Koentjoro dalam keterangan resminya di Panel Forum Nasional di University Club (UC) Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Sabtu (16/3).

"Jika kekuasaan abai dengan suara-suara kritis, keinginan untuk melihat tahun 2045 sebagai Indonesia Emas bisa berganti dengan melihat 2045 Indonesia Cemas," tambahnya.

Sementara itu, Guru Besar UGM M. Baiquni, menilai salah satu tantangan kepemimpinan nasional adalah semakin merebaknya krisis lingkungan dan perubahan iklim global.

"Krisis iklim menuntut kehadiran pemimpin yang mampu menggerakkan segenap komponen masyarakat dalam upaya pencerdasan publik melalui pelestarian alam di berbagi tingkatan," ujar Sekretaris Dewan Guru Besar UGM itu.

Di tempat yang sama, mantan Menteri ESDM Sudirman Said memaparkan gagasan dasar kepemimpinan Indonesia harus dibedakan secara mendasar dengan jabatan atau kedudukan.

Pasalnya, kepemimpinan merupakan perilaku yang dibentuk oleh kompetensi, karakter dan nilai-nilai yang memandu tumbuh kembang pribadi individu.

"Apakah seorang pejabat publik merupakan pemimpin atau bukan, tentu tergantung perilaku dalam menjalankan tugas-tugasnya," kata Sudirman.

Sudirman menambahkan situasi sosial politik yang berkembang saat ini kurang mendukung bagi pengembangan kepemimpinan yang ideal.

Baginya, ekosistem kepemimpinan nasional kini berisi menguatnya politik dinasti dan keberpihakan kekuasaan dalam proses elektoral.

"Karena itu, kita memerlukan sebuah Undang-undang yang mengatur rekrutmen kepemimpinan publik agar memasukkan pula syarat-syarat kualitatif. Proses seleksi kepemimpinan nasional tidak bisa hanya ditentukan angka-angka sehingga menyebabkan demokrasi kehilangan ruh substansial," kata dia.

Sementara itu, Guru Besar UMY Heru Kurnianto Tjahjono menggarisbawahi perlunya Indonesia menemukan sosok pemimpin negarawan yang otentik.

Karakter ini penting supaya kepemimpinan selalu berorientasi pada kontribusi bagi kepentingan masyarakat luas.

"Pemimpin negarawan adalah sosok yang secara mental sudah selesai dengan dirinya dan keluarganya," kata dia.

(Annisa\Editor)

Share:




Berita Terkait

Komentar